news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Puncak Gunung Slamet, Wayang, dan Para Dokter

28 Juni 2017 8:37 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pegelaran wayang di Malioboro. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pegelaran wayang di Malioboro. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
ADVERTISEMENT
Aku berada di tengah keramaian malam tahun baru di Malioboro. Menunggu teman di pinggir jalan, aku mendengar alunan nada gamelan yang menggoda.
ADVERTISEMENT
Kuhampiri sumber suara tersebut yang dari jauh terlihat seperti pementasan wayang. Sesampainya di sana, sang dalang menancapkan wayang gunungan ke gedebok yang berbahan batang pisang.
Jujur awalnya aku tak tahu apa itu “gunungan”, namun di antara karakter wayang lain, wayang itulah yang kuanggap paling memesona.
Baru 4 bulan kemudian aku belajar untuk mengetahui filosofinya yang penuh warna.
.......
Maret 2016, jemari kaki basah kuyup melewati sungai kecil menuju Pos 1. Aku mendaki Gunung Slamet dari basecamp Bambangan, Purbalingga, Jawa Tengah.
Gunung Slamet yang konon jika mengalami erupsi besar dapat membelah Pulau Jawa, adalah satu-satunya gunung di Jawa Tengah yang belum kukunjungi. Aku sempat berniat, ini adalah pendakian terakhirku sebagai seorang mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Entahlah, aku juga pernah berkata demikian pada pendakian gunung-gunung sebelumnya. Tapi kata tinggallah kata.
Aku memimpin pendakian yang diikuti 6 teman sejurusan di bidang politik dan 1 teman yang akan menjadi sarjana impian para mertua (kedokteran).
Belum sampai Pos 1, napasku terasa berat. Perut kurus anak kosan ini terasa buncit. Ada apa?
Teman-temanku satu per satu mendahului dan menyemangatiku. Hingga akhirnya aku berkata, “Kayaknya gue turun aja deh.”
Mereka kaget dan menganggap aku bercanda. Dua teman menemaniku beristirahat selagi menyemangati dengan menyebut nama pujaan hati.
Aku tak terpengaruh mantra itu, apalagi sang pujaan telah membuatku patah hati.
Kedua temanku akhirnya pergi dan mengatakan akan menungguku di Pos 1 nanti.
Pepohonan di Gunung Slamet. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pepohonan di Gunung Slamet. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Mungkin ini masalah mood, akhirnya kucoba menyalakan musik bernada beat untuk memacu semangat. Perlahan-lahan aku melewati semak-semak dan hutan pinus.
ADVERTISEMENT
Aku pun melewati dua sejoli yang tengah asyik mendaki bersama. Pasangan itu menjadi motivasiku agar segera mendaki lebih jauh meninggalkan mereka yang memamerkan pandangan menyayat batin.
Dengan tanah sedikit menanjak dan lincin, akhirnya aku sampai di Pos 1.
Benar saja, temanku masih menunggu di sana, menikmati pisang goreng dan teh hangat dari warung dadakan yang dibuat warga.
“Weh, ga jadi turun,” sahut temanku.
Dengan kacamata berkabut, aku pun ikut menikmati pisang goreng dan teh hangat yang mungkin dapat memupuk semangat.
Namun sesaat ketika kami hendak melanjutkan perjalanan, niatku kembali melemah.
“Sampe sini aja ya, entar gue tunggu di basecamp,” aku bercakap lemas.
“Salat dulu dah, yuk,” kata seorang temanku yang biasanya hanya salat di hari Jumat. Salatlah kami, setelah itu pendakian para perjaka ini berlanjut. Termasuk aku yang kembali ikut.
ADVERTISEMENT
Sepanjang jalan berikutnya, kebiasaan lama kami muncul. Saling bercanda, mencela kelemahan fisik masing-masing yang sama-sama tak ingin dianggap “tua”. Bergantian, salah satu dari kami bersenandung ketika lagu yang diputar di ponsel sesuai dengan irama hati.
Pemandangan dari Gunung Slamet. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan dari Gunung Slamet. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Pos 2 dan 3, Pondok Lawang dan Cemara, kami lewati. Tak terasa, ini jadi sebuah antitesis dari perjalanan awal.
Di tengah perjalanan menuju Pos 4, senja menyambut disertai rintikan hujan.
Gelap dan hujan. Kondisi yang tak ideal untuk mendaki.
Jas hujan warna-warni pun bermunculan. Perlahan aku dan teman-temanku menapaki tanah dan bebatuan licin.
Semakin naik, hujan kian lebat. Guntur yang sesekali terdengar membuat kami waswas di tengah rimbun pepohonan cemara.
Salah seorang teman terpeleset, mengeluh kram. Mata kami sontak tertuju pada satu-satunya calon dokter di antara kami.
ADVERTISEMENT
Meski mungkin tak ia pelajari di kampus, si calon dokter berubah menjadi seorang tukang pijat, atau bahasa kerennya: terapis.
Singkat cerita, sembuh sudah kram temanku yang terpeleset tadi. Ajaib memang sentuhan si calon dokter.
Perjalanan menerobos hujan berlanjut. Selang 1 jam, tiba-tiba ada orang dari rombongan di depan kami berteriak “Pos 5!”
Akhirnya kami sampai di lokasi untuk berkemah alias nge-camp. Saking fokusnya meniti jalan, kami tak sadar telah melewati Pos 4, Samaranthu, yang dikenal angker sebagai gerbang gaib. Konon, nama Samarantu sendiri berasal kata “samar” dan “hantu” yang berarti hantu tak terlihat.
Banyak pula cerita pendaki yang mengaku mendengar alunan gamelan dan nyanyian di lokasi ini.
Tak lama sampai Pos 5, hujan pun reda. Alam seakan mengerti jiwa-jiwa yang ingin beristirahat. Kami segera mendirikan tenda dan memasak mi, kentang, dan kopi penghangat tubuh.
ADVERTISEMENT
Rasa lelah yang menggumpal, kondisi lembab, tubuh yang kering membeku, membuatku kembali enggan untuk melanjutkan pendakian esok hari.
Pos 5 Gunung Slamet (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pos 5 Gunung Slamet (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Namun keesokan harinya, justru aku terbangun paling pagi. Aku keluar tenda dan melepas jaket, berusaha melawan dingin dengan menyatu bersama alam.
Temanku yang baru terbangun berkata, “Gaya banget a gak pake jaket.” Aku pun bergurau, menyebut sedang melalukan “aklimatisasi”.
Sederhananya, aklimatisasi adalah penyesuaian diri terhadap iklim sekitar --meski aku tak tahu pasti bagaimana cara melakukannya.
Kami semua akhirnya terbangun dan berkumpul di samping shelter, bersiap melakukan summit attack.
Meninggalkan tenda dan tas, kami mulai mendaki menjelang fajar.
Satu per satu, Pos Samyang Rangkah (6), Samyang Kendit (7), dan Samyang Jampang (8) kami lewati. Adakah hubungan nama Samyang yang ini dengan mi Korea yang hits itu? Ah, entahlah.
Bagai musim gugur di Gunung Slamet. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bagai musim gugur di Gunung Slamet. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
ADVERTISEMENT
Yang jelas trek yang kami lalui tak begitu menandakan hubungan tersebut. Bebatuan besar, ilalang kering, dan hutan mati adalah gambaran trek “Samyang” yang kami lalui selama 1,5 jam.
Hangatnya matahari mulai terasa di Pos 9 yang bernama Plawangan. Inilah pos terakhir sebelum menyapa puncak.
Pos ini sekaligus batas vegetasi. Di sini, tak ada lagi pepohonan untuk berteduh.
Trek terjal mendominasi. Bebatuan vulkanik berselimit pasir dan kerikil, membuat kami harus berhati-hati bila tak ingin terguling.
Aku yang tak cakap melalui trek seperti ini pun menggunakan teknik merangkak ala spiderman. Saat trek makin terjal dan curam, aku berbalik dan memandang ke bawah.
Sambil menghela nafpas, aku sedikit gemetar melihat jurang di gunung setinggi 3428 mdpl ini, tertinggi ke-2 di tanah jawa setelah Gunung Semeru.
ADVERTISEMENT
Aku sempat berfirasat tentang ajal, sehingga membuatku kembali berujar untuk kembali turun. Namun temanku berkata, “Gue dorong nih kalau turun.”
Trek pendakian Gunung Slamet. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Trek pendakian Gunung Slamet. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Bercanda memang, namun jika candaan itu berbuah celaka?
Akhirnya, kembali, lanjutlah aku mendaki. Setelah satu jam melalui trek maut ini, akhirnya aku sampai di puncak Surono, puncak Gunung Slamet.
Nama Surono merupakan penghormatan terhadap seorang pendaki yang meninggal dan terpeleset di puncak gunung.
Pemandangan megah berupa hamparan kaldera kawah aktif kami nikmati.
Di antara anggota rombonganku, ada yang hanya berbaring tidur, ada pula yang mencari spot foto terbaik.
Aku melihat satu pemandangan unik di puncak: wayang berwarna keemasan yang berbentuk seperti gunung.
Entah siapa yang membawanya ke puncak, dan apa makna yang ingin diberikan.
ADVERTISEMENT
Wayang itu tiba-tiba mengingatanku pada wayang yang kulihat di Malioboro beberapa bulan lalu.
Replika wayang di puncak Gunung Slamet. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Replika wayang di puncak Gunung Slamet. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Dalam perjalanan turun, rasa syukur terasa, karena berhasil mendaki bersama teman-teman, yang entah bagaimana, bisa membawa jiwa putus asa ini ke puncak salah satu puncak tertinggi di Pulau Jawa.
Kusebut mereka semua, kawan-kawanku itu, sebagai dokter. Enam dokter mental dan satu dokter sungguhan.
Sesampainya di basecamp di mana sinyal ponsel kembali “ditemukan”, aku mencoba menuntaskan rasa penasaran tentang wayang.
Wayang yang berkesan itu ternyata bernama Gunungan Gapuran. Wayang ini biasanya muncul di awal dan akhir pementasan.
Bentuk lancipnya menggambarkan kehidupan manusia yang seiring bertambahnya usia harus semakin memperbaiki diri untuk mendekatkan diri kepada yang Maha Kuasa.
Gambar gapura dan dua penjaganya melambangkan sisi gelap dan terang manusia.
ADVERTISEMENT
Pohon yang menjalar ke pucuk melambangkan perilaku manusia yang harus tumbuh dan memperbaiki diri agar bisa menjadi sosok yang bermanfaat bagi orang banyak.
Burung menggambarkan kewajiban manusia membuat dunia menjadi lebih indah.
Banteng melambangkan manusia harus tangguh dan bekerja keras.
Harimau menggambarkan bahwa manusia harus menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dengan mengendalikan hawa nafsu.
Kepala siluman atau raksasa menggambarkan sifat rakus dan jahat manusia dengan berbagai godaan yang dihadapi.
Kera menggambarkan manusia yang harus mampu memilih mana yang baik dan buruk, seperti kera yang mampu memilih buah yang manis ataupun tidak.
Ombak dan lautan menggambarkan pemikiran manusia.
Rumah joglo melambangkan rumah yang tenteram dan bahagia.
Pemandangan dari basecamp Bambangan Gunung Slamet. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan dari basecamp Bambangan Gunung Slamet. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Dan bila wayang gunungan tersebut dibalik, maka akan terlihat gambar berwarna merah seperti api membakar. Ini menggambarkan kehancuran apabila manusia tak mampu mengendalikan diri dan terjerumus ke jalan yang buruk.
ADVERTISEMENT
Semua pemaknaan ini seakan menggambarkan perjalananku mendaki Slamet yang aku maknai sebagai simbol pentingnya kebersamaan, manusia yang memiliki batas, dan keagungan Tuhan.
Untuk para dokter yang membawaku menemukan makna pendakian sejati, semoga Tuhan memberkati.