Auto-da-fé Modern: Musibah Dikira Azab, Bantuan Ditolak karena Beda Agama
2 Desember 2022 15:24 WIB
·
waktu baca 5 menitSiapa pun yang menganggap musibah di Cianjur sebagai azab Tuhan bagi para pendosa, maka mereka sejatinya sedang menciptakan panggung megah ritual auto-da-fé—dengan sedikit modifikasi.
Mereka keji, memberi penghakiman secara acak dan tak berdasar, kemudian mempertontonkannya di muka publik. Titik ekstrem yang membedakan keduanya adalah waktu: auto-da-fé marak pada abad ke-15, zaman ketika segalanya masih buram dan gejala alam terlalu sukar terjelaskan; sementara penghakiman terhadap gempa di Cianjur terjadi pada era ketika akses ilmu pengetahuan bisa diringkas dalam beberapa klik di layar gawai.
Ritual auto-da-fé yang bengis pernah digambarkan dalam satire karya Voltaire, Candide. Sesaat setelah gempa di Lisabon memporak-porandakan seisi kota, orang-orang bijak mulai sibuk mencari kambing hitam. Maka terpilihlah lima orang pendosa yang harus menanggung segala mala: seorang Basque yang mengawini ibu permandiannya, dua orang Portugis yang ogah mengudap lemak babi, seorang filsuf apkiran bernama Panglos yang berkhotbah tentang optimisme, juga Candide yang mendengarkan ocehan Panglos. Hukuman dijatuhkan berdasarkan dosa masing-masing. Basque dan dua orang Portugis yang malang dibakar hidup-hidup, sang Filsuf dihukum gantung, dan Candide diganjar cambuk.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814