Pikiran Kita dan Ilusi di Sekitarnya

Muchlis R Luddin
Penulis adalah Guru Besar Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan saat ini menjabat sebagai Irjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Konten dari Pengguna
1 November 2018 13:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muchlis R Luddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Berpikir (Foto: rMeghann/Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Berpikir (Foto: rMeghann/Pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mengapa kita cenderung melakukan kritik kepada orang lain? Mengapa pula kita amat sibuk dengan diri kita sendiri, seolah kita takut kehilangan momentum atau kesempatan?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan seperti itu datang kepada saya dalam sebuah obrolan kecil, ketika hendak pulang. Sungguh sebuah pertanyaan kecil dengan alternatif jawaban yang tak mudah.
Memang, ketika segala sesuatu di sekitar kita bergerak dan berubah dengan cepat, kita acapkali mengalami kegagapan apakah kita akan mengikuti perubahan itu, atau berhenti sejenak kemudian melakukan refleksi, atau bertanya secara mendalam kepada diri kita sendiri. “Is it the world that’s busy, or is it my mind?
Dalam praktik kehidupan, kita umumnya cenderung memisahkan antara (kehidupan) dunia dan (kehidupan) pikiran kita. Kita sejak lama telah mendisposisikan diri bahwa antara dunia dan pikiran sebagai dua entitas yang terpisah. Satu sama lain seperti berdiri sendiri dan independen.
Mari kita perhatikan sejenak praktik kehidupan harian kita. Misalkan kalau ada teman kita yang bertanya: mana pikiran kamu, maka kita selalu mengacu kepada sesuatu yang ada di dalam kepala.
ADVERTISEMENT
Kita kemudian menunjuk kepala kita. Kalau kita ditanya apakah kamu mempunyai atau memiliki perasaan, emosi, maka kita langsung menunjuk kepada letak hati kita di dalam tubuh kita sendiri.
Ilustrasi otak manusia. (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi otak manusia. (Foto: Shutterstock)
Kita jarang sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu dengan cara menunjuk sesuatu yang ada di luar diri kita sendiri, misalnya menunjuk langit untuk menjawab di mana letak pikiran kita. Atau menunjuk mobil atau cuaca untuk melukiskan perasaan dan emosi kita.
Praktik kehidupan seperti di atas merupakan cermin bahwa persepsi yang ada di dalam diri kita telah memberi batas atau membatasi. Ia memberi batas tentang apa yang ada di dalam pikiran kita, dan apa yang (tersedia) ada di luar pikiran kita.
ADVERTISEMENT
Pikiran kita diletakkan dalam satu entitas terpisah dengan apa yang terjadi di dunia (kehidupan) luar, 'the outside world'.
Kalau kita perhatikan secara seksama, pemisahan yang bersifat tegas antara pikiran dan (praktik) dunia kehidupan merupakan sebuah ilusi yang ada pada diri kita. Kita mengatakan bahwa kehidupan kita amat sibuk, misalnya, itu adalah ilusi kita yang ada di dalam diri kita.
Kehidupan sibuk adalah sesuatu yang ditentukan oleh pikiran kita, 'our mind'. Pikiran kitalah yang mengatakan bahwa kita sibuk. Pikiran kitalah yang menentukan kita begini atau kita begitu. Pikiran kitalah yang mengendalikan penilaian subyektif terhadap pengalaman kehidupan dunia yang kita lalui.
Pikiran kita yang lebih menentukan apakah praktik kehidupan kita akan bahagia, menderita, emosional, gembira, menyenangkan, menyebalkan, mencla-mencle, atau bahkan memuakkan.
ADVERTISEMENT
Kita sering melihat kehidupan dunia di luar kita sebagai sesuatu yang menjadi bagian kecil dari kehidupan yang lebih luas. Sebuah kehidupan yang lebih sempit dari kehidupan yang lebih universal.
Pada ketika itu, kita kemudian melihat bahwa praktik kehidupan seolah menjadi terbatas. Apa yang dapat kita kerjakan hanyalah sebatas apa yang ada pada diri kita. Kita seolah-olah hanya ‘ditentukan untuk bisa mengerjakan sesuatu yang terbatas’.
Kita lupa atau tak menyadari bahwa pembatasan tersebut merupakan ulah dari pikiran kita. Pikiran kitalah yang memberi rambu-rambu, membatasi dirinya sendiri. Padahal realitas kehidupan begitu luas. Ia menyediakan begitu banyak kemungkinan.
ADVERTISEMENT
Itu sebabnya saya ingin mengutip Haenim Sunim (2012) yang mengatakan bahwa “the world comes to exist because we are aware of it. We cannot live in a reality of which we are unaware. The world depend on our minds in order to exist, just as our minds depend on the world as the subject of our awareness”.
Itu sebabnya pikiran kitalah yang membawa kehidupan dunia itu menjadi sesuatu yang hadir di tengah kita. Pikiran kitalah yang fokus terhadap kehidupan dunia kita. Dengan kata lain, “what our minds focus on become our world”.
Dalam menjalani kehidupan seperti sekarang ini, di mana dunia informasi dipenuhi dengan kebohongan, hoaks, kebohongan massal, manipulasi, 'bungkus-bungkus', saling disinformasi, kuasi kebenaran, maka kita harus memiliki kesadaran bahwa apa yang tersaji di hadapan kita adalah produk dari pikiran-pikiran (terbatas) orang.
ADVERTISEMENT
Apa yang tersaji belum tentu mencerminkan itulah isinya yang benar. Kita harus menyediakan diri untuk memfungsikan pikiran kita untuk menguji apakah pikiran orang lain itu merepresentasikan kebenaran (universal), atau semua itu hanya sebatas hasil dari sebuah pikiran (orang lain) yang terbatas.
Narasi-narasi yang sekarang muncul ke permukaan kehidupan bersama kita merupakan penglihatan dari pikiran-pikiran yang terbatas itu. Oleh sebab itu, kita harus dapat menyikapinya secara bijak, tenang, rileks, dan enjoyful. Dengan demikian, kita bisa berkehidupan dengan seimbang, lebih bisa menahan emosi, tak mudah bersikap negatif.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, ada baiknya saya mengutip Chi-Young Kim and Haemin Sunim (2017) sebagai bahan refleksi internal kita sebagai berikut: “When your mind is joyful and compassionate, the world is, too. When your mind is filled with negative thoughts, the world appears negative, too”.
Tugas kita sekarang adalah bagaimana kita menjaga agar pikiran kita selalu berada di dalam rel kehidupan positif, sehingga kita bisa melakukan praktik kehidupan bersama dengan lebih bahagia dan sejahtera.
Selamat mengembalikan pikiran ke arah yang positif, semoga kita semua berhasil menjalankannya, dan berpraktik kehidupan dengan lebih terhormat.