Jika Risma Maju di Pilgub DKI, Akankah Jaksel Menjadi 'Suroboyoan'

Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Nanda Fauzan adalah penulis esai dan cerita pendek. Buku pertamanya, Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein (Buku Mojok, 2022). Terpilih sebagai Emerging Writers di Ubud Writers and Readers Festival 2022.
Konten dari Pengguna
16 Januari 2020 14:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Nanda Fauzan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bu Risma dan bahasa Jaksel. Foto: dok: Indra Fauzi/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bu Risma dan bahasa Jaksel. Foto: dok: Indra Fauzi/kumparan.
ADVERTISEMENT
Politik memang kejam, dan Ibu kota, menurut pepatah kuno, jauh lebih kejam dari ibu tiri. Bisa anda bayangkan jika kedua kekejaman itu digabung, maka hasilnya adalah kekejaman berikut; orang-orang yang tengah bersinar, akan turut serta—atau, paling tidak akan digosipkan—maju dalam pusaran Pilgub DKI.
ADVERTISEMENT
Seolah-olah, seorang politisi baru dianggap sukses apabila dia berhasil 'nongkrong' di Ibu kota. Kejam sekali, bukan?
Itu cara berpikir yang aneh dan cenderung stereotipikal. Begini, tak semua politisi yang baik ditakdirkan untuk Jakarta, dan tak semua politisi Jakarta ditakdirkan untuk menjadi baik, sebagian ditakdirkan untuk menjadi bahan meme.
Nama seperti Ridwan Kamil hingga Ganjar Pranowo pernah diseret dalam percaturan politik Ibu kota, walau akhirnya sama-sama batal. Mereka adalah politikus pilih tanding di daerah masing-masing, Ganjar di Jawa Tengah dan Ridwan Kamil di Jawa Barat.
Kali ini Tri Rismaharini mendapatkan giliran. Ia ditunjuk-tunjuk dan digosipkan akan maju di Gelanggang Pilgub Jakarta 2022. Kita tahu, jabatan Risma sebagai Wali kota Surabaya akan berakhir tahun ini, dan sebagian orang Jakarta diam-diam menaruh harapan padanya.
ADVERTISEMENT
Saat ditanya mengenai hal tersebut oleh awak media, ia memberi tanggapan yang sangat menohok, “untuk apa saya jadi gubernur? Untuk apa saya jadi presiden, misalkan, tapi warga yang miskin tetap ada, enggak ada gunanya untuk saya,” katanya. Kemudian ia menegaskan untuk fokus terlebih dahulu menuntaskan tugasnya: Menata Surabaya hingga masa kepemimpinannya usai.
Tetapi manuver politik tak ubahnya sikap kekasih; sulit ditebak. Bisa jadi kemudian Risma akan maju, atau mundur, atau maju-mundur cantik. Sekali lagi, politik tak bisa diramal secara sembarang.
Katakanlah bahwa Risma akhirnya memutuskan untuk maju, jelas kita akan dihadapkan pada beragam kemungkinan. Jakarta bisa menjadi satu provinsi yang lebih berkembang, atau justru sebaliknya.
Lalu, apakah Risma akan secemerlang saat ia menjadi Wali kota Surabaya? Apakah macet akan bisa terurai dengan mudah? Bisakah banjir teratasi? Bagaimana cara Risma menangani pemukiman kumuh? Apakah jumlah pengangguran dapat ditekan? Untuk seluruh pertanyaan itu, ada baiknya para pakar politik bisa berkumpul dan menjabarkan analisa masing-masing secara mendalam dan reflektif.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, yang tak kalah menarik adalah, bagaimana perkembangan penutur logat Jaksel jika ditangani oleh Risma, dan adakah potensi logat 'Suroboyoan' lebih digandrungi oleh anak-anak gaul nan Hype ibukota.
Dialek Suroboyoan begitu kental dengan nuansa lokal, sedangkan Logat Jaksel adalah akulturasi antara bahasa Internasional dan penutur yang baru Akil Baligh. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, jelas dialek Suroboyoan lebih memiliki nilai.
Di luar urusan berbangsa dan bernegara, sesungguhnya logat Jaksel juga punya potensi untuk menghamburkan pengeluaran BPJS, sebab bikin puyeng para pendengar. Mereka terbiasa menyelipkan idiom-idiom asing dalam percakapan.
Intinya, Mereka tuh makes us annoyed banget, which is bikin ribet dan literally gak sesuai konteks. Probably biar tampil keren mungkin ya, padahal lebih worth it pakai bahasa Indonesia. Atau lebih prefer pakai bahasa daerah sih, basicaly itu culture kita. Gak understand deh sama language yang di-mixed gitu.
ADVERTISEMENT
Sedangkan dialek Suroboyoan, sejauh pengalaman saya berinteraksi dengan penuturnya, memiliki karakter tersendiri. Medok, intonasi lugas, lebih ekspresif, dan variatif. Maka, di titik ini, Risma bisa mempromosikan dialek Suroboyoan. Bagaimanapun, bahasa tak bisa dianggap remeh dalam upaya membentuk karakter bangsa. Program ini bisa dicanangkan sebagai program unggulan DKI.
Saat itu terjadi, kita tak akan lagi mendengar ajakan nongkrong bernada intimidatif seperti; “Guys, gua sih lebih prefer kita hang out ke Coffe Shop aja. Basically di sana tempatnya indie banget lagi, which is ada nuansa senja gitu.” Sebab, dialek Suroboyoan bisa meringkas itu dalam kalimat super padat namun penuh semangat “Wis, cangkruk ning warkop ae, jianc*k!”
Semuanya akan terkesan lebih mantap. Selain itu, para Youtubers yang terbiasa menyapa pemirsa dengan “Haloo, guys” besar peluang akan mengubahnya menjadi “Wooy, cuk”. Dan, “Ahsyaaap” menjadi “Asssy*uuu”.
ADVERTISEMENT
Seandainya Risma maju di bursa Pilgub DKI, saya membayangkan dialek Suroboyoan akan mendominasi Ibu kota. Dan itu sangat menyenangkan. Tetapi, untuk sementara waktu, kita hanya bisa menunggu keputusan Risma sembari ngobrol dengan anak Jaksel. Which is, semuanya belum terjadi.