news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mencari Harun Masiku di Tumpukan Jerami?

Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Nanda Fauzan adalah penulis esai dan cerita pendek. Buku pertamanya, Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein (Buku Mojok, 2022). Terpilih sebagai Emerging Writers di Ubud Writers and Readers Festival 2022.
Konten dari Pengguna
12 Mei 2020 10:21 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Nanda Fauzan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Harun Masiku. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Harun Masiku. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
ADVERTISEMENT
Berbarengan dengan ditangkapnya Ferdian Paleka, lamat-lamat terdengar kembali geliat kasus Harun Masiku ke permukaan, tentu dengan sedikit bandingan terhadap kinerja aparat; mengapa kriminal kelas teri lebih mudah dijerat, sementara bramocorah nomor wahid sungguh sulit diperangkap?
ADVERTISEMENT
Fakta degil ini, kita tahu, acap kali berulang. Tanpa pretensi mendikotomi tingkat kejahatan mana yang lebih parah, pertanyaan sejenis tetap layak diajukan ke muka.
Sementara, misalnya, para pesakitan yang terancam oleh pasal karet UU ITE berhasil diringkus dalam hitungan hari, bahkan jam (lihat kasus ini sepanjang Pilpres 2019), kita butuh waktu sepanjang 16 tahun untuk mengungkap aktor utama pembunuhan Munir, berkali-kali penggantian Presiden—bahkan itu pun masih buram.
16 tahun bukan waktu yang singkat, jika Anda membuat racikan kopi dalgona dengan durasi yang sama panjangnya, besar kemungkinan Anda bisa menjadi Anak Indie paling top sejagat.
Itu dua bandingan yang, menurut hemat saya, paling mencolok mata. Saya menggunakan kata 'paling', sebab di bawah itu masih ada kasus-kasus serupa yang bisa disejajarkan, tetapi tak bisa saya urai satu persatu sebab terlalu menyita waktu dan pikiran.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus Harun Masiku, kekecewaan saya meluap berkali lipat. Bukan karena Ferdian Paleka—atau kriminal serupa—lebih mudah ditangkap, tetapi karena Harun betul-betul licin, gesit, dan tangkas. Anda bayangkan, beberapa pekan setelah ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terhadap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan, saking misteriusnya orang ini, sampai-sampai beredar kabar bahwa Ia telah meninggal.
Dan, kabar itu kembali mencuat belakangan ini. Lihat misalnya, warta berjudul “Teka-Teki Kabar Harun Masiku Meninggal” yang disiarkan oleh kumparan (08/5).
Isu meninggalnya Harun Masiku tak bisa kita pandang sebagai angin lalu. Itu adalah preseden yang bukan saja buruk, tetapi sedikit membingungkan.
Jika kabar burung itu benar, kita patut menduga-duga, mengapa tak ada orang yang berhasil untuk mencari dan memulangkan mayatnya. Setidaknya, jika tak mampu membawa pulang dalam keadaan hidup, dalam kondisi mati pun tak apa. Tetapi, seandainya kabar itu salah, ini jauh lebih berbahaya. Sebab, kabar itu bisa digunakan sebagai metode paling ampuh untuk diam-diam melupakan keberadaan Harun.
ADVERTISEMENT
Harun mungkin saja hilang, atau dihilangkan. Mungkin lho, ya.
Tetapi, saya ingin Harun muncul dalam keadaan sehat walafiat, bertambah bugar dan dilindungi Tuhan. Kelak, saya berharap bisa melihat seutas senyum melingkar di bibirnya, puluhan lampu kamera menyorot gerak-geriknya, dan rompi kuning—yang terlihat stylish itu—Ia kenakan dengan penuh rasa bangga. Sekali waktu saya pernah mendoakan kepulangannya seperti seorang Ibu mendoakan keselamatan anaknya di tengah rantau, dan berharap ia segera mudik.
Tetapi Harun adalah manusia yang sepanjang hidupnya selalu dipenuhi dengan pelbagai strategi memikat, satu doa dan harapan untuk memboyongnya kembali tak akan pernah cukup. Tak akan pernah.
Anda bayangkan betapa cerdik dan penuh siasatnya Bapak-bapak yang satu ini, sehingga Beliau bisa menghitung waktu yang tepat untuk tamasya ke Negeri tetangga.
ADVERTISEMENT
Menurut data dari Ditjen Imigrasi, Harun berangkat ke luar negeri sejak tanggal 6 Januari 2020, yang berarti selang 2 hari sebelum Operasi Tangkap Tangan KPK. Hebat, toh? Kalau bukan strategi, mungkin saja ini karena Beliau dikaruniai mata batin—meski itu terdengar muskil dipercaya.
Harun, memperpanjang daftar hitam dan tuduhan publik bahwa aparat kita tak punya kecanggihan untuk ‘menciduk' penjahat besar, tetapi cukup trengginas menjebloskan kriminal cilik. Soalnya bukan saja berbuntut pada anggapan bahwa hukum sering kali tebang pilih, tetapi berkaitan dengan kompetensi.
Terhadap segala hal yang sukar dicari, seperti keberadaan Harun Masiku, kita punya peribahasa yang cukup untuk menggambarkan fenomena itu; seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
ADVERTISEMENT
Usaha itu mungkin terdengar sukar bukan kepalang, tetapi selalu ada keajaiban pada usaha yang ditekuni dengan giat, kira-kira begitu kata para motivator di luar sana. Keberhasilannya melulu bergantung pada kecakapan dan niat pihak berwajib untuk saling bersinergi.
Lagi pula, Harun Masiku bukan jarum dan tak mungkin ada jerami yang kuat selama-lamanya menjadi tempat ia bersembunyi dari segala persoalan. Mungkin, istilah yang cocok bagi kasus Harun adalah; seperti menangkap lele di tengah warung pecel. Meski sedikit licin, kita akan selalu menemukan cara untuk 'membungkusnya'.