Saya dan Cerita Dihukum Mengisap Rokok oleh Guru SMP

Muhammad Darisman
Asisten Redaktur kumparanBisnis. Menulis dan editing konten isu ekonomi dan bisnis. Membuat konten Multichannel.
Konten dari Pengguna
7 November 2018 13:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Darisman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak dan rokok (Foto: AP/Armando Franca)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak dan rokok (Foto: AP/Armando Franca)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bayangkan ini: Tiga batang rokok dijejalkan sekaligus ke mulut, dinyalakan, dan harus dihabiskan tanpa boleh dipegang. Semua dilakukan di tengah lapangan upacara di salah satu SMP Pariaman, Sumatera Barat, dengan disaksikan hampir seisi sekolah.
ADVERTISEMENT
Aksi itu bukan gaya-gayaan, melainkan bentuk hukuman. Kala itu tahun 2006, saya masih kelas 1. Bersama dua teman, kami tepergok merokok di toilet sekolah saat Upacara Bendera berlangsung.
Saat tulisan ini dibuat, 12 tahun kemudian, saya masih ingat pedasnya tembakau rokok kretek itu. Belum lagi asapnya yang membumbung masuk ke hidung.
Adegan itu melintas di pikiran kala saya membaca berita tentang 11 siswa kelas 2 SD di Sukabumi yang ketahuan merokok. Hukumannya mirip: Mereka disuruh merokok.
Perbuatan bocah-bocah SD itu bisa dibilang salah. Tapi jangan buru-buru menyebut kesalahan terletak pada mereka.
Begini. Bagi saya, yang salah adalah perbuatan atau peristiwa tersebut, bukan si anak.
Sebelum menyalahkan si anak, kita harus mencari tahu ini: Bagaimana si anak bisa sampai mengisap rokok? Siapa perokok yang ia lihat? Dari mana ia mendapatkan rokoknya?
ADVERTISEMENT
Anak adalah peniru yang baik, begitu kata psikolog Roslina Verauli. Anak menganggap orang tua sebagai figur dewasa yang diidolakan, dianggap lebih kompeten, dan memiliki power.
Saya sendiri menganggap pendapat ini benar. Anak-anak, menurut saya, aktor yang luar biasa. Mereka tak hanya meniru orang tua, tapi jago meniru apa saja yang ia lihat di sekitar (termasuk tayangan televisi), apalagi jika itu pengalaman pertama.
Oleh karena itu, semua orang yang berada di sekitar anak harus berlaku sebagai guru yang baik buat mereka. Apalagi jika Anda adalah seorang guru dalam artian sebenarnya. Terlebih jika anda seorang guru di sebuah negara yang sebagian besar masyakaratnya masih menyerahkan pendidikan karakter anak kepada sekolah.
ADVERTISEMENT
Bukankah ironis jika guru mendidik tidak dengan hal-hal baik, katakanlah, sampai menyuruh siswa merokok sebagai hukuman?
Sebab jika merujuk pada pengertian kekerasan oleh Aroma Elmina Martha (Martha, 2003): Setiap tindakan yang menyebabkan kerugian atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, hingga ekonomi. Dan tindakan di atas, sudah merupakan kekerasan psikologis terhadap anak.
Saya teringat seorang guru yang pernah melemparkan penggaris besi ke wajah saya. Dia bilang, "Dulu, saya dipukul dan ditampar oleh guru jika salah."
Padahal, banyak yang mempengaruhi seorang anak sehingga membandel--tapi tak ada yang mau memikirkannya sejauh itu.
Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Sudahlah, cara-cara dengan kekerasan itu sudah tidak relevan dengan zaman now.