news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pramoedya, Lahirnya Sastra Perlawanan di Tengah Rezim yang Represif

Muhammad Darisman
Asisten Redaktur kumparanBisnis. Menulis dan editing konten isu ekonomi dan bisnis. Membuat konten Multichannel.
Konten dari Pengguna
6 Februari 2018 20:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Darisman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Pramoedya Ananta Toer (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan
Duniaku bumi manusia dengan segala persoalannya.
ADVERTISEMENT
(Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer)
Pramoedya Ananta Mastoer atau Pram merupakan seorang sastrawan Indonesia yang tidak hanya terkenal di Indonesia, tetapi di dunia. Selain puluhan karyanya yang berkualitas, lalu kehidupan penjara selama puluhan tahun yang ia jalani, ia terkenal sebagai pelopor sastra perlawanan.
Sepanjang hidupnya, kurang lebih Pram menghasilkan 50-an karya sastra. Sebagian besar karya tersebut merupakan potret mengenai beragam realitas sosial yang menyedihan di masa itu.
Sebagaimana yang saya pahami selama menempuh pendidikan Jurusan Sastra Indonesia, Sastra membutuhkan dua nyawa untuk tetap ada. Fakta dan imajinasi, maksudnya, perpaduan kekuatan imajinasi dan kenyataan yang dilengkapi dengan ukuran-ukuran agar tetap disebut sebagai karya sastra.
Sejak awal kelahiran Sastra Indonesia, ia memiliki hubungan yang “mesra” dengan politik. Di zaman Kolonial Belanda misalnya, ketakutan mereka akan lahirnya perlawanan lewat tulisan dan bacaan, membuat “Sang Penjajah” merasa perlu menertibkan bacaan rakyat dengan menciptakan Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat yang kemudian sampai hari ini dikenal sebagai Balai Pustaka.
ADVERTISEMENT
Karya yang diterbitkan tidak boleh berbicara mengenai pemerintah atau apapun yang nantinya akan bersifat menghasut rakyat untuk berontak, hingga melulu soal kawin paksa atau kasih tak sampai adalah ciri khas generasi awal pengarang Balai Pustaka. Di luar itu, ia tak lebih sebagai seorang penulis liar dengan karya yang juga dianggap bacaan liar. Karena itu sastra bisa jadi alat politik sekaligus perlawanan terhadap politik.
Kembali lagi soal Pram, ia lahir di Blora, 6 Februari 1925. Tepat hari ini, ia seharusnya berusia 93 tahun jika seandainya masih hidup. Namun, ia telah berpulang 30 April 2006, 12 tahun lalu di usia 81 tahun.
Sebelum dikenal sebagai seorang penulis yang berpengaruh, Pram pernah masuk dunia militer pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Di zaman kolonial ini ia sempat merasakan penjara.
ADVERTISEMENT
Ketika menjadi tentara pun, ia sudah mulai menulis, tetapi tulisan awalnya ini bercita rasa nasionalis. Gaya penulisannya mulai berubah sekembalinya dari Belanda dan bergabung dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). Organisasi yang dulunya dianggap sebagai sayap kiri ini memengaruhi gaya tulisan Pram yang bergeser menjadi fiksi kritik. Perubahan ini ditandai dengan terbitnya novel berjudul Korupsi yang menjadi awal benturan antara dia dan Soekarno.
Kemudian, hubungan dengan pemerintah semakin berseberangan setelah ia menulis sejarah kehidupan orang Tionghoa di Indonesia--padahal pemerintah saat itu Jawa-sentris dan sangat menolak asing. Akhirnya, Pram juga dipenjarakan di Nusakambangan karena mengusulkan Ibu Kota dipindahkan ke luar Jawa.
Ketika Soekarno tumbang, dan penguasa rezim pun berganti, ia tetap mengkritik pemerintahan. Ia dan Soeharto dibentuk oleh iklim yang sama, namun pilihannya tetap berseberangan. Sehingga ia pun merasakan belasan tahun jadi pekerja paksa di Pulau Buru.
ADVERTISEMENT
Hanya lewat tulisan-tulisanlah ia bisa melakukan perlawanan. Di zaman yang represif itu, media, lekra, hingga kebebasan individu untuk berkarya pun dicekal. Ia menghasilkan banyak sekali karya selama dipenjara, jika saya tidak salah, banyak cerita perjuangan yang dilewati Pram demi karyanya bisa hadir di tengah kita; dari menyelundupkan berbagai tulisan yang diterbitkan di luar negeri, sampai karya yang direkam lewat ceritanya kepada tahanan lain di Pulau Buru.
Quote Pramoedya Ananta Toer (Foto: Canva)
Karyanya yang sangat terkenal, yang lahir dari penjara adalah Tetralogi Pulau Buru yang terdiri dari Novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, serta Rumah Kaca. Banyak orang menilai Tetralogi Pulau Buru merupakan fiksi yang berisi propaganda. Tak urung juga karyanya disematkan dengan aliran sastra politik, yang juga dianggap memihak.
ADVERTISEMENT
Selain perlawanan terhadap politik, banyak juga karya Pram yang menggambarkan bagaimana kehidupan pada masa itu, khususnya bagaimana kisah hidup perempuan. Lewat karya ia menyingkap peran perempuan dan posisinya dalam masyarakat. Beberapa karya--seperti Cerita Calon Arang, Panggil Aku Kartini Saja, Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, Larasati, Gadis Pantai, dan mungkin masih banyak lagi karya yang saya luput--memuat cerita tentang perempuan dengan berbagai peran, karakter, serta posisinya di masyarakat. Dalam karyanya, seringkali terjadi benturan berbagai budaya, kelas, dan ketidaksetaraan.
Karya-karya Pram bahkan diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa asing, tercatat lebih dari 40 bahasa. Pram juga seringkali masuk dalam nominasi peraih nobel sastra serta banyak penghargaan. Tetapi bukan berarti sebagai sastrawan, ia memiliki jalan yang mulus saja.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1995, ketika ia dianugerahi penghargaan Ramon Magsaysay Award, 26 orang sastrawan melakukan protes. Bahkan, Mochtar Lubis mengancam akan mengembalikan penghargaan yang sama yang ia terima puluhan tahun sebelum Pram. Bagi mereka, Pram bersama Lekra melakukan penindasan kepada sesama seniman di era Orde Lama.
Terlepas dari persoalan itu semua, apa Pram berada di kubu yang “benar” atau “salah”, satu yang paling saya ingat dari Pram adalah yang ia tuliskan di dalam buku berjudul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, ia mengatakan bahwa dunia terbelah menjadi dua kekuatan besar: kekuatan lama yang bercokol dan kekuatan baru yang sedang bangkit. Permasalahan dunia adalah pembagian antara kelas penguasa yang zalim berhadapan dengan rakyat yang bangkit dan melawan.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, bagi saya semangat keberanian dari Pram adalah sesuatu yang patut untuk kita teladani.
(Mengenang kelahiran Pram, tepat 93 tahun lalu)