'Dua Senja': Pemberontakan terhadap Sejarah Perang Paderi

Muhammad Darisman
Asisten Redaktur kumparanBisnis. Menulis dan editing konten isu ekonomi dan bisnis. Membuat konten Multichannel.
Konten dari Pengguna
9 Juni 2018 21:45 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Darisman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dua Senja merupakan naskah drama karya S Metron Masdison dalam buku Kisah Anak Muda (Kumpulan Dua Naskah Drama). Naskah setebal 58 halaman ini terdiri dari empat babak, sebelas adegan, bercerita tentang Perang Paderi yang berkecamuk di Abad ke-19.
ADVERTISEMENT
Dua anak muda saling jatuh cinta berasal dari dua keluarga yang berbeda. Lelaki dari Kaum Paderi sedangkan perempuannya dari Kaum Adat: Romeo Juliet versi Minangkabau.
Secara struktural, naskah ini merupakan tragedi-romantik, kisah cinta dua anak muda tak bersalah dari dua kaum yang bertentangan. Kita akan menerima begitu saja bahwa Dua Senja hadir hanya sebagai kisah Romeo and Juliet versi Minangkabau, seperti yang dituliskan, naskah ini merupakan adaptasi bebas dari Romeo and Juliet karya William Shakespeare.
Hubungan yang tak direstui, perjodohan, mereka kemudian melarikan diri, dan mati bersama. Benar-benar utuh menjadikan naskah ini sebagai kisah cinta yang menyayat perasaan.
Akan tetapi, dalam pandangan yang lebih luas, melihat sisi lain yang mempengaruhi naskah-- ideologi pengarang, muatan sosial, serta sejarah yang diusung naskah-- maka dapat kita temukan pula keinginan sebenarnya yang tidak tersurat di dalam Dua Senja. Hal pertama yang akan didapati adalah naskah ini bukan sekadar kisah percintaan tragedi-romantik seperti apa yang awalnya dituduhkan.
ADVERTISEMENT
Secara ekstrinsik, Dua Senja mengusung sejarah di dalamnya, Perang Paderi yang berkecamuk selama puluhan tahun di Minangkabau. Perang yang dalam sejarah dicatat sebagai konflik antara kaum Paderi, dalam hal ini dimotori oleh Harimau Nan Salapan, dengan masyarakat Minang atau lebih dikenal dengan istilah Kaum Adat. Kaum Paderi hendak melakukan “pemurnian” agama, mengajak Kaum Adat untuk meninggalkan kebiasaan yang bertentangan dengan agama, seperti menghisap candu, minum tuak, serta menyabung ayam.
Pada praktiknya, terjadi benturan, paksaan, hingga menyebabkan perang saudara. Ditambah, campur tangan Belanda yang dalam Plakat Panjang dikatakan sebagai penengah, menambah kekusutan persoalan tersebut. Campur tangan itu jugalah yang pada akhirnya menjadi alasan beralihnya perang saudara menjadi perang melawan Kolonial. Setidaknya, dari 1803-1833, perang ini dikatakan sebagai perang saudara. Kemudian, 1833-1838 Kaum Adat bergabung dengan Kaum Paderi memerangi Belanda. Meskipun pada akhirnya peperangan dimenangkan oleh Belanda.
ADVERTISEMENT
Melalui Dua Senja, ada upaya menolak sejarah Perang Paderi, yang mana dalam hal ini adalah sejarah yang tertulis dalam Plakat Panjang bahwa Belanda datang sebagai penengah, dengan kearifannya berusaha menyelesaikan konflik yang tidak bisa diselesaikan secara damai oleh orang Minang.
Belanda memanfaatkan situasi perang saudara ini untuk manangguak di aia karuah (menangguk di air keruh). Alih-alih membantu kaum Adat lepas dari paksaan kaum Paderi, Belanda menjalankan politik adu dombanya.
Pengarang berusaha menolak isi Plakat Panjang tersebut dengan cara memberi tawaran, bahwa kisah cinta di antara anak muda dari kedua belah pihaklah yang menjadi cikal bakal penyelesaian kemelut Perang Paderi-- bukan Kolonial. Kedua tokoh menjadi penyampai keinginan pengarang, bahwa di tengah konflik perang saudara yang berlarut itu, mulai muncul orang-orang dari kedua kaum yang tidak menginginkan lagi konlfik tersebut.
Tak hanya itu, pemberontakan pengarang mengenai sejarah Paderi ini juga terlihat dari cara pengarang menghadirkan tokoh-tokoh. Deddy Arsya menulis dalam ulasannya, kehadiran tokoh Residen benar-benar sebagai penengah yang mengajak mereka berunding, orang Minang sebagai kaum "bar-bar" yang tidak paham musyawarah, seperti yang dinyatakan Belanda.
ADVERTISEMENT
Sekilas pengarang seolah setuju dengan hal itu, namun sebenarnya bentuk kepatuhan ini ungkap Heru Joni Putra, merupakan wujud penolakan sebenarnya, bentuk kritik pengarang, drama satire. Demikian juga halnya dengan peristiwa-peristiwa yang menguatkan fakta perang saudara yang dihadirkan dalam naskah, serta akhir cerita yang dibiarkan terbuka saja tanpa penyelesaian terhadap konflik kedua kaum.
Sejalan dengan pandangan De Stuers mengenai orang Minangkabau, bahwa mereka tunduk pada diri sendiri. Buktinya tokoh-tokoh dalam naskah tidak terlalu tunduk pada atasannya, bahkan pada Datuk dan Tuanku-nya, apalagi harus patuh pada Belanda.
ADVERTISEMENT
Tidak menutup kemungkinan, karena itu pula terjadi perubahan haluan pada peristiwa Perang Paderi. Awalnya, Kaum Adat berperang dengan Kaum Paderi, karena mereka tidak mau dipaksa dan dilarang-larang. Kemudian mereka beralih menentang Belanda, perang yang awalnya perang saudara, berubah menjadi perang melawan Belanda karena tidak mau dijajah, menjadi korban kolonialisme.
Sebagai sebuah karya sastra, naskah ini dapat dikatakan berhasil menjadi cerminan dari realitas kehidupan, di mana pembaca bisa merasakan aroma dari sejarah Perang Paderi di dalamnya. Persoalan apakah sejarah itu sepenuhnya benar atau tidak yang jelas naskah ini lahir sebagai refleksi dari sejarah itu sendiri, penting untuk digarisbawahi bahwa bagaimanapun ia muncul sebagai karya fiksi, bukan catatan sejarah.
Referensi:
Amran, Rusli. 1981. Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
ADVERTISEMENT
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengakajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada UniversityPress.
Foto: Wikipedia