Politik Kontainer Pemilu 2019

Muchlis R Luddin
Penulis adalah Guru Besar Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan saat ini menjabat sebagai Irjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Konten dari Pengguna
5 Februari 2019 11:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muchlis R Luddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Politik Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Politik Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
oleh: Muchlis R. Luddin*
Dunia politik di tanah air--dalam episode Pemilu sekarang ini--memberi pelajaran baru kepada kita semua. Di dalam kampanye tampak bahwa masing-masing calon dan para pendukungnya menyatakan pendapat berdasarkan cara pandang masing-masing, menurut dirinya sendiri. Substansi kampanye sering tak memiliki resonansi dengan denyut harapan dan pikiran mayoritas masyarakat. Para elite mengkampanyekan apa yang mereka pikirkan.
ADVERTISEMENT
Mereka tak berupaya mengkampanyekan apa yang dipikirkan oleh masyarakat kebanyakan. Apalagi memberi solusi terhadap masalah yang dihadapi masyarakat, maupun harapan-harapan perbaikan kehidupan di masa-masa yang akan datang. Masing-masing fokus kepada kepentingannya. Mengelompok berdasarkan golongan, warna pikiran, serta warni tindakan, tak ubahnya seperti jejeran kontainer.
Itu sebabnya, tak aneh jika kita melihat bahwa negara ini seolah telah menjadi kumpulan “kontainer-kontainer”. Kontainer-kontainer yang terpisah satu dengan yang lain. Kontainer yang diletakkan secara berderet, bahkan tersebar di lokasi-lokasi yang tak terhubung. Setiap elite mengkampanyekan “isi kontainernya” masing-masing. Dengan gegap-gempita menyatakan bahwa kontainer mereka dan segala isi di dalamnya adalah yang baik.
Sementara kontainer (golongan elite) lain dianggap atau dinyatakan tidak benar. Dalam pemilu kali ini, kita menyaksikan bahwa kehidupan politik kita masih saja berada -dengan meminjam penjelasan dari Agnew and Corbridge, 1995)--di area “political, economics, and social relationships were geographically confined”.
ADVERTISEMENT
Masyarakat yang dibangun oleh “kontainer-kontainer”. Di dalam masyarakat yang terdiri dan terbagi atas kontainer-kontainer itu, anggota masyarakat tampak menjadi homogen. Ia berkumpul berdasarkan isi dan substansi kontainer. Masyarakat terkotak-kotak dalam wadah, organisasi, kelompok, relawan tertentu. Masyarakat hanya tahu isi kontak ``kontainernya sendiri. Orang atau anggota masyarakat tak peduli dengan kontainer yang lain.
Itu sebabnya, dalam pergaulan harian kita, yang tampak ke permukaan adalah homogenitas kelompok. Kelompoknya yang merasa benar. Kelompoknya yang diklaim paling benar. Sementara kelompok masyarakat yang lain dianggap keliru atau salah.
(Kecenderungan) homogenitas kelompok seperti itu, pada gilirannya, akan mengisolasi masyarakat satu dengan yang lain. Setiap kelompok asyik dengan dirinya sendiri, dan tak memperdulikan orang atau kelompok yang lain. Mereka saling mengklaim kebenaran, tetapi mereka meniadakan kebersamaan. Mereka mengklaim kebenaran tanpa disertai falsifikasi atas klaim tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi semacam itu, pluralitas menjadi tak penting. Multikulturalitas masyarakat dinafikan. Yang muncul ke permukaan adalah seolah negara hanya dimiliki oleh monopoli kelompok. Sementara hak warga masyarakat yang lain ditiadakan serta dinistakan.
Absurditas inilah sesungguhnya, yang di dalam sejarah perkembangan negara bangsa menjadi sebuah ancaman. Kalau tidak ingin kita katakan sebagai proses bernegara yang bekerja ke belakang, bukan proses negara yang bekerja ke depan.
Ilustrasi Politik Foto: Game of Thrones Facebook
Praksis politik belakangan ini, mengalami--apa yang disebut oleh Giddens (1990)--sebagai “boundedness”. Praktik politik yang keluar atau muncul ke permukaan tampak seperti modern, maju. Tetapi sesungguhnya apa yang muncul ke permukaan itu mencerminkan praktik politik pramodern.
Secara virtual, orang menganggap bahwa apa yang dilakukannya sebagai sesuatu yang maju, tetapi pada galibnya mereka tetap berada dalam masyarakat pramodern; sebuah masyarakat yang tersegmentasikan.
ADVERTISEMENT
Masyarakat yang terpecah belah. Mengikatkan dirinya dengan kelompoknya sendiri, dengan meletakkan diri pada kepentingan kelompok mereka sendiri. Sementara itu, orang-orang lain di luar dirinya dianggap tak menjadi bagian dari (anggota) sebuah negara bangsa.
Praktik politik serupa itulah yang mengemuka dalam kampanye, dan dalam membangun demokrasi di tanah air. Kita seolah sedang menghilangkan cita-cita besar untuk memformulasikan sebuah negara bangsa, di mana demokrasi menjadi pilihan jalan untuk menuju kearah itu.
ADVERTISEMENT
Itulah kemudian, yang terjadi di dalam panggung politik kita sekarang ini adalah sebuah perebutan--apa yang disebut oleh Max Weber (Brian Turner, 2000) “the monopolization of the legitimate”; setiap elite politik, baik individual maupun berkelompok, menganggap dirinya yang benar dan mendapat pengakuan.
Sementara yang lain dianggap keliru, salah, tidak benar, dan tak perlu diakui sebagai bagian penting di dalam sebuah negara bangsa. Dalam perjalanannya, situasi seperti ini akan mendorong dan memperkuat eksklusivitas-ekslusivitas di tengah masyarakat. Apa yang sepatutnya dikembangkan, seperti inklusivitas, menjadi muspro (sia-sia).
Masyarakat dikontrol oleh suatu syahwat yang menguatkan eksklusivitas (kelompok) tersebut, sehingga keterbukaan, sikap inklusif, dan “the broad sense” tak berkembang di tengah praktik kehidupan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Hasilnya dapat diprediksikan bahwa eksklusivitas akan semakin kuat, sementara inklusivitas akan semakin lemah. Sikap-sikap merasa benar (kelompoknya, golongannya) sendiri akan subur di tengah kehidupan masyarakat seperti itu. Inilah salah satu risiko yang harus dihadapi, ketika kita mempraktikan demokrasi di tengah masyarakat yang kehidupannya kurang cerdas.
Tingkat kecerdasan masyarakat (kecerdasan para elite, kecerdasan para ulama, kecerdasan para pemuka agama, kecerdasan para tokoh, kecerdasan para intelektual, kecerdasan kaum terdidik, dan sebagainya) yang belum sepenuhnya “memper” dengan paham demokrasi.
Mereka belum sepenuhnya mahfum bagaimana sebuah demokrasi harus dipraktikkan. Akibat turunan dari gejala praktik demokrasi semacam di atas adalah tumbuh subur dan terbangunnya apa yang disebut sebagai “the container nation-state”; sebuah negara-bangsa yang terdiri atau tersusun dari “kotak-kotak kontainer”.
ADVERTISEMENT
Sebuah negara yang mengalami “interconnectedness” antara sesama komponen bangsa. Di antara anggota masyarakat terjebak di dalam kotak-kotak masing-masing. Mereka mengurus kontainernya masing-masing. Mereka hanya berpikir tentang kontainernya sendiri. Mereka hanya peduli dengan isi dan tampilan kontainernya sendiri. Mereka tak peduli dengan kontainer-kontainer orang lain, walaupun orang lain itu adalah bagian yang tak terpisahkan sebagai warga negara.
Ilustrasi Demokrasi Foto: Vision.org
Memang di sadari, ketika praktik sosial, politik, ekonomi, yang mementingkan kontainer sendiri berkembang di dalam masyarakat, maka konfigurasi masyarakat berubah dengan tajam. Aktivitas-aktivitas masyarakat menjadi elitis dalam kelompoknya. Hubungan-hubungan sosial politik mengalami segregasi akut, di mana pertukaran gagasan yang bebas, terbuka menjadi barang langka.
Yang aktif ke permukaan diskursus masyarakat adalah bagaimana mengurangi “values” ide-ide atau gagasan-gagasan orang lain. Mendegradasi ide serta pengaruh orang yang berada di luar kontainernya. Akibatnya, pertukaran gagasan, pertukaran ide cemerlang tentang bentuk dan masa depan masyarakat bangsa terabaikan. Semua menjadi seragam. Dan usaha kepada keseragaman itulah yang sekarang kita saksikan dalam pangung Pemilu.
ADVERTISEMENT
Lantas timbul pertanyaan: Bagaimana kita harus bersikap dan menentukan sikap, agar kecenderungan eksklusivitas itu kembali kepada inklusivitas? Jawabnya, tentu tak semudah seperti bayangan kita.
Yang dapat kita lakukan adalah bagaimana kita -sebagai kelompok masyarakat terdidik- bisa mendorong (kesadaran) untuk meningkatkan dengan apa yang saya sebut sebaga ”a political of transborder transactions”; sebuah transaksi kesadaran akan pentingnya praktik politik yang menghilangkan hambatan-hambatan atau batas-batas, baik itu batas kelompok, warna kulit, golongan, orientasi keagamaan, maupun status-status sosial.
Kita harus terus mendorong (saling) pertukaran sosial, politik, sehingga interaksi dan komunikasi sesama warga negara berlangsung dengan setara, bebas, tanpa hambatan. Kita ingin melihat bahwa praktik politik di tengah masyarakat saling bersifat interdependensi, sehingga kontrol terhadap konstruksi masa depan tak dimonopoli oleh golongan tertentu atau kelompok tertentu.
ADVERTISEMENT
Itulah yang kemudian diingatkan oleh Habermas (2001) tentang pentingnya kita (membangun) kesadaran yang bersifat kosmopolitanisme. Karena kesadaran kosmopolitasnisme itulah yang akan membangun dan menjadi dasar dari terbentuknya “a world polity”.
Salah satu upaya penting mewujudkan hal itu adalah usaha kita memperluas desentralisasi (jalan) pikiran, desentralisasi ide-ide atau gagasan-gagasan, agar narasi kehidupan bersama ini tak dimonopoli oleh sekelompok elite saja. Narasi besar tentang masa depan bersama dapat muncul dari hidupnya aktivitas gagasan yang bersifat “cross nation-state boundaries”.
ADVERTISEMENT
*Penulis adalah Irjen Kemdikbud RI dan Guru Besar Sosiologi UNJ