Mendikbud (Gagal) Paham Pendidikan?

Muh Karim
Profesi saya saat ini sebagai Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim. Saya juga Dosen tetap di Universitas Trilogi Jakarta
Konten dari Pengguna
1 Agustus 2020 13:52 WIB
Tulisan dari Muh Karim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim saat menghadiri Rapat kerja komisi X DPR RI, Selasa (28/1). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim saat menghadiri Rapat kerja komisi X DPR RI, Selasa (28/1). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Begitulah, petuah Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara (KDH).
ADVERTISEMENT
**
Hengkangnya Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dari program Penggerak Organisasi Pendidikan (POP) yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) jadi tanda tanya besar. Secara historis, ketiga organisasi ini telah mewarnai gerak langkah dan tradisi pendidikan kita di negeri ini. Tak bisa dipungkiri apalagi diajarin anak kemarin sore. NU, Muhammadiyah, dan PGRI telah berjuang dalam dunia pendidikan ini sebelum bangsa ini berdiri.
Begitu pula organisasi-organisasi pendidikan keagamaan lainnya semacam Katolik, Prostestan maupun Hindu dan Budha. Mereka semua menjadikan pendidikan sebagai alat perjuangan memerdekakan bangsa ini. Kini, tiba-tiba ada Menteri yang terkesan menggurui mereka soal pendidikan. Apa ini tak salah alamat. Boleh saja berkilah, mengatakan paham soal masa depan. Tapi apakah ketiga organisasi ini buta soal masa depan? Teknologi itu hanya alat (tools) bukan sesuatu yang bisa menyelesaikan segala hal (the problem solving of everything) soal pendidikan kita. Barangkali pengambil kebijakan pendidikan perlu membaca buku: The Critiue of Digital Capitalism karangan Michael Betancourt.
ADVERTISEMENT
Ingat, ketiga organisasi itu dulu berjuang lewat pendidikan melawan kolonialisme. Beberapa tokohnya bahkan sebagai Pendiri Negara ini. KH. Wahid Hasjim, dan KH. Masjkur (NU), Ki Bagus Hadikusumo, dan Abdoel Kahar Moezakir (Muhamadiyah), sebagai anggota BPUKPI sekaligus PPKI. Bahkan, Ayahanda KH. Wahid Hasjim, yaitu KH. Hasjim Asy'ari jadi guru pendiri Negara ini.
Jadi, maaf, Mendikbud ini tuna sejarah. Jangan sampai menganggap seolah-olah sejarah pendidikan bangsa ini tak perlu. Itu namanya a historis. Tokoh-tokoh itu adalah para pendidik (Guru) yang mengajar di pesantren. Belum lagi kaum guru lain yang berjuang lewat pendidikan memerdekakan dan membangun karakter bangsa ini. Di antaranya Ruhana Kudus, sang wartawan dan pendiri Sekolah Kerajinan Amai Setia, di Koto Gadang, Sumatera Barat di masa pra kemerdekaan. Juga para Romo di seminari, maupun biksu mengabdikan dan menggerakkan pendidikan tanpa pamrih, lelah dan penuh pengabdian. Di era Indonesia modern, kita mengenal tokoh Katholik, Romo Mangun yang membangun sekolah alternatif bagi kaum miskin di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Mas Mendikbud, kesannya gagal paham soal pendidikan kita. Ia boleh saja mengenyam pendidikan di Universitas Harvard, Amerika Serikat. Tapi tradisinya tentu berbeda dengan budaya masyarakat Indonesia. Apalagi, Mas Mendikbud ini kesannya tuna filosofis pendidikan kita. Bagi penulis ini sesuatu yang absurd. Mas Mendikbud boleh saja mengaku paham masa depan. Tapi, Mas Mendikbud, mengelola pendidikan bangsa ini tak boleh meninggalkan kesejarahannya. Jangan sampai menjadi a historis hingga arahnya tak jelas. Pasalnya, pendidikan di negeri ini dikonstruksi para pendiri negara lewat pergulatan pemikiran panjang berkelindan dengan kesejarahannya. Makanya, dicantumkan dalam pasal 30 UUD 1945 sebagai hak warga negara.
Era pendidikan akhir tahun 70-a, hingga 80-an di Indonesia, Mendikbudnya, Prof Dr. Daeod Joesoef. Ia eks pejuang kemerdekaan, lulusan Universitas Sorbone, Prancis. Ia paham betul bagaimana mengelola pendidikan Indonesia. Meskipun, di masanya pernah menerbitkan kebijakan normalisasi kehidupan kampus dan badan koordinasi kemahasiswaan (NKK/BKK) yang diklaim mengekang kehidupan kampus dari aroma politik. Tapi, ia membangun agrumentasi amat kuat bahwa kampus mesti steril dari aktivitas politik praktis. Hingga kalangan mahasiswa penentangnya masa itu tidak mudah mendebatnya. Apakah mahasiswa buta politik selama berlakunya kebijakan itu? Tak juga. Aktivitas mahasiswa tetap saja dinamis meskipun dibatasi. Masa itu semua kebijakan pendidikan, dari dasar, menengah hingga perguruan tinggi dibangun dengan filosofis yang jelas. Contohnya, kurikulum tak berubah setiap tahun. Memang masa itu, belum ada teknologi informasi. Itu saja bedanya. Penulis meyakini, Mendikbud masa itu mengamalkan filosofi pendidikan KHD.
ADVERTISEMENT
Kalau Mendikbud kini, tak paham filosofis dan konsep KHD serta cita-cita pendiri negara, sebaiknya Bapak Presiden mengevaluasinya. Soalnya, begitu janji Presiden tatkala melantik kabinetnya. Bagi, KHD, pendidikan itu alat perjuangan bangsa melawan kolonialisme. Bukan sebaliknya. Pendidikan malah membebani dan terkesan menjajah rakyat sendiri. Penulis tak anti teknologi informasi sebagai instrumen kemajuan. Tapi, negara mesti memahami, bahwa kesenjangan sosial ekonomi, membuat tak semua warga negara mampu memiliki dan mengakses teknologi.
Bayangkan saat ini, anak-anak yang belajar online di tengah COVID-19. Tak bisa diasumsikan semua memiliki handphone (HP), laptop, dan mudah mengakses internet. Di tambah kemampuan membeli pulsa. Pasalnya, orang tuanya sebagian besar telah kehilangan pekerjaan. Negara mesti hadir lewat pemerintah untuk tak turun tangan mengatasinya. Jangan sampai kasus perampokan toko emas di Kutai Kertanegara oleh tiga Siswa SMA akibat butuh uang buat beli HP demi mengikuti belajar online terjadi juga di daerah lain (detik.com 01/08/2020). Belum lagi, Anak-anak yang bersekolah di daerah pelosok dan terpencil mesti berjibaku mencari sinyal HP.
ADVERTISEMENT
Mereka tak ada jaminan akan mengikuti belajar online selamanya. Lalu, apakah kebijakan pemerintah mengatasi hal ini? Pemerintah lewat Kemendikbud tak bisa berkilah dan hanya pidato disrupsi serta revolusi 4.0? Pidato tak menyelesaikan masalah. Kini amat familiar istilah milenial. Bagi penulis, maaf--istilah milenial itu, adalah sebuah terma kapitalisme tanpa etika. Bayangkan kalangan milenial bisa ngomong seenaknya tanpa etika dan mengabaikan nilai-nilai (values) luhur dan pandangan hidup bangsa. Padahal cita-cita KHD adalah pendidikan kita mesti berkarakter, berbudaya, dan berwawasan kebangsaan.
Menurutnya, pendidikan kita mesti dikonstruksi lewat filsafat pendidikan among. Di dalamnya mengandung konvergensi filsafat progresif menyangkut kemampuan kodrati anak untuk mengatasi persoalan yang dihadapinya sehingga memberi kebebasan berpikir seluas-luasnya. Filsafat ini berpadu dengan pemikiran esensialisme yang memegang teguh esensi kebudayaan asli Indonesia yang sudah teruji. Bagi, KHD, mengambil nilai-nilai Barat mesti selektif adaptatif selaras teori trikon: kontinyuitas, konvergen, dan konsentris.
ADVERTISEMENT
Memajukan pendidikan Indonesia lewat “trikon”, yaitu kontinyu dengan alam masyarakat Indonesia, konvergen dengan alam luar, dan bersatu dengan alam universal. Dalam persatuan konsentris dimaknai sebagai bersatu, tapi tetap berkepribadian sendiri yang khas. Inilah konsep filosofis pendidikan KHD yang juga pendiri negara.
Sekarang ini pendidikan kita kian jauh dari cita-cita pendiri negara dan Proklamasi 17 Agustus 1945. Mestinya pendidikan kita makin ke arah kemajuan dan punya “keunikan” tersendiri. Tapi, kenyataannya makin memasuki millenium ketiga, pendidikan kita terkesan terlalu menganut pendekatan mekanistik-instrumental-administratif. Jauh dari pendekatan organik-substantif-humanis. Lantas mau mengharap apa buat masa depan?
Memangnya, semua anak didik hanya jadi mesin kapitalisme global. Jangan sampai kita terhipnotis dengan kemajuan teknologi tanpa selektif adaptif (baca: KHD), sementara di baliknya bercokol pemodal besar yang menghegemoninya. Kita bisa membayangkan pemilik/penguasa provider komunikasi, internet dan sejenisnya meraup jumlah keuntungan dari keterpurukan dan penderitaan orang tua murid di tengah COVID-19 ini. Apakah Mas Mendikbud paham soal ini?
com-Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim saat melakukan konferensi Dana BOS 2020, Senin (10/2). Foto: dok. kemdikbud.go.id
Bagi penulis, bangsa ini butuh Mendikbud yang paham arah dan orientasi pendidikan tanpa mengabaikan kesejarahan bangsa ini. Kita tak perlu menghamba dan memperkaya kaum kapitalis lewat pendidikan. Sebab pendidikan itu proses kebudayaan dan membutuhkan peran negara yang dominan. Jangan sampai pemerintah gagal paham. Hingga pendidikan ini tak membebaskan (Freire). Malah mempertajam kesenjangan dan kemiskinan akibat kebijakan yang tak jelas. Sejatinya, pendidikan mengatasi problem struktural itu sehingga membebaskan. Pasalnya, bangsa ini dibangun para bapak bangsa yang sekaligus pendidik hingga membebaskannya dari kolonialisme. Kalau dulu mereka melawan kapitalisme kolonialisme lewat pendidikan. Kini mestinya, kita melawan metamarfosis kapitalilsme dan neoliberalisme dalam pendidikan. Soalnya, ia telah mendegradasi pemaknaan ideologi, etika, budaya dan wawasan kebangsaan. Ingat, hakikat pendidikan kita ialah mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam tujuan negara dalam Pembukaan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya mengeluarkan kebijakan afirmatif di masa COVID-19 yaitu memberi subsidi bagi anak didik di daerah pelosok dan terpencil, orang tuanya kehilangan pekerjaan serta tergolong fakir miskin. Sebabnya, itu hak warga negara yang dijamin dalam pasal 30 dan 34 UUD 1945. Mendikbud jangan sampai gagal paham menganggap sepele persoalan ini. Begitu pula dengan ketiga organisasi besar itu tak bisa diselesaikan hanya dengan ”minta maaf” dan pidato. Melainkan, sowan kepada ketiganya. Sebab, mereka orang masyarakat madani yang punya sejarah panjang dalam dunia pendidikan sehingga penyelesaiannya komprehensif, fair tanpa peminggiran. Semoga?
*Dosen Universitas Trilogi Jakarta