Mahar Politik, Bibit Korupsi Buatan Parpol

14 Januari 2018 13:39 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Persiapan Pilgub di TPS 51 Pejaten Barat (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Persiapan Pilgub di TPS 51 Pejaten Barat (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Praktik mahar politik atau dikenal juga sebagai 'uang perahu', mengemuka dalam Pilkada serentak 2018 setelah La Nyalla Mattaliti mengaku dimintai uang oleh Gerindra untuk jadi calon gubernur Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Dana yang harus disiapkan oleh La Nyalla adalah Rp 40 miliar yang akan dialokasikan untuk dana saksi di TPS. Namun Gerindra membantah keterangan itu, bahkan menyebut kalau pun untuk dana saksi, maka dana yang dibutuhkan bisa mencapai Rp 141,3 miliar.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menyebut mahar politik itu memicu kandidat kepala daerah korupsi saat mereka memenangkan Pilkada dan menjabat di pemerintahan.
"Permintaan sejumlah uang dari parpol kepada calon dengan alasan untuk pembiayaan saksi calon, menggerakkan mesin partai, pengadaan alat dan bahan kampanye, operasional kampanye, dan lain-lain, tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan wajar-wajar saja," ucap Titi kepada kumparan (kumparan.com), Minggu (14/1).
"Praktik korupsi politik terjadi justru bermuara dari hal seperti ini. Sebab ketika terpilih dan berkuasa, maka dia akan melakukan upaya untuk mengembalikan modal yang sudah ia keluarkan di pilkada," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Titi, jika hanya mengandalkan gaji dan tunjangan operasionial selama 5 tahun menjabat, tidak seimbang dengan dana miliaran yang dikeluarkan untuk memenangkan Pilkada. Akibatnya, praktik mahar politik inilah yang memicu korupsi.
"Perselingkuhan dengan oknum pun dimulai. Manipulasi perijinan, jual beli jabatan birokrat, memalak proyek infrastruktur, dan berbagai permufakatan korup lainnya yang melibatkan kekuasaan dan anggaran yang dia kelola," tutur Titi.
Kapolri sudah menyebut akan membentuk Satgas Antipolitik Uang yang secara tegas akan memerangi jual beli suara dan mahar politik. Maka kasus ini jadi momentum untuk memulai upaya penegakan hukum yang tegas atas praktik jual beli tiket pencalonan pilkada.
Ilustrasi Uang Rupiah (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Uang Rupiah (Foto: Thinkstock)
"Bawaslu dan Polri mestinya proaktif mengimbau kepada La Nyala-La Nyala yang lain untuk berani bersuara dan melaporkan praktik serupa. Tentu jaminan keamanan dan perlindungan hukum harus diberikan maksimal kepada para whistle blower ini," papar Titi.
ADVERTISEMENT
Dia menegaskan, UU Pilkada sudah jelas mengharamkan praktik jual beli pencalonan ini. Dan tidak akan pernah ada efek jera bila tidak ada ketegasan pengawas pilkada dan aparat penegak hukum.
"Lagipula aneh jika parpol berkoalisi mengusung calon namun pembebanan biaya kampanye, pemenangan, dan pengawalan suara hanya kepada calon yang akan bertanding. Lalu fungsi pengusungan calob oleh parpol apa?" kritiknya.