Era Post-Truth dan Mudahnya Sesuatu Menjadi Viral

Muhammad Areev
Pegiat Media Sosial, Pengagum Gus Baha, Pecandu Sepakbola, Penulis di www.muhammad-areev.blogspot.com
Konten dari Pengguna
31 Juli 2021 16:34 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Areev tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam 2 minggu ini saya melihat dua kasus viral di media sosial. Kasus viral pertama seorang anggota TNI AU yang injak kepala warga papua. Menurut informasi yang beredar saat itu personel satpom AU Serda D dan Prada V hendak membeli makan di rumah makan padang dengan berboncengan menggunakan sepeda motor.
ADVERTISEMENT
Mereka melihat banyak kerumunan warga, selanjutnya kedua personel itu melihat cekcok antara seorang pria dengan penjual bubur ayam. Kedua personel lalu mengamankan seorang pria yang saat itu dalam keadaan mabuk. Pria mabuk itu memeras penjual bubur ayam dan juga kepada penjaga rumah makan padang pariaman.
Saat mengamankan, seorang anggota TNI itu menginjakkan kaki di kepala sang pria. Hal ini pun menjadi viral dan pelaku infonya dipecat dan atasan dari pelaku juga dicopot dari jabatannya.
Kasus viral kedua di media sosial pengakuan seorang pemuda asal Minahasa Selatan, Sulawesi Utara (Sulut), Rafael Malalangi yang namanya hilang dari daftar calon siswa bintara Polri.
Merasa tidak adil atas kejadian ini, lewat unggahan video di medsos, Christofel Tumalun mengadu kepada Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dia meminta keadilan untuk putranya yang belakangan disebut tidak lulus sebagai Bintara Polri di Polda Sulut. Vidio yang diunggahnya pun viral dan menuai beragam komentar di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya dua kasus di atas, ada banyak kejadian lain yang begitu mudahnya viral dan menjadi headline di berita nasional. Mudahnya sesuatu menjadi viral saat ini saya melihatnya sebagai masuknya kita kepada era baru yang disebut post-truth.
Sekarang ini, terutama dalam pergaulan di media sosial, kita memasuki sebuah era “post-truth” (pasca kebenaran). “Post” di situ bisa diartikan “setelah” atau “melampaui”. Di era post truth orang tidak lagi peduli pada “kebenaran” sebuah fakta. Bahkan, orang tidak lagi mempermasalahkan atau mempertanyakan “kebenaran”.
Post-Truth. Foto : pixabay.com
Post truth ini sendiri bukan frasa yang baru, pertama dipopulerkan tahun 1992 oleh Steve Tesich dalam tulisan berjudul The Government of Lies. Dalam artikel yang dipublish di majalah The Nation tersebut, Tesich menulis bahwa “Kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan ingin hidup di dunia post-truth”.
ADVERTISEMENT
Tulisan itu ditulis Tesich sebagai bentuk kegelisahan atas propaganda negara-negara yang terlibat dalam Perang Teluk di awal dekade 90-an. Propaganda yang dilakukan oleh Negara-negara teluk saat itu memang menjadi suatu hal yang sulit dibedakan public dunia waktu itu. Kebenaran dan kepalsuan menjadi hal yang sulit dibedakan.
Tahun 2004, Ralph Keyes bersama komedian Stephen Colber juga mempopulerkan istilah yang hampir sama: truthness, yaitu sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali. Dan terakhir pada tahun 2016 saat Donald Trump mengikuti pemilihan presiden di Amerika, di mana para voter di negara Paman Sam bahkan publik global terpolarisasi dan dibingungkan oleh berita-berita maupun opini-opini yang beredar.
Metode propaganda firehouse of falsehood-nya Donald Trump menciptakan kondisi post truth yang menggemparkan. Sehingga kamus Oxford mendefinisikan post truth sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan emosi dan keyakinan personal.
ADVERTISEMENT
Jika di abad modern kita mendengar frasa terkenal dari filsuf terkenal Prancis, Rene Descartes, “cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku ada), era post-truth justru mundur kembali sebelum abad Modern. Kebenaran tidak lagi diukur berdasarkan nalar dan rasionalitas, melainkan ditentukan emosi dan perasaan. Jika sebuah informasi didapat sesuai kepentingan dan perasaan, ia akan dengan mudah diterima dan disebarluaskan meskipun secara nalar kacau dan tidak sesuai dengan fakta.
Kemudahan akses terhadap informasi dan koneksi yang dapat terhubung dengan siapa pun di dunia, seorang dengan mudah dapat menyampaikan apa yang menurutnya benar dan disebarluaskan. Bagai pisau bermata dua, informasi yang belum terbukti kebenaran seolah menjadi tidak penting. Menarik minat publik justru yang diutamakan terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain juga berdampak positif untuk mengungkap ketidakadilan yang terjadi. Saat warga biasa yang tidak mempunyai kekuatan “orang dalam” dan juga “pelicin”, yang sudah menjadi rahasia umum di sistem negara wakanda, sedikit terobati dengan mudahnya berbagi informasi dan mengungkap ketidakadilan dengan pengadilan umum yang disebut viral.
Viral, seolah menjadi syarat untuk mendapatkan keadilan saat ini bagi masyarakat kelas bawah. Kasus anggota TNI yang menginjak kepala warga tentu akan berbeda proses yang berlaku jika kehebohan berita tersebut tidak sampai ke nasional. Begitu juga dengan kasus Rafael Malalangi namanya hilang dari daftar calon siswa (casis) bintara Polri yang menurut informasi yang bersangkutan akan di masukkan di penerimaan polisi gelombang kedua.
Kemudahan akses terhadap informasi dan menyebarkannya menjadikan sehingga viral membawa kita kepada era post-truth di mana tidak mementingkan lagi kebenaran di mana emosi dan kebenaran personal yang lebih diutamakan. Di samping itu viral dapat menjadi "pengadilan umum" untuk mengungkapkan berbagai ketidakadilan maupun fakta yang tidak di dengar oleh sistem suatu negara ataupun sebagai sebuah "Toa" untuk memperdengarkan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat bawah.
ADVERTISEMENT