Frasa 'Nyan donya Mandum' di Kalangan Masyarakat Aceh

Muhammad Areev
Pegiat Media Sosial, Pengagum Gus Baha, Pecandu Sepakbola, Penulis di www.muhammad-areev.blogspot.com
Konten dari Pengguna
31 Juli 2021 16:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Areev tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai orang Aceh Ungkapan “nyan donya mandum" (itu dunia semua) tidak asing lagi di telinga kami. Ungkapan tersebut sering saya dengar dalam percakapan sehari-hari, baik percakapan candaan sesama teman (informal) maupun percakapan serius oleh seorang yang lebih tua kepada pemuda sebagai nasihat dalam konteks serius (formal).
ADVERTISEMENT
Ungkapan tersebut biasanya diucapkan oleh seorang yang lebih tua kepada yang muda sebagai nasihat. Misalnya “Bek that kalet kuliah nyan donya mandum (jangan terlalu kejar kuliah, itu dunia semua)” atau “Bek that kapikee keu peng nyan donya mandum (jangan terlalu pikir tentang uang, itu dunia semua)”atau “Keu peu tajak kuliah na ditanyong dalam kubu singoh, nyan donya mandum (untuk apa kuliah kan tidak ditanya dikubur nanti, itu dunia semua)”.
Bumi atau dunia. Foto : pixabay.com
Ungkapan yang diucapkan oleh orang dewasa tersebut mengingatkan seseorang untuk tidak terpaku atau fokus kepada pekerjaan dunia karena tujuan utama adalah akhirat. Dari ungkapan tersebut orang tentu akan paham bahwa Aceh sangat fanatik terhadap Agamanya.
Ungkapan yang mencakup “nyan donya mandum” tersebut sering juga kita dengar dalam percakapan sehari hari antara sesama (informal) sebagai ucapan candaan, misalnya ketika ada tugas kuliah yang menumpuk, kemudian datang teman yang lainnya dengan bermaksud bercanda “bek that kapike nyan, donya mandum (jangan terlalu dipikirkan, itu semua dunia)”.
ADVERTISEMENT
Ungkapan “Nyan donya mandum” Untuk percakapan yang informal mungkin wajar sebagai bentuk candaan. Namun, untuk percakapan yang informal saya agak menggelitik mendengarnya apalagi mencangkup dengan pendidikan seperti “Keupeu kajak kuliah nyan donya mandum (untuk apa kuliah, itu semua dunia)”. Istilah "dunia" seolah menggambarkan kesia-siaan, tidak berguna di akhirat.
Doktrin seperti ini tentu dapat menghambat perkembangan ilmu itu sendiri. Orang akan memilih suatu disiplin ilmu dan mengabaikan yang lainnya karena menganggap suatu kesiaan mempelajarinya. Tentu saja tafsir kemunduran seperti itu harus di hilangkan untuk kemajuan peradaban.
Tanpa bermaksud merendahkan pendidikan agama, sebagian masyarakat masih terdoktrin bahwa selain pendidikan agama mempelajari ilmu umum suatu kesiaan dan sering membandingkan mereka yang menempuh pendidikan agama dengan mereka yang yang menempuh pendidikan umum. Mereka yang menempuh pendidikan umum dianggap menyia-nyiakan umur, menghabiskan uang orang tua. Tentu saja tidak semua tempat. Mindset seperti itu banyak terjadi di daerah yang belum mengetahui kelebihan ilmu. Bagi mereka ilmu itu hanya ilmu tentang agama, selain itu tidak bermanfaat.
ADVERTISEMENT
Hemat saya, ilmu agama yang wajib dituntut oleh tiap individu (fardhu ain) itu ilmu tauhid untuk pengenalan tuhan yang disembah, ilmu fikih untuk mengetahui bagaimana menyembah tuhan dan ilmu tasawuf untuk menjaga agar apa yang kita sembah bernilai ibadah dan semata-mata karena Allah. Selain itu tentu saja ada banyak fan ilmu di dalam islam yang mungkin tidak akan kita kuasai meskipun kita sudah meluangkan waktu seumur hidup untuk mempelajarinya. Para ulama saja punya spesialisasi tersendiri, misalnya ada ulama ahli tafsir, fikih, hadist dan lain sebagainya.
Jika tiap orang harus mempelajari dengan segala detailnya lengkap dengan dalil segala ibadah dan ilmu dalam agama tentu kita tidak akan pernah melihat dokter, antropolog, psikolog, ahli pertambangan, arsitek, astronom dari orang islam karena mereka harus mempelajari ilmu agama dari seluk beluknya, dan itu butuh waktu yang tidak singkat. Biarlah mereka yang menuntut ilmu formal belajar sesuai dengan keahliannya tanpa meruntuhkan semangatnya dengan ungkapan ungkapan yang dapat menghambat perkembangannya. Toh, ilmu yang bermanfaat itu bukan saja ilmu agama, ilmu dunia pun juga bermanfaat insya Allah.
ADVERTISEMENT
Saya pernah membaca biografi ulama kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, siapa yang tidak kenal dengan beliau? Beliau merupakan cendekiawan muslim terbaik saat ini, beliau juga ketua majelis fatwa dunia. Banyak dari fatwa-fatwanya menjadi rujukan umat di zaman sekarang ini, terlepas dari fatwa-fatwanya yang banyak juga yng mengkritik. Nah beliau, memiliki tujuh anak. Empat putri dan tiga putra. Sebagai seorang ulama beliau sangat terbuka terhadap anak-anaknya untuk menuntut ilmu apa saja sesuai dengan minat dan bakat serta kecenderungan masing-masing. Beliau sama sekali tidak membedakan pendidikan yang harus ditempuh anak-anak perempuannya dan anak laki-lakinya.
Salah seorang putrinya memperoleh gelar doktor fisika dalam bidang nuklir dari Inggris. Putri keduanya memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia juga dari Inggris, sedangkan yang ketiga masih menempuh S3. Adapun yang keempat telah menyelesaikan pendidikan S1-nya di Universitas Texas Amerika.
ADVERTISEMENT
Anak laki-laki yang pertama menempuh S3 dalam bidang teknik elektro di Amerika, yang kedua belajar di Universitas Darul Ulum Mesir. Sedangkan yang bungsu telah menyelesaikan kuliahnya pada fakultas teknik jurusan listrik.
Dilihat dari beragamnya pendidikan anak-anaknya, kita bisa membaca sikap dan pandangan beliau terhadap pendidikan modern. Dari tujuh anaknya, hanya satu yang belajar di Universitas Darul Ulum Mesir dan menempuh pendidikan agama. Sedangkan yang lainnya, mengambil pendidikan umum dan semuanya ditempuh di luar negeri.
Beliau merupakan seorang ulama yang menolak pembagian ilmu secara dikotomis. Semua ilmu bisa islami dan tidak islami, tergantung kepada orang yang memandang dan mempergunakannya. Pemisahan ilmu secara dikotomis dapat menghambat kemajuan umat Islam.