Jangan Jadi Wartawan, Kamu Tidak Akan Kuat

Muhammad Darisman
Asisten Redaktur kumparanBisnis. Menulis dan editing konten isu ekonomi dan bisnis. Membuat konten Multichannel.
Konten dari Pengguna
9 Februari 2018 19:01 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Darisman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hati nurani adalah penyuluh dari pekerjaan dan sukses wartawan.
(Herawati Diah)
Ilustrasi Berita (Foto: Pixabay)
Kata-kata di atas keluar dari mulut salah satu wartawan perempuan hebat yang pernah Indonesia miliki. Bersama suaminya B.M. Diah, ia mendirikan The Observer Indonesian (koran pertama Indonesia yang berbahasa Inggris) tahun 1955.
ADVERTISEMENT
Butuh hati nurani untuk seseorang bisa menjadi wartawan “benar”, jika tidak begitu ya hancurlah negara kita. Sebab, wartawan itu berdiri di baris depan sebagai penerang atas segala peristiwa yang terjadi. Sebagai jembatan antara rakyat dengan pemerintah, sebagai kaca mata untuk masyarakat membaca pengetahuan.
Hari ini, orang-orang merayakan Hari Pers Nasional (HPN). Terlepas dari soal apakah tepat atau tidaknya HPN itu dirayakan hari ini--bertepatan dengan hari terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)--sebab cikal-bakal pers Indonesia sudah ada sejak sebelum kurun itu, melalui Medan Prijaji yang didirikan Tirto Adhi Soerjo; atau bahkan jauh sebelum itu.
Bagi saya, yang jelas tidak ada salahnya toh saya (kebetulan wartawan juga) menjadikan hari ini sebagai momen untuk mengenang kembali cita-cita kelahiran pers, masa kelamnya, atau coba-coba menghayati impian wartawan terdahulu, dan betapa tidak mudahnya jika benar menjadi wartawan. Paling tidak seperti kutipan Herawati di atas.
ADVERTISEMENT
Membayangkan saya bisa “benar-benar” jadi wartawan, malah judul di atas saja yang bolak-balik di pikiran saya seharian ini (efek orang-orang demam Dilan kali ya). Rasanya jadi ingin bilang, “aih Milea, rindu itu apalah artinya, yang berat itu jadi wartawan, kamu tidak akan kuat.”
Harus saya terima suka tidak suka kata-kata itu tepat sekali. Berbeda dari profesi lainnya yang barangkali sejak kecil sudah ditanamkan menjadi cita-cita--semisal jadi dokter, polisi, tentara, presiden, hingga astronot--coba saja kita cari adakah anak-anak yang bercita jadi wartawan? nihil.
Jurnalis. (Foto: Thinkstock)
Meskipun, Padang yang katanya melahirkan bapak-bapak republik, pengarang tersohor, bahkan banyak wartawan tersohor seperti Mochtar Lubis, Rohana Kudus, Ani Idrus, dan yang lainnya, tetap saja profesi juru tulis bukanlah impian, Sebagaimana orang Padang ramai-ramai bermimpi jadi PNS.
ADVERTISEMENT
Kenyataan di atas adalah fakta pertama yang harus saya amini bahwa menjadi wartawan itu berat. Baik, kalau itu belum seberat rindu Milea, itu baru pertama. Jika kita masuk pada pembahasan seperti apa dunia yang ditempuh wartawan, baik dulu maupun sekarang, beratnya minta ampun. Bukan hanya dalam artian secara fisik, segi tanggung jawab pun bukan perkara mudah.
Bayangkan bila wartawan melakukan satu kesalahan yang kemudian menggiring ribuan orang memercayai itu. Dosa berjamaahlah kita. Apalagi zaman sekarang, ia dituntut cepat, juga akurat. Pergi pagi pulang pagi sudah makanan sehari-hari barangkali, hilir-mudik sana-sini itu sudah biasa.
Soal gaji, nah ini nih yang pasti dikeluhkan sebagian besar dari mereka. Aih, berat kalau sudah bicara soal uang ini. Ini soal serius di dunia wartawan, bisa-bisa karena ada uang terpaksa tulisan digiring. Semoga tidak begitu!
ADVERTISEMENT
Kemudian, saya berusaha sedikit melihat sejarah pers itu. Betapa beratnya perjuangan mereka yang bersenjatakan pena ini dulunya. Mereka harus melawan berbagai hambatan, mulai dari sensor preventif dan represif era kolonial, lalu pemberedelan Orde Baru, hingga berujung penjara.
Lihat saja Rohana Kudus, wartawan perempuan pertama yang dimiliki Indonesia yang juga mendirikan Sunting Melayu ini, mesti dimusuhi kaumnya sendiri ketika memiliki niat mencerdaskan Gadih Minang kala itu. Lewat tulisan juga, ia membantu perjuangan kemerdekaan para gerilyawan, mulai dari membangkitkan semangat, mencetuskan dapur umum, sampai ide penyelundupan senjata.
Ada juga Inlandsche Journalisten Bond (IJB), Organisasi wartawan yang didirikan Mas Marco Kartodikromo, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Sosro Kartono dan Ki Hadjar Dewantara ini harus seringkali menerima diasingkan ke Digul oleh Belanda.
ADVERTISEMENT
Masih banyak lagi perjuangan berat itu, Mochtar Lubis harus 9 tahun merasakan penjara di Orde Lama karena Harian Rakyat Indonesia dianggap terlalu bersuara. Arswendo Atmowiloto juga dipenjara oleh Orde Baru ketika memimpin Tabloid Monitor yang diberedel bersama Tempo, Tabloid Detik, dan Editor.
Ya, itu hanya sebagian kecil saja bukti bahwa menjadi wartawan itu berat. Jika dulu berat karena banyak tekanan dari penguasa, barangkali hari ini berat tekanan, baik itu dari diri sendiri dan yang lebih berat adalah berusaha benar. Semoga semua wartawan bisa begitu.
Jadi Milea, bilang ke Dilan yang berat itu jadi wartawan. Aduh!