Surat Terbuka untuk Budiman Sudjatmiko, dari Penggemar Awkarin

Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Nanda Fauzan adalah penulis esai dan cerita pendek. Buku pertamanya, Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein (Buku Mojok, 2022). Terpilih sebagai Emerging Writers di Ubud Writers and Readers Festival 2022.
Konten dari Pengguna
15 Oktober 2019 14:54 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Nanda Fauzan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Selebgram Karin Novilda atau Awkarin dan Politikus PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko. Foto: Instagram/@awkarin, Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Selebgram Karin Novilda atau Awkarin dan Politikus PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko. Foto: Instagram/@awkarin, Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Halo, Pak Budiman, apa kabar? Semoga sehat selalu, serta dijauhi dari marabahaya. Oh iya, jangan lupa minum obat pegel linu, usia hampir setengah abad rentan terkena penyakit encok alias asam urat lho, Pak. Maaf, cuma mengingatkan.
ADVERTISEMENT
Btw, bagaimana rasanya dirisak berjemaah oleh penggemar Awkarin di lini masa Twitter? Pasti tidak semenderita diuber-uber oleh rezim militer Orde Baru seperti dahulu, kan. Semoga iya, sih.
Sebelumnya, saya ingin meminta maaf atas tindakan reaksioner dari kawan-kawan saya itu. Maklum, Pak, penggemar militan. Sungguh, kali ini Pak Budiman masih sedikit beruntung, seandainya kemarahan mereka sudah mencapai titik didih, mungkin salah satu dari mereka akan menunggangi kuda, lengkap dengan kupluk hitam dan kaos terbuka serta sekelumit aksesori—persis seperti Awkarin di video clip 'Badass'.
Bukan bermaksud mengancam, tapi jika hal itu terjadi, maka segeralah meminta maaf kepada khalayak, Pak. Atau mulailah berlatih kuda-kuda, agar lini pertahanan anda siap menangkal serangan. Dan, tentu saja, perbanyak konsumsi obat pegal linu.
ADVERTISEMENT
Sebelum lebih jauh, izinkan saya—sebagai representasi penggemar Awkarin kemarin sore—melalui surat singkat ini, mengajukan satu pertanyaan. Begini: Pak Budiman ini beneran budiman, apa cuma pura-pura budiman, sih?
Eh bukan itu pertanyaannya. Maksud saya, apa sih maksud antum membanding-bandingkan Awkarin dengan Tri Mumpuni? Dua—dari sekian banyak—putri terbaik Indonesia itu baiknya didukung, Pak, bukan dibanding-bandingkan. Selain bisa menyulut emosi, tindakan anda juga tak ada gunanya, mending nonton Tiktok, gih.
Tri Mumpuni adalah orang hebat, saya setuju itu. Ia membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), menerangi desa-desa terpencil dari gelap malam, menorehkan sejumlah prestasi yang menggembirakan. Bahkan, di acara pertemuan “Presidential Summit on Entrepreneurship” 2010 silam, Beliau dipuji langsung oleh Barack Obama. Saya memiliki sedikit saran, harusnya, seperti Gundala, beliau layak dikaruniai jargon “Tri Mumpuni Putri Petir”, Negara ini butuh patriot listrik murah-meriah.
ADVERTISEMENT
Sejurus dengan Tri Mumpuni, Awkarin adalah orang hebat. Sekali lagi, tak elok membandingkan keduanya. Awkarin turun ke jalan, memanfaatkan jangkauan yang teramat luas di sosial media untuk sekelumit kampanye, memadamkan kebakaran hutan, dan sejumlah aksi heroik lain bisa anda lacak jejak digitalnya. Kalau saya tulis semua di sini, monmap saya pegel.
Bahwa Awkarin memiliki masa lalu yang kurang membanggakan, saya setuju akan hal itu. Dulu, tak terhitung berapa kali—saking seringnya—dia ditegur KPAI karena konten yang dianggap kurang etis, obral drama putus cinta, colabb bareng Young-Lex terus unggah video dengan pakaian minim, suka omong kasar pula.
Tapi, seberapa sulit kita bisa menghargai Awkarin sebagai manusia di hari-hari sekarang, tanpa mengingat kenakalannya di masa lampau. Pasti lebih mudah dari membalikkan telapak tangan, atau menghafal kutipan-kutipan film 'Joker' yang sedang viral.
ADVERTISEMENT
Awkarin berhasil mencuri perhatian publik atas perubahan sikap yang teramat drastis, dan itu bukan sekadar perkara sepele, tapi luar biasa. Coba anda bayangkan, Pak, wajah sekinclong itu bukan hanya mampu pamer kemewahan di Instagram, tapi rela berdesak dengan kerumunan demonstran di jalanan. Kalau istilah beliau sih, “Siang aksi, malam party”.
Kalau saja anda menjadi aktivis di zaman sekarang, apa tidak kepincut, Pak?
Omong kosonglah itu soal ruang dialektika atau adu prespektif tentang makna esensi-sensasi. Jika pun seandainya cuitan bapak terkait itu benar adanya, memang apa indikator penentu: Untuk meletakkan tindakan yang mana layak taruh di rak sensasional, dan yang mana di rak esensial. Di luar daripada itu, kami hanya perlu satu hal; Awkarin untuk Indonesia yang lebih sejuk. Sejuk di Instagram dan sejuk di dunia nyata. Subhanallah.
ADVERTISEMENT
Oh iya, kalau boleh tahu, apakah masa kecil anda, Pak Budiman, tidak pernah merasakan sakitnya menjadi korban yang melulu dibandingkan dengan capaian anak tetangga? Sumpah itu nyesek banget, Pak. Atau, jangan-jangan anda tidak pernah mendapat perlakuan buruk dari gebetan yang sering membandingkan kita dengan mantannya, kemudian ditolak dengan alasan, “Maaf, semua mantanku enggak ada yang nyambi jadi subscriber Atta Halilintar,” misalnya.
Sebagai penutup, saya hendak mengutip lagu Awkarin, yang bisa kita perdebatkan makna filosofisnya, “Kalian semua suci, aku penuh dosa”.