RUU HIP: Matinya Demokrasi

Muhamad Harikal Ramadhan Pohan
Mahasiswa Pascasarjana FIKOM UNPAD Bandung Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam
Konten dari Pengguna
22 Juni 2020 10:44 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Harikal Ramadhan Pohan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
RUU HIP: Matinya Demokrasi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia Darurat. Begitulah gambaran sederhana mengenai keadaan Indonesia saat ini, mulai dari darurat kesehatan hingga darurat demokrasi, di tengah – tengah pandemi Covid-19 saat ini banyak kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah baik Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif membuat resah masyarakat Indonesia, dari tiga lembaga pelopor demokrasi pada saat Covid-19 ini memanfaatkan keadaan karena berkurangnya Kontrol Sosial yang di lakukan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kontrol sosial yang kurang dari masyarakat menyebabkan tiga lembaga ini bertindak sesuka hati, Eksekutif melalui pemerintah pusat masih lamban dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi pada era post Covid-19 ini, dan Yudikatif memutuskan perkara menimbulkan pro dan kontra, dimana putusan tersebut dirasa janggal oleh masyarkat karena di nilai tidak objektif dalam memberi keputusan serta adanya kepentingan di balik putusan yang di keluarkan oleh lembaga tersebut,serta lembaga Legislatif disini yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang banyak mengusulkan dan melanjutkan Rancangan Undang-Undang yang di pandang masyarakat tidak ada urgensi dalam perumusannya.
Rancangan Undang-Undang atau RUU yang di lanjutkan pembahasannya oleh DPR salah satunya adalah RUU Omnibus Law atau Ciptaker, RUU KHUP, RUU PKS yang tak kunjung di sahkan, hingga yang terbaru adalah RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), pembahasan di nilai kurang relevan dengan kondisi negara yang sedang darurat, para wakil rakyat yang sudah seharusnya bekerja untuk kepentingan rakyat tetapi dalam situasi kondisi saat ini tidak terlihat kerjanya untuk rakyat, banyak RUU yang di nilai mengerdilkan hak-hak rakyat, RUU omnibus law yang hanya mengedepankan kepentingan pemodal serta, RUU HIP pada perumusannya untuk memperkuat posisi Pancasila malah mempersempit ruang gerak dari Pancasila itu sendiri, pembahasan RUU HIP sedang hangat diperbincangkan oleh berbagai kalangan, mulai dari forum akademisi hingga warung kopi, karena RUU HIP ini membahas keberadaan Pancasila sebagai Ideologi negara.
ADVERTISEMENT
Pembahasan Ideologi Pancasila masih relevan untuk diskursus ilmiah atau menjadi bahan kajian ilmiah dan sudah tidak relevan menjadi diskursus di ruang politik, ruang politik yang di maksud adalah parlemen baik pemerintah atau DPR, jika pembahasan Pancasila di bawa ke ruang politik maka pembahasan ini sudah di tunggangi oleh kepentingan baik pribadi maupun golongan, seperti RUU HIP ini adalah hasil dari diskursus di ruang politik.
Dalam pasal 7 RUU HIP mengatur tentang ciri pokok Pancasila yaitu Trisila. Konsep Trisila hadir dari gagasan pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 pada sidang BPUPKI, ada tiga konsep yang di tawarkan oleh Soekarno yaitu Pancasila, Trisila, dan Ekasila. Tetapi dalam sidang tersebut disepakati adalah Pancasila, maka sekarang dikenal 1 Juni adalah hari lahirnya Pancasila, pasal ini lebih fokus untuk mengedepankan Trisila yang di kristalisasi menjadi Ekasila. Seharusnya ciri pokok dari Pancasila saat ini adalah Pancasila itu sendiri, karena sudah di sepakati oleh para pendahulu konsep yang di pakai adalah Pancasila, karena Pancasila sudah secara holistik membahas seluruhnya baik Trisila maupun Ekasila jadi tidak perlu di masukan kembali konsep Trisila dan Ekasila dalam bentuk undang-undang. Dan menjadi tanda tanya besar karena tidak ada penjelasan yang pasti mengenai Ketuhanan Berkebudayaan.
ADVERTISEMENT
Rancangan undang-undang ini selain membahas tenang eksistensi Pancasila, kita sebagai warga negara di paksa menjadi Manusia Pancasila, ini adalah hal yang sangat tidak masuk akal untuk di masukan ke dalam RUU HIP, karena tanpa dibentuk RUU HIP yang harus mengatur tentang sendi bernegara setiap warga negara sudah pasti dan sudah ada UUD 1945 yang menjelaskan kita bagaimana kita hidup berbangsa dan bernegara, jadi ini hanya formalitas konsep Manusia Pancasila di masukan ke dalam RUU HIP. RUU HIP juga membahas tentang konsep pembangunan nasional.
Dalam RUU HIP juga kalo kita baca secara keseluruhan konsep Indonesia sebagai negara bercorak agraris dan maritim dalam pembangunan nasional, konsep pembangunan dalam RUU HIP sudah baik tetapi lebih condong ke agraria & industrialisasi, corak dan pemanfaatan sektor maritim tidak begitu di lirik dalam RUU HIP, maka semakin jelas Indonesia sebagai negara bercorak maritim hanya konsep saja, dalam perincian pasal dalam RUU HIP tidak di singgung sama sekali tentang sektor maritim. Pasal dalam RUU HIP seharusnya mengedepankan soal pemanfaatan sektor maritim daripada industrialisasi.
ADVERTISEMENT
Perumusan RUU HIP sebenarnya hanya memperkuat kedudukan BPIP, agar BPIP sudah diatur dalam bentuk Undang-undang yang sebelumnya hanya berbentuk Keppres, hal ini di dapat dari catatan rapat Baleg DPR RI,
dan RUU HIP mempertegas kedudukan Kepala Negara sebagai pemegang kekuasaan dalam pembinaan Haluan Idelogi Pancasila, terlepas pelaksanaannya di bantu dengan lembaga BPIP tetapi akan ada dominasi Kepala Negara dalam mengatur sendi hidup berbangsa dan bernegara, dominasi Kepala Negara bisa membuat degradasi demokrasi kita dan bisa terwujudnya Demokrasi Terpimpin jilid II, serta hal yang di takutkan masyarakat adalah memungkinkan praktik korupsi dalam pelaksanaan RUU HIP, karena RUU HIP dalam pelaksanaanya jelas di atur dalam RUU HIP adalah menggunakan dana APBN, keresahan ini berkaca kepada lembaga BPIP yang hanya sebagai lembaga pemanis dan tidak berdampak besar bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Demokrasi kita sudah mati, Bung Karno & Hatta bisa menangis andai beliau hidup di era sekarang melihat Demokrasi Indonesia mati mengutip Bung Hatta dalam Buku Demokrasi Kita:
“Ideologi bagi saya ada di dalam diri bukan dalam lembaran berbentuk Undang-Undang,” Harikal Pohan.