Sastra yang Melawan Kekerasan terhadap Perempuan

Muhammad Darisman
Asisten Redaktur kumparanBisnis. Menulis dan editing konten isu ekonomi dan bisnis. Membuat konten Multichannel.
Konten dari Pengguna
25 Mei 2018 17:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Darisman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. (Foto: Pexels)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. (Foto: Pexels)
ADVERTISEMENT
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan berdasarkan gender yang menyebabkan kerugian, penderitaan fisik, seksual, atau psikologis terhadap perempuan; termasuk ancaman untuk melaksanakan tindakan tersebut dalam kehidupan masyarakat dan pribadi.
ADVERTISEMENT
Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu masalah sosial yang sering terjadi di Indonesia. Hasil penelitian Rifka Annisa menunjukkan bahwa satu dari empat perempuan pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual dalam hidupnya, 14 persen perempuan pernah mengalami kekerasan fisik setidaknya satu kali dalam setahun.
Data Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, sepanjang 2015 kekerasan tidak hanya terjadi di wilayah domestik, melainkan telah meluas di berbagai ranah termasuk wilayah publik. Berdasarkan jumlah kasus yang didapat dari 232 lembaga mitra Komnas Perempuan di 34 provinsi, tercatat 16.217 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Beragam bentuk dan modus kekerasan dialami oleh perempuan, dari kekerasan seksual, dijadikan pekerja seks, cyber cryme, pemalsuan akta nikah, hingga perdagangan manusia. Hampir setiap hari, dapat kita temui pemberitaan mengenai kekerasan terhadap kaum hawa ini. Salah satu yang masih belum lama ini terjadi adalah kekerasan yang dialami oleh Dylan Sada.
ADVERTISEMENT
Model sekaligus fotografer asal Indonesia yang menetap di New York, Amerika Serikat ini, mengalami kekerasan dari kekasihnya. Kejadian itu viral setelah ia membagikan sebuah video dalam akun instagram pribadinya yang memperlihatkan beberapa luka lebam di bagian wajahnya.
Masalah sosial yang satu ini harus menjadi perhatian semua kalangan, baik itu pemerintah, masyarakat, lembaga-lembaga perlindungan perempuan-- tak terkecuali dunia sastra.
Potret Kekerasan terhadap Perempuan dalam Sastra
Sejak dekade 1970-an, permasalahan perempuan mulai digambarkan secara fenomenal di dalam karya sastra. Tineke Hellwig dalam disertasi yang berjudul Kodrat Wanita; Vroowbeelden In Indonesiche Romans menyimpulkan bahwa dalam novel-novel Indonesia yang dikarang oleh pengarang wanita, perempuan digambarkan sebagai tokoh yang hidup di bawah tekanan kontrol sosial lingkungannya.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, mereka menemukan kesulitan ketika mereka ingin menentukan pilihannya sendiri. Gambaran ini terlihat pada novel Kembang Padang Kelabu, karya Ike Supomo (1979), dan Relung-relung Gelap Hati Sisi karya Mira W (1983).
Di sisi lain, juga tidak kalah banyaknya pengarang laki-laki yang menciptakan tokoh perempuan sebagai tokoh sentral cerita. Sangidu mengatakan sejak dekade 1970-an penulis pria sudah tentu ikut melengkapi penggambaran mengenai perempuan dari sudut pandang pria. Sri Sumarah karya Umar Kayam misalnya, memaparkan novel yang menggambarkan wanita dari sudut pandang pria.
Karya yang dikarang oleh pengarang pria digambarkan bagaimana menderitanya dunia perempuan berhadapan dengan dunia laki-laki. Segala ketidakbahagiaan perempuan disebabkan oleh laki-laki. Hal ini terlihat dalam karya-karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, dan Ali Audah.
ADVERTISEMENT
Nah, Azwar Sutan Malaka juga termasuk salah seorang pengarang laki-laki yang memberikan gambaran mengenai kekerasan terhadap perempuan melalui kumpulan cerpennya berjudul Jejak Luka dan Kisah-kisah lainnya. Buku kumpulan cerpen yang memuat 13 cerpen ini, sebagian besar memuat tokoh perempuan sebagai tokoh sentral yang mengalami kekerasan. Cerpen tersebut Jejak luka; Mahaluka; Jantung Batu; Bulan, Luka, dan Senja; serta Luka Kayla
Buku Cerpen Jejak Luka (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Buku Cerpen Jejak Luka (Foto: Istimewa)
Pada cerpen Jejak Luka, tokoh Mur mengalami kekerasan fisik, kekerasan seksual, serta kekerasan psikologi. Kekerasan ini terjadi di area publik, Mur dianiaya dan diperkosa oleh para demonstran dalam kerusuhan yang terjadi pada bulan Mei 1998, karena kebetulan ia bekerja di Jakarta sebagai pembantu di ruko orang Tionghoa.
Mur juga mengalami kekerasan psikologi berupa ancaman dari orang-orang berdasi di Jakarta agar tidak membeberkan peristiwa yang dia alami. Kekerasan tersebut berdampak pada kehidupan Mur selanjutnya, ia trauma untuk menikah.
ADVERTISEMENT
Sementara, pada cerpen Mahaluka, kekerasan yang dialami oleh Maya disebabkan oleh kuasa adat terhadap perempuan. Maya menikah karena perjodohan demi melunasi hutang keluarga, sementara ia tengah menanti Sardi, kekasihnya yang sedang berjuang di rantau. Namun, dalam hal ini Maya tidak punya hak untuk menentukan pilihannya, sebab mamak dan kerabat laki-laki Maya lah yang berhak menentukan masa depannya.
Akibatnya, Maya mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan, ketika Sardi kembali, malah menambah daftar penderitaan Maya dengan melakukan pelecehan seksual terhadap Maya. Hal ini menyebabkan Maya harus mati karena hukuman rajam dari orang kampung yang menuduhnya telah berzina.
Jantung Batu merupakan cerita mengenai Alia yang mengalami kekerasan dari dosennya. Alia harus merelakan kesuciannya demi memperbaiki nilai kuliah yang tidak tuntas. Hal ini berdampak pada kehidupan Alia selanjutnya-- seorang perempuan yang ketika di kampung lebih memilih menjadi kuli pemecah batu daripada menjual diri seperti teman-temannya-- pada akhirnya memilih untuk menjadi pelacur.
ADVERTISEMENT
Lebih miris lagi kekerasan di dalam Bulan, Luka, dan Senja. Tokoh Bulan mengalami kekerasan yang dilakukan oleh bapaknya sendiri. Figur bapak yang seharusnya melindunginya, malah memerkosa dan memukulinya. Akibatnya, Bulan tumbuh dalam rasa kebencian dan dendam, ia membunuh kucing dengan harapan mitos membunuh kucing sama dengan membunuh bapak sendiri bisa berlaku untuknya.
Luka Kayla merupakan potret kekerasan terhadap perempuan yang disebabkan oleh tradisi. Tradisi menculik perempuan untuk dijadikan istri membawa Kayla pada pernikahan yang tidak pernah diharapkannya. Hal ini, membuat Kayla memilih menggantung dirinya ke loteng kamar pengantinnya daripada harus melewati malam pertama dengan Abigail yang telah menjadi suaminya.
Perempuan-perempuan di dalam cerpen ini mengalami beragam kekerasan, baik itu kekerasan fisik, kekerasan seksual, psikologi, maupun kekerasan ekonomi. Mereka bahkan ada yang mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan.
ADVERTISEMENT
Penggambaran mengenai beragam kekerasan terhadap perempuan dalam kumpulan cerpen ini, bisa kita pandang sebagai upaya pengarang dalam menyuarakan bahwa persoalan tersebut adalah masalah sosial yang mesti mendapat perhatian serius oleh kita bersama. Lewat gaya satire, pengarang turut serta menyatakan penolakan atas fenomena kekerasan berbasis gender tersebut.