Pengaruh Ambisi Orang Tua pada Keselamatan dan Kesehatan Mental Anak

Muhammad Iqbal PhD Psikolog
Seorang Psikolog Bekerja sebagai seorang konselor pernikahan dan Owner Rumah Konseling, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Periode 2016-2021.Saat Dosen Tetap Psikologi Universitas Paramadina. Ketua STIE Swadaya Jakarta
Konten dari Pengguna
16 September 2020 14:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Iqbal PhD Psikolog tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Thinkstock
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Thinkstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa hari lalu masyarakat digemparkan oleh penemuan mayat seorang anak yang dikuburkan sendiri oleh orang tuanya di Lebak Banten, dan didapati pembunuhnya adalah ibu kandung yang kesal dan marah karena anaknya tidak bisa memahami belajar online.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini tentu saja mengejutkan dan memprihatinkan betapa orang tua saat ini sungguh tega dan tidak memiliki kesiapan dan kemampuan dalam mendidik anak. Entah apa yang ada di kepala orang tua kenapa ia sampai tega menganiaya sampai anaknya meninggal dunia, tentu saja penyesalan.
Ambisi orang tua tentang pendidikan anak belakangan ini banyak terjadi, setiap kenaikan kelas saya banyak di undang oleh sekolah-sekolah untuk menjelaskan kepada orang tua tentang cara memilih jurusan dan menjelaskan tentang cara mengembangkan bakat dan minat anak, karena banyak orang tua yang memaksakan anaknya mengikuti keinginannya dalam memilih jurusan ketika memasuki perguruan tinggi (misalnya ketika dulu ibunya gagal jadi dokter, anaknya diwajibkan menjadi dokter) atau ada juga anak remaja yang mengirim email bertanya karena dipaksa orang tuanya masuk IPA, orang tua beranggapan IPS adalah jurusan orang nakal dan bodoh, sedangkan IPA adalah anak pintar, cara pandang seperti itu membuat orang tua memaksakan anaknya masuk IPA, selain minimnya wawasan juga karena gengsi dari teman-temanya (wali murid lainnya).
ADVERTISEMENT
Padahal anaknya punya minat dan bakat pada bidang sosial, akhirnya banyak anak yang menderita dan tidak bahagia menjalani pendidikannya karena dipaksa. Demikian juga dengan pemilihan jurusan ketika kuliah Menurut penelitian yang sudah dilakukan oleh ICCN (Indonesia Career Center Network) yang dilakukan tahun 2017, ditemukan bawah 87% mahasiswa salah memilih jurusan dan tidak sesuai dengan minat dan bakatnya dan demikian juga ketika bekerja 71,1 % pekerja menjalankan proses yang berbeda dari atau tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. dan dapat diduga kesalahan ini bisa jadi salah satunya karena pemaksaan dari orang dalam memilih jurusan anaknya dengan tidak mempertimbangkan minat dan bakatnya
Orang tua juga kerap bersaing dan saling membanggakan anaknya di hadapan wali murid atau di media sosial, sehingga ketika anaknya mengalami penurunan prestasi anak menjadi tertekan dan akhirnya berdampak kepada kesehatan mentalnya. Suatu hari ada seorang ibu menemui saya, ia membawa anaknya kelas 2 SMA yang mengalami depresi, tidak nafsu makan dan mengurung diri di kamar, lalu saya berdialog dengan anak tersebut, ia menceritakan selama ini ia selalu menempati rangking di sekolahnya, ia bersekolah di sekolah Internasional di mana semua anak memiliki kemampuan akademik yang tinggi, namun belakangan nilainya jelek, gurunya, orang tuanya menekannya, memarahinya bahkan membandingkannya dengan anak lain, ini yang membuat dia 'down' dan kehilangan motivasi serta depresi
ADVERTISEMENT
Ia bercerita, jadwal sekolahnya sangat padat, dari pagi hingga sore, kemudian ada les tambahan dan ada banyak tugas-tugas yang harus dikerjakan sepulang sekolah, semua itu membuat dia tidak punya waktu untuk bermain, bersosialisasi dengan lingkungan ataupun berolahraga, bagi orang tuanya rangking sangat perlu untuk bisa dibanggakan di hadapan keluarga dan teman-temanya. ia menceritakan temannya anak-anak yang rangking 1-5 pernah berkumpul saling curhat (termasuk dirinya) , mereka semua tertekan, mereka pernah berpikir untuk bunuh diri bersama, karena mereka merasa hidupnya seperti robot dan tidak bahagia, namun orang dan guru mereka tidak menyadarinya
Demikian juga terjadi pada mahasiswa, ketika saya memberikan seminar di sebuah kampus, selesai acara seorang ibu datang menghampiri saya, ia menceritakan kisah anaknya yang saat ini depresi dan memiliki gangguan jiwa.
ADVERTISEMENT
Anak tersebut sejak sekolah di tekan dengan berbagai target, semua kursus diwajibkan ikut, hingga bisa lulus di PTN ternama, di semester 1 anak tersebut nilainya tidak sesuai dengan harapan orang tua, lalu Ayahnya memarahinya, menghinanya, merendahkannya karena nilainya jelek (Ayahnya berkata;" Percuma kamu sudah diberi fasilitas, semua kebutuhan dipenuhi, tapi nilai jelek"), padahal di kampus tersebut adalah kumpulan anak hebat dari seluruh Nusantara, semenjak itu anaknya mengurung diri, tidak mau makan, dan di tengah malam ia naik ke atap rumah menyanyi dan tertawa sendiri.
Yang sering dilakukan orang tua adalah selalu membanding-bandingkan anaknya dengan saudara kandungnya atau dengan anak orang lain, ini yang tentu saja menyakitkan bagi anak dan membuat dia kehilangan motivasi
ADVERTISEMENT
Seorang mahasiswa cerdas di kampus ternama menemui saya, ia menceritakan bahwa ia adalah kebanggaan orang tuanya dan keluarganya karena bisa menembus PTN favorit di negeri ini, sejak kecil ia selalu juara kelas dan orang tuanya mendidiknya dengan ketat dan keras agar bisa menjadi anak berprestasi. Namun bagi dia semua harapan itu kini sirna, karena ia terkena HIV-Positif, akibat kebodohan dan ketidakmampuannya mengelola dan mengontrol diri.
Ia menceritakan semua mahasiswa di kampusnya hebat-hebat, sulit mendapatkan nilai dari dosen, lalu ia tertekan dan akhirnya mulai mencari pelarian dan kesenangan, mulanya ia hanya merokok biasa, alkohol, kemudian ia mulai menonton video porno, game online, hingga mengikuti berbagai media sosial, kemudian ia tertarik dengan video porno sejenis, kemudian ia mengikuti komunitas penyuka sejenis dan akhirnya berhubungan seks sejenis dan itu yang mengakibatkan dia tertular HIV Positif.
ADVERTISEMENT
Bahkan ada juga kasus seorang mahasiswa yang dibawa orang tuanya kepada saya bercerita bahwa teman-temanya jika terbebani oleh tugas yang banyak dan bosan, mereka bersenang-senang pergi ke tempat pijat plus-plus untuk menghilangkan tekanan
ada juga seorang Ayah yang menelepon saja di tengah malam, karena anaknya ingin bunuh diri, lalu saya tanyakan apa yang terjadi? saya sejak kecil mendidik anak saya dengan keras, anak saya pintar dan cerdas pak, IQ nya 132, juara kelas sejak SD, masuk PTN ternama, namun anak saya saat ini " drop out/DO" karena tidak bisa menyesuaikan diri, dia menganggap semua orang bodoh termasuk dosennya, ia selalu konflik dengan dosen dan temanya termasuk orang tuanya, bahkan saat ini ia tidak mau salat dan tidak percaya adanya Tuhan, bahkan anaknya mengatakan ingin segera mengakhiri hidup, ingin membuktikan bahwa Tuhan itu ada atau tidak. saya menyesal pak, sejak kecil yang saya kejar hanya prestasi akademik, tapi saya lupa mengasah akhlak, daya juang, mental, karakter, dan agamanya
ADVERTISEMENT
Fenomena di atas menunjukkan bahwa terkadang ambisi dan minimnya pengetahuan orang tua akhirnya menghasilkan sebuah kerugian yang besar pada masa depan anak. Terkadang orang tua lupa bahwa kesuksesan itu di raih tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan akademik saja, namun ada kemampuan "soft skill", akhlak, budi pekerti, karakter dan pengetahuan agama yang harus diasah untuk menjadikan anak menjadi anak yang tangguh, berkarakter serta memiliki akhlak mulia serta berorientasi pada akhirat
Untuk memaksa anak berprestasi tentu saja harus mempertimbangkan minat dan bakat seorang anak, apresiasi, komunikasi, dukungan, latihan mental, membentuk karakter, motivasi sangat penting agar membuat diri anak berharga dan hidupnya bermakna, sering sekali anak tidak mendapatkan kebahagiaan dalam menjalankan pendidikan karena orang tua dan mengabaikan keunikan anak dalam belajar, setiap anak itu hebat, setiap anak itu unik, setiap anak itu berharga.
ADVERTISEMENT
kasus dimana seorang ibu membunuh anaknya karena tidak bisa belajar daring di atas adalah salah satu contoh, bahwa setiap anak itu memiliki gaya belajar yang berbeda, ada yang suka mendengar, suka mendengar, anak yang kinstetik (bergerak), ada yang suka menulis, ada yang suka membaca dan tidak semua anak bisa dipaksakan harus duduk diam dalam waktu yang lama untuk bisa mendengarkan video tersebut.
Padahal belajar itu bisa dilakukan kapan saja, di mana saja, bisa sambil bermain, sambil memanjat pohon, sambil memberi makan hewan peliharaan, sambil duduk, sambil makan, sambil nonton, itu semua keunikan dan perbedaan masing-masing anak. termasuk soal pemahaman tentang kecerdasan banyak orang tua yang beranggapan bahwa anak yang pintar itu adalah anak yang bisa matematika, fisika, kimia saja sedangkan anak yang sosial, pintar ngomong dianggap bodoh, padahal ada namanya kecerdasan multiple Intelligence yang dikemukakan oleh Howard Gadner bahwa kecerdasan logik matematika hanya salah satu dari kecerdasan, selebihnya adalah kecerdasan spasial/visual, kecerdasan kinestetik tubuh, kemampuan interpersonal, kemampuan intrapersonal, kecerdasan bahasa, kecerdasan musik, kecerdasan natural dan kecerdasan eksistensial
ADVERTISEMENT
Gadner mengemukakan bahwa kecerdasan itu memiliki 3 komponen, yaitu:
1) Kemampuan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupannya nyata (sehari-hari)
2) Kemampuan menghasilkan persoalan-persoalan baru yang dihadapi untuk diselesaikan
3) Kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan jasa yang akan menimbulkan penghargaan dalam budaya seseorang
Jadi sesungguhnya kemampuan akademik saja belum cukup untuk mengatakan seseorang itu cerdas dan unggul serta sukses, namun harus diimbangi dengan kemampuan menyelesaikan masalah dalam kehidupan nyata dan kehidupan masyarakat. Saat ini banyak orang tua yang menginginkan anaknya "steril' memisahkan anaknya dari dunia luar, dari rekan sebaya, kehidupan sosial, hanya bergaul dengan melihat status sosial yang sama, memanjakannya, ketika memiliki masalah orang tua yang menyelesaikan.
Sehingga anak tidak punya kemampuan dalam mengkomunikasikan dan menyelesaikan masalah, ketika kelak ia berkarier akan sulit baginya berkolaborasi dan menjadi pemimpin, akhirnya kita hanya mencetak seorang pekerja seperti "robot"
ADVERTISEMENT
Yang memprihatinkan bagi saya saat ini adalah ada banyak anak hebat secara akademik, namun lemah secara mental, ketika mereka menghadapi masalah dengan rekan sebaya, guru/dosen, atau bahkan dengan atasan ketika mereka bekerja serta dengan pasangan ketika berumah tangga, kecenderungan lari dari masalah, tidak bertanggung jawab bahkan berupaya melakukan bunuh diri dan minum obat penenang atau narkoba adalah pilihan yang mereka ambil sebagai jalan pintas menyelesaikan masalah.
Ini terjadi karena selama mereka menjalani hidup, mereka selalu steril dari masalah, ketika ada masalah orang tuanya ikut campur menyelesaikan atau bahkan membela walaupun salah, wajar akhirnya ketika anak ini tumbuh dewasa ia tidak mampu menyelesaikan masalah dan menjadi pribadi yang menyebalkan di masyarakat. anak tumbuh menjadi pribadi yang rapuh, takut gagal, tidak berani mengambil risiko serta tidak percaya diri
ADVERTISEMENT
Dalam hal pengasuhan salah satu fungsi orang tua itu adalah sebagai seorang pelatih, pelatih yang baik harus bisa memberikan contoh, memiliki ilmu, perencanaan, strategi, asesmen, dukungan fasilitas, untuk bisa membuat binaannya berprestasi tidak cukup dengan kemampuan fisik "Hard Skill", namun mentalnya, motivasinya, kesejahteraan psikologisnya, kontrol dirinya, keberaniannya, spiritualnya. anak yang kesehatan mentalnya baik, bahagia akan mudah menghasilkan ide-ide dan gagasan yang cerdas dalam menyelesaikan masalah.
Jangan sampai ketika sukses ia sombong, angkuh, melupakan orang tuanya dan akhirnya terjerat narkoba, korupsi, zina, mabuk dan melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya, dan jangan pula dia sukses di dunia namun di akhirat masuk neraka karena kita lupa mendidiknya secara agama.
Sesungguhnya wajar saja bila orang tua memilik ambisi, target, rencana yang baik demi masa depan anaknya, namun sebaiknya mempertimbangkan situasi dan kondisi psikologi anaknya, anak memang harus dilatih untuk kuat, diberi bimbingan, tapi pertimbangkan juga minat dan bakatnya, kalau sesuai dengan "Passion" mereka akan bahagia menjalaninya. Orang tua jangan hanya marah, dan merendahkan tetapi mengabaikan proses dan usaha anaknya.
ADVERTISEMENT
Orang tua juga harus bisa mengapresiasi dan memberi dorongan, bagi mereka dalam fase pubertas memerlukan pendampingan, sahabat dan teman bercerita, belajar jadi pendengar yang baik bagi anak kita, berikan contoh dan teladan dalam menyikapi dan menyelesaikan masalah, karena mereka akan mudah meniru cara kita dan perilaku keseharian kita
Menjadi orang tua perlu ilmu, perlu kesabaran, perlu akhlak mulia dan ilmu agama, agar bisa melahirkan generasi unggul. Apalagi di masa pandemi saat ini, situasi sedang krisis yang kita perlukan adalah saling mendukung, memperkuat hubungan emosi dan saling menguatkan, ciptakan kebahagian dalam keluarga kita, perkuat komunikasi dan kebersamaan.
Kurangi target dan standar dalam pembelajaran karena jika anak kita tertekan karena tugas dan beban yang banyak, akan mengurangi dan menurunkan daya tahan tubuhnya dan sangat berbahaya bagi kesehatannya. teruslah belajar, cari tahu, membuka wawasan agar kita tidak salah memilih jalan.
ADVERTISEMENT
Cukuplah kisah-kisah di atas sebagai pembelajaran, hikmah agar kita bisa belajar bahwa prestasi itu perlu, akademik itu perlu, namun jangan memaksakan bila tidak sesuai dengan minat dan bakatnya, tidak sesuai situasi dan kondisinya.
Jangan bandingkan anak kita dengan saudaranya atau anak orang lain, semua anak itu adalah amanah dan anugerah dan Allah Swt itu mahal adil ada kelebihan dan kekurangan. Tidak ada anak yang sempurna, dan tidak ada pula orang tua yang sempurna, karena kesempurnaan itu sesungguhnya milih Allah Swt.
Bentuklah karakter anak dengan contoh dan keteladanan, di saat pandemi saat ini yang bertahan adalah mereka yang kuat dan tangguh, latih lain keseimbangan hidupnya, selain akademik mereka memerlukan fisik yang sehat dan kuat, hati yang luas , pikiran yang positif, mental yang tahan banting, peduli, empati, bergaul dengan lingkungan, memiliki keberanian, percaya diri, emosi yang stabil, kemampuan mengontrol diri dan memiliki akidah dan pemahaman agama yang luas, semoga anak-anak kita semua sukses dunia dan akhirat.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini sebagai nasihat bagi saya dan orang tua, semoga pandemi cepat berlalu dan kita semua sehat dan selamat.
Wallahu'alam
----------------------------------------------------------------------
Oleh : Muhammad Iqbal, Ph.D
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana
Owner Rumah Konseling
@muhammadiqbalphd