Biar Iqbaal Saja yang Jadi Minke

Muhammad Darisman
Asisten Redaktur kumparanBisnis. Menulis dan editing konten isu ekonomi dan bisnis. Membuat konten Multichannel.
Konten dari Pengguna
28 Mei 2018 17:55 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Darisman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Hanung Bramantyo dipilih oleh Falcon Pictures untuk menyutradarai film Bumi Manusia, sebuah film yang diangkat dari karya fenomenal, Tetralogi Pulau Buru milik Pramoedya Ananta Toer. Mereka telah menggelar konferensi pers di kawasan Gamplong, Sleman, Kamis (24/6).
Keinginan mengalihwahanakan novel yang lahir di Pulau Buru ini juga telah sepenuhnya didukung keluarga Pram. Dalam konferensi, anak ketiga Pram, Astuti Ananta Toer, menyampaikan syukur atas akan divisualisasikannya jerih payah sang ayah.
Konferensi Pers Film Bumi Manusia (Foto: Giovanni/kumparan)
Sederet aktor yang bakal memberi nyawa tokoh dan cerita dalam novel juga telah dipilih. Iqbaal Ramadhan dipercaya untuk menjadi Minke, tokoh utama novel. Ia beradu akting dengan Mawar Eva De Jongh sebagai Annelies. Selain itu, juga ada Sha Ine Febriyanti sebagai Nyai Ontosoroh, dan Ayu Laksmi sebagai Ibu Minke. Persiapan besar-besaran pun dilakukan, Hanung mendapat kesempatan menggarap film ini di studio besar, lahan seluar 2,5 hektare bakal disulap jadi Surabaya.
ADVERTISEMENT
Sebesar-besarnya garapan ini, ada yang tidak kalah besar pula: reaksi netizen. Mulai dari mereka yang turut bergembira dan tidak sabar menanti, mereka yang biasa aja, hingga mereka yang kontra (ada yang tidak setuju karya sakral ini difilmkan, ada yang menolak Hanung menyutradarai, hingga mereka yang meradang karena Iqbaal adalah Minke).
Sekian banyak kontroversi yang muncul karena niat memvisualkan novel yang tidak kalah kontroversi ini, yang menarik perhatian saya adalah penolakan terhadap Iqbaal. Berbagai alasan mencuat: dari yang mengatakan Minke itu dewasa nan berkharisma-- sementara Iqbaal adalah sosok milenial, lalu mengungkit kesakralan novel yang terusik akibat pemilihan Iqbaal demi tujuan pasar semata, hingga barangkali ada kelompok yang tidak siap kehilangan Dilan, hehehe.
Iqbaal sebagai Dilan dan Minke (Foto: Falcon Pictures/Giovanni-kumparan)
Ketakutan semacam ini boleh saja dan tidak salah memang. Hanya saja, jika boleh menimpali, bukankah terlalu awal meragukan bisa tidaknya Iqbaal merepresentasikan Minke ke hadapan kita. Nah, untuk hal ini saya sependapat dengan tulisan Avicenna Biarkan Saja Bumi Manusia Digarap Hanung Bramantyo dan artikel Wawan Eko Yulianto. Jika sebagian besar orang meradang, dua tulisan ini justru mencoba melihat sisi positif atau kemungkinan akan dampak baik dari niat ekranisasi novel ini.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, alih wahana novel ini ke bentuk film adalah sebuah semangat yang patut diapresiasi. Tanpa menutup mata, saya setuju bahwa Bumi Manusia-- karya yang kurang lebih satu dekade berada dalam kepala Pram ini, dibawa keluar masuk penjara, lahir di dalam penjara, dan mula dibaca oleh tahanan pula-- termasuk salah satu karya besar di dunia kesusastraan Indonesia.
Iqbaal Ramadhan dengan Buku 'Bumi Manusia'. (Foto: Instagram @filmbumimanusia)
Kendati begitu, memindahkan karya ini ke film bukan berarti berisiko merusak kesakralannya. Sebab, ketika dia telah beralih menjadi film, maka serta-merta dia menjadi karya yang berbeda dari novelnya. Sejalan dengan Wawan, saya juga setuju bahwa karya sastra itu multitafsir. Setiap orang yang membaca bakal memiliki perjalanan imajinasi yang berbeda tentunya terhadap tokoh dan cerita.
ADVERTISEMENT
Justru akan lebih janggal rasanya apabila satu karya hanya menghadirkan penafsiran tunggal. Penafsiran terhadap karya sepenuhnya menjadi milik pembaca, mungkin ini seperti yang Roland Barthes katakan: pengarang telah mati.
Di luar perdebatan tentang risiko merusak estetika atau kesakralan karya, jauh lebih penting adalah melihat pengaruh ekranisasi terhadap kemajuan sastra Indonesia. Tidak bisa dimungkiri, berapa banyak orang yang tahu Dilan sebelum ia menjelma film, berapa banyak yang tahu novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sebelum Pevita Pearce jadi Hayati, dan puluhan karya yang telah dialihwahanakan satu dekade terakhir.
Jadi, saya hanya akan menunggu akan persiskah Minke dihadirkan Iqbaal yang sudah dari dua tahun lalu membaca karya tersebut. Jikapun ia “gagal”, setidaknya setengah dari jutaan penggemarnya itu akan penasaran untuk membaca Bumi Manusia. Menunggu seperti apa Bumi Manusia itu di tangan Hanung yang sejak kariernya baru seumur jagung sudah menawarkan diri menggarap novel tersebut. Tentu saja dia paham betul dengan segala metode, kemungkinan, serta risiko yang akan dihadapinya.
ADVERTISEMENT
Soal kemungkinan novel tersebut akan "hancur"di tangan Hanung, biarlah kritik sastra dan kritik film yang bekerja--kritik saja lewat tulisan. Atau, bisa jadi yang tidak berterima kemudian menggarap film tandingannya. Jikalau sudah tidak bisa dua-duanya, baru kembalilah ke jalan awal: jadi netizen yang mengutuki di media sosial.