Asa Bertumbuh di Pedalaman Papua

M Lutfan D
Assistant editor kumparan news bidang hukum
Konten dari Pengguna
24 Agustus 2018 8:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Lutfan D tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Asa Bertumbuh di Pedalaman Papua
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
“Kencangkan sabuknya, jangan dibuka sampai kita mendarat.”
Setidaknya kalimat itu beberapa kali kami dengar, walaupun dengan frasa berbeda, namun masih dalam makna yang sama. Pantas saja sang pilot berkata begitu, karena medan yang kami lalui, masih berupa lembah dan gunung yang menjulang tinggi di pedalaman Kabupaten Yahukimo, Papua.
ADVERTISEMENT
Angin kencang sesekali menghantam pesawat. Sebentar tenang, sebentar bergetar. Setidaknya, kondisi itu yang kerap bikin panik, karena pesawat yang kami tumpangi berjenis Karavan, pesawat kecil berbaling-baling satu yang hanya muat diisi 11 penumpang. Walaupun demikian, tidak dapat dimungkiri, bahwa suguhan alam sedikit membantu menenangkan.
Tujuan kami pagi itu merupakan sebuah distrik yang jaraknya sekitar satu jam bila ditempuh melalui udara dari Sentani, Jayapura. Di perjalanan, rasa heran seketika muncul di benak saya ketika melihat melihat aliran sungai yang kering. Padahal, di sekelilingnya adalah hamparan pegunungan yang dipenuhi pepohonan hijau.
“Mungkin sudah lama tak ada hujan,” pikir saya. Belum sempat terjawab, pilot sudah mengumumkan bahwa tujuan sudah dekat dan pesawat siap mendarat.
ADVERTISEMENT
Ternyata angin kecang belum usai mengusik ketenangan saya. Kondisi Air Strip yang menjadi tempat mendarat kami, malah lebih bikin deg-degan. Wajar saja, panjangnya hanya 600 meter, landasannya: Batu dan tanah yang ditumbuhi rerumputan.
Namun dengan cekatan pilot dapat mendaratkan pesawat dengan baik, walaupun tidak begitu mulus. Saat turun, kedua telinga terasa bergeming, mungkin efek dari suara mesin pesawat yang saya dengan sepanjang jalan.
Asa Bertumbuh di Pedalaman Papua (1)
zoom-in-whitePerbesar
Tapi itu teralihkan, melihat di sekeliling tempat pesawat mendarat, puluhan masyarakat Distrik Puldama sudah bersiap menyambut kedatangan kami.
Saya datang ke Puldama bukan karena inisiatif pribadi. Nama Puldama saja, baru saya dengar beberapa hari sebelum keberangkatan. Saat itu, koordinator liputan menanyakan apakah saya mau liputan di sana. Tanpa pikir panjang, saya acungkan jempol dan menjawab "iya".
ADVERTISEMENT
Saya datang ke Puldama bersama dengan rombongan dari Kementerian ESDM dan dua orang mahasiswa pada Sabtu (12/8). Tujuannya: membagikan 1.085 Lampu Tenaga Surya Hemat Energi kepada masyarakat di sana.
Turun dari pesawat, kami disambut oleh sekitar tujuh orang warga dengan pakaian adat, lengkap dengan Ikat kepala cendrawasih, membawa panah, sambil berteriak ‘hoouh-hoouh’. Kurang lebih seperti itu. Ada juga kepala Distrik, Peniat Mirin, dan puluhan masyarakat Puldama yang ikut menyambut.
Asa Bertumbuh di Pedalaman Papua (2)
zoom-in-whitePerbesar
Tanpa diduga, seluruh warga yang tadinya berada di bagian tebing atas sekeliling pesawat, turun seketika dan mengelilingi kami. Mereka dengan kompak bernyanyi, sembari berjalan maju, mengantar kami untuk turun ke daerah pemukiman.
Boleh dibilang Puldama adalah distrik yang indah. Dikelilingi gunung, hutan yang lebat, udara yang sejuk, dilengkapi oleh masyarakat yang ramah. Air begitu dingin di sana, berbagai umbi-umbian sudah mereka siapkan. Kami disambut dengan tradisi bakar batu, sebuah adat memasak yang hanya dilakukan saat acara-acara tertentu saja. Kami merasa terhormat dengan sambutan ini.
Asa Bertumbuh di Pedalaman Papua (3)
zoom-in-whitePerbesar
Belum lama sampai, saya berbincang dengan salah seorang warga di sana. Namanya Yosafat Yebu, seorang guru SD tamatan SMA dari sebuah sekolah di Jayapura.
ADVERTISEMENT
Yosafat bercerita pengalamannya sebagai guru di sana. Mulai dari keseruan belajar bersama ratusan anak-anak, hingga duka realita yang menyesakkan. Saya dibuat kaget ketika mendengar kisah Yosafat, yang bersama tiga orang guru lainnya mengajar lebih dari 600 anak.
"Benar, 610 anak-anak jadi murid kami di SD Inpres Puldama," ujar Yosafat, saya tercengang.
Dengan jumlah murid yang fantastis dan guru yang hanya empat orang saja, saya membayangkan bagaimana sulitnya proses pembelajaran berlangsung.
Rasa heran saya belum usai. Bila berbicara soal pekerjaan tentu erat kaitannya dengan gaji. Dengan hanya berempat saja, harusnya gaji yang diterima Yosafat dan kawan-kawan bisa semakin besar. Setidaknya, logika ekonomi sederhana berkata demikian. Namun nyatanya, Yosafat selama menjadi guru, sama sekali tidak digaji.
ADVERTISEMENT
"Bagaimana bisa empat orang guru mengajari anak-anak yang jumlahnya hingga 600-an, mengapa juga mereka mau, tanpa digaji pula?" pikir saya.
Karena penasaran, akhirnya saya tanyakan. Dan jawaban Yosafat sungguh unik dan menginspirasi.
"Mereka jalan kaki, dari delapan kampung di distrik Puldama. Paling jauh jalan kaki dari kampung Nambla, 10 km," ujarnya.
"Sebagai guru kita semangat karena demi pelayanan Tuhan. Biar bantu siswa-siswa sekolah di kota-kota dan luar negeri," tambahnya.
Asa Bertumbuh di Pedalaman Papua (4)
zoom-in-whitePerbesar
Sekali lagi, Yosafat berhasil membuat saya kagum. Tinggal di distrik terpencil, tidak ada sarana prasarana memadai, dan pendidikan hanya hingga SD, bukan berarti menjadikan semangat anak-anak di Puldama luntur. Terutama bagi orang-orang seperti Yosafat yang mengabdikan dirinya demi masa depan anak-anak Puldama yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Ada satu cerita lagi dari Yosafat yang buat dahi saya mengerut. Ia bercerita tentang kegigihan anak-anak dalam belajar. Namun, tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai.
"Mereka semangat belajar, tapi hanya di sekolah, kalau di rumah sampai sore main. Kalau malam anak-anak susah untuk belajar," kaya Yosafat.
Asa Bertumbuh di Pedalaman Papua (5)
zoom-in-whitePerbesar
Seketika saya paham maksudnya. Pantas saja demikian, dari sejak Indonesia merdeka, 73 tahun yang lalu, distrik ini sama sekali belum menikmati listrik. Ya, tidak ada penerangan yang bisa digunakan selain api hasil pembakaran kayu di tengah rumah mereka.
Sulit membayangkan anak-anak bisa belajar dalam kondisi seperti itu. Setidaknya, saya merasakan demikian. Ketika memasuki rumah-rumah mereka, bukan hanya pembakaran api yang tidak begitu terang, tapi, asap hasil pembakaran pun bikin mata perih dan pernapasan terganggu. Sulit untuk bisa bernapas lega di dalam rumah mereka. Namun, realita hidup ini yang sehari-harinya mereka jalani.
ADVERTISEMENT
Dengan kondisi itu, anak-anak di Puldama hanya bisa belajar secara efektif ketika siang hari, terutama di sekolah. Pada malam hari, walaupun mereka mau, mereka tidak bisa. Karena kehidupan malam di Puldama sangat jauh berbeda dengan siang hari.
Pukul 18.00 WIT, atau saat langit sudah mulai gelap, masyarakat kembali ke honai-honai (rumah tradisional) mereka. Seketika segala aktivitas di rumah honai sangat minim karena tidak adanya penerangan. Al hasil, masyarakat biasanya lebih memilih beristirahat ketika malam tiba.
Kedatanagan saya bersama kementerian ESDM pun bertujuan untuk mengatasi hal itu, dengan membagikan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) agar Puldama bisa menikmati terang.
Asa Bertumbuh di Pedalaman Papua (6)
zoom-in-whitePerbesar
Jelas kondisi di Puldama ini jauh berbeda dengan tempat-tempat lain yang sudah menikmati listrik. Contohnya saja Jawa Barat yang pada bulan Juli lalu rasio elektrifikasi ya sudah mencapai 98 persen. Bahkan menurut PLN, targetnya Maret 2019 Jabar memiliki rasio elektrifikasi 100 persen.
ADVERTISEMENT
Dengan dibagikannya LTSHE, masyarakat Puldama bisa sedikit lega. Mereka tahu, bahwa pemerintah tidak melupakan mereka. Setidaknya dalam kurun waktu tiga tahun ke depan, sedikit demi sedikit, asa masyarakat Puldama akan bertumbuh. Harapan akan terjaga, pembangunan akan merata, energi berkeadilan akan didapat. Karena targetnya, setelah tiga tahun, apabila tidak ada arang melintang, PLN akan masuk mengaliri listrik di sana.
Tentu ini akan menjadi sebuah harapan baru bagi masyarakat yang selama 73 tahun sudah menunggu. Jangan sampai mereka menunggu lebih lama lagi, karena Papua juga masih Indonesia. Kita bersaudara, kita satu, dan harus saling menjaga.
Asa Bertumbuh di Pedalaman Papua (7)
zoom-in-whitePerbesar