Menjaga Akal Sehat, Menjadi Tetap di Tengah

Muchlis R Luddin
Penulis adalah Guru Besar Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan saat ini menjabat sebagai Irjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Konten dari Pengguna
8 Maret 2019 20:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muchlis R Luddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
*oleh: Muchlis R Luddin
Kehidupan kita belakangan ini beramplifikasi dengan keras. Suasana politik, ekonomi, dan sosial naik turun dengan cepat. Isu-isu tentang kehidupan di tengah masyarakat saling berseliweran. Tak tahu dan tak bisa kita bedakan, mana tindakan dan perkataan yang valid dan benar, mana pula tindakan yang tak valid dan salah. Praktik kehidupan tampak seperti gelombang yang bergerak naik turun. Sesekali ia bergemuruh, bergerak menuju arah informasi yang tak benar; tetapi bersamaan dengan itu, ia bergejolak juga dengan informasi yang dianggap benar.
ADVERTISEMENT
Kehidupan seperti tengah menyusuri kerikil-kerikil tajam yang membuat kehidupan masyarakat kita berada dalam keadaan dan situasi dilematis. Ia kadang berada dalam situasi yang menyenangkan; tetapi bersamaan dengan itu, ia juga berada di dalam situasi yang mengkhawatirkan, tak menyenangkan, bahkan menyakitkan kita bersama. Membuat pening dan mendorong kita tak bisa berfikir dengan jernih.
Kehidupan kita sepertinya tak pernah habis dalam arus gelombang: naik turun, beresonansi, dan kemudian menimbulkan dampak psikologis bagi warganya. Dunia kehidupan hampir pasti bergerak dari dua sisi. Sisi positif dan sisi negatif. Satu sisi berada di pendulum yang kiri. Sisi lain berada di di pendulum yang kanan.
“Kiri” dan “kanan” bergerak bersama, menyatakan dirinya yang paling benar. Masing-masing tak menunjukan sisi atau bagian yang lain. Setiap sisi ingin meneguhkan bahwa merekalah yang benar dan valid. Mereka tak menyatakan bahwa mereka keliru, tetapi yang keliru adalah “the others”, bukan “our selves”.
ADVERTISEMENT
Kehidupan kita, sekarang ini, seolah di-framing oleh dua dunia itu: dunia negatif dan dunia positif. Dunia negatif menunjukan kesedihan, kuatnya dominasi emosi di tengah masyarakat, berlakunya disorder, merasa tak nyaman, merasa sakit, merasa menderita, bahkan kehidupan yang menyakitkan.
Sedangkan dunia positif menunjukan perasaan gembira, menyenangkan, sukses, dan seolah telah terjadi (adanya) mentalitet benar di tengah masyarakat. Kehidupan yang di tengah, yang berada diantara keduanya, dimana perasaan sedih, sakit, tak menyenangkan dapat berkompromi dengan perasaan gembira, menyenangkan, dan sehat belum begitu berkembang di tengah kehidupan kita. Padahal “kehidupan dunia tengah, berada di tengah” merupakan kehidupan kita yang sehat. Praktik kehidupan di tengah merupakan cermin dari berkembangnya kesehatan mental masyarakat.
Keadaan negatif dan keadaan positif adalah keadaan yang menunjukan sinyal-sinyal tertentu. Keadaan sakit, tak nyaman menunjukan a signal of failure and sickness; sedangkan gembira, menyenangkan adalah keadaan yang menunjukan a signal of mental health and success.
ADVERTISEMENT
Kedua, keadaan itu terbangun dari “a state of mind” yang ada di dalam diri kita sendiri. Kitalah yang menentukan apakah kita akan berada di sisi negatif, atau berada di sisi positif. Jika kita gagal dalam menentukan diri kita untuk berada di salah satu sisi, atau di sisi yang lain, maka kita akan terombang-ambing dengan framing diri kita sendiri; dan oleh karena itu, kita akan jatuh kepada dan berada disalah satu sisi.
Ketika itulah orang-orang mengalami -apa yang dikatakan oleh Brock Bastian (2018)- sebagai “a depression epidemic”. Orang-orang mengalami depresi, baik oleh karena perasaan sedih dan menyakitkan yang dialaminya, maupun oleh perasaan senang, emosional, dan nyaman.
Kehidupan kita tampak dengan jelas menunjukan tanda-tanda itu. Perilaku orang-orang dalam bergaul -apalagi di tahun-tahun politik seperti sekarang ini- bergumul dengan kegiatan-kegiatan emosional. Masing-masing orang sedang “menjual pesan” pengalaman-pengalaman negatif atau pengalaman-pengalaman yang tak menyenangkan di dalam kehidupan, seolah-olah kehidupan itu hanyalah keadaan yang tak menyenangkan, tak perlu dilakukan, yang kemudian akan bermuara pada bertumpuknya kesedihan dan ketidaknyamanan, dan sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Kehidupan yang lebih sehat, berakal sehat, rasional, serta berada di tengah dipandang sebagai irasionalitas. Padahal kita tahu bahwa masalah yang kita hadapi di dalam kehidupan ini bukanlah hanya tentang kesedihan, merasa sakit (hati), merasa tersingkir, atau merasa menderita.
Masalah kita juga berkait dengan terlalu gembira, terlalu percaya diri, serta terlalu merasa digdaya. Itu sebabnya, mungkin sudah waktunya, kita melakukan -untuk sisi negatif- “devaluing and avoiding negatif experiences we leave our selves with only one pathway to finding happiness—the persuit of pleasure”.
Kita lebih baik menghindar dari hiruk-pikuk (diskursus asal-asalan tentang praktik kehidupan politik, sosial, ekonomi), dan kemudian kita mencari “our feel-good experiences” yang akan membawa kehidupan (pikiran, mentalitas) kita kepada jalan tengah: berada di tengah-tengah. Jalan inilah yang kemudian akan berfungsi menjadi penawar rasa sakit. Ia menjadi penawar (rasa sakit) dari kesedihan, perasaan tersingkir, perasaan tersudutkan. Ia juga menjadi penawaran (rasa sakit) dari keterlalu-senangan, dan keterlalu-gembiraan, keterlalu-digdayaan.
ADVERTISEMENT
Maka dengan itu, salah satu jalan yang harus kita lakukan sekarang ini adalah bukalah mata. Mari kita buka mata kita lebar-lebar untuk memperhatikan dan merefleksikan bahwa hubungan antara perasaan sakit, perasaan tersingkir, perasaan sedih dan perasaan gembira, perasaan nyaman, belumlah dapat ditarik garis dengan jelas.
Diantara keduanya ada blind spots yang harus kita fahami sebagai ruang yang masih bisa diperdebatkan. Ia merupakan ruang yang diberikan untuk mewadahi “to stop and think about your last painful experiences”, sehingga daya berpikir kita tetap bekerja. Daya emosi kita tetap terjaga.
Dengan begitu, kita akan tetap berada di tengah dan terjaga dari -meminjam terminologi yang digunakan oleh A.J Sackman and T.V Solomon (2011) “a negative mental state (emotional pain) or negative social encounters (social pain)”, yang dinyatakan oleh Eisenberger dan Lieberman (2004).
ADVERTISEMENT
Dengan membuka mata lebar-lebar kita akan segera mengenali dengan baik apa yang menyebabkan kehidupan kita tidak nyaman, dan setelah itu kita bisa bersikap dengan cerdas terhadap semua praktik kehidupan yang tak berada di tengah, seperti bullying, prasangka, hoaks, pseudo-trauma, kecanduan, takjub, caci-maki, fitnah, dengki, pertengkaran, kebohongan publik, dan sebagainya.
Semua itu adalah cermin bagi masyarakat kita bahwa di tengah kehidupan kita masih berkembang apa yang saya sebut sebagai a non-normative behavior, karena praktik kehidupan kita telah mengabaikan apa yang etis. Praktik kehidupan yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang memiliki limitasi kapasitas untuk bisa hidup bersama di tengah kehidupan bersama.
Kita harus terus berupaya agar praktik kehidupan kita lebih cerdas dikemudian hari. Bukankah salah satu tujuan yang hendak kita capai dalam berbangsa dan bernegara ini adalah menciptakan kehidupan yang cerdas?
ADVERTISEMENT
*Penulis adalah Guru Besar Sosiologi UNJ