
Mari kita intip lagi majalah Manglé No. 1060 dan cermati kalimat yang ditulis oleh Popo Iskandar. “Mantan guru saya, menganjurkan agar saya menyebutnya maneh,” tapi, sambungnya, “orang Sunda tak akan tega menyebut ‘maneh’ kepada seorang guru. Guru tetaplah guru, tidak ada istilah mantan.”
Dari kalimat di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa “penghormatan” tidak ditagih, melainkan diberi secara cuma-cuma. Jika rasa hormat dituturkan dalam situasi memaksa, ia bisa dibaca sebagai bentuk lain dari feodalisme. Seorang guru mungkin merasa lebih leluasa dipanggil “maneh”, tapi tak masalah jika si murid menolak gagasan itu—dengan alasan, sebagaimana menurut Kang Popo Iskandar, hormat-tilawat.
Tulisan Popo Iskandar, yang saya kutip di atas, memuat satu dari sekian banyak polemik terkait undak usuk dalam bahasa Sunda yang pernah diterbitkan oleh majalah Manglé pada 1986. Polemik itu dipantik oleh makalah Ajip Rosidi, yang kemudian dimuat secara beruntun di Manglé, dengan judul “Ngabina Jeung Ngamekarkeun Kebudayaan Daerah (Sunda)”. Bagi Ajip Rosidi, undak usak tak perlu lagi dipelihara, sebab bahasa Sunda harus bisa tampil secara demokratis. Artinya, tak ada lagi tingkatan dalam percakapan sehari-hari. Entah interaksi antara yang tua dan yang muda, atau percakapan yang dibedakan oleh kelas sosial.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814