Mengapa Ada yang Membela Ferdian Paleka Atas Nama Agama?

Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Nanda Fauzan adalah penulis esai dan cerita pendek. Buku pertamanya, Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein (Buku Mojok, 2022). Terpilih sebagai Emerging Writers di Ubud Writers and Readers Festival 2022.
Konten dari Pengguna
8 Mei 2020 15:02 WIB
comment
20
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Nanda Fauzan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Youtuber Ferdian Paleka. Foto: Instagram @ferdianpalekaaa
zoom-in-whitePerbesar
Youtuber Ferdian Paleka. Foto: Instagram @ferdianpalekaaa
ADVERTISEMENT
Sebagai orang yang, sejak usia dini, percaya bahwa agama adalah instrumen paling memungkinkan untuk meluruskan segala keruwetan di muka bumi, saya agak sakit hati melihat orang-orang yang membela Ferdian Paleka. Terlebih, pijakan yang dijadikan pembenaran adalah nilai agama—yang digunakan tak berkesesuaian dengan konteks.
ADVERTISEMENT
Dua orang itu, dengan atribut keagamaan, membabi-buta mencemooh Transpuan dan memuja perbuatan Ferdian Paleka.
“Bahkan dalam hukum Islam para banci itu seharusnya dibunuh,” kata salah satu di antara mereka.
Heh, Tuhan itu menciptakan laki-laki dan wanita, kenapa dia mencintai sesama jenis. Tidak baik itu,” sahut yang lain.
Ilustrasi Ferdian Paleka Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
Saya menonton video itu sampai rampung, menunggu momen di mana kedua orang yang mengaku diri sebagai ‘Santri' itu mendedahkan argumentasinya, paling tidak menjabarkan dalil-dalil yang saling topang dan kait. Tetapi nihil, selain sumpah serapah dan kebencian, tak ada yang bisa diambil dari pleidoi itu. Tidak ada, Bung!
Ferdian Paleka jelas makhluk nirempati, dan para pembelanya berkubang dalam sikap serupa. Keduanya adalah sebab utama mengapa bangsa ini jumud melulu.
ADVERTISEMENT
Anda bayangkan, di tengah serbuan wabah yang membuat kita harap-harap cemas, seseorang membagikan sampah dan batu-bata kepada mereka yang mencari penghidupan, lalu membungkusnya dengan kardus mie instan. Dan, ceruk mata para Transpuan—yang mungkin bercampur dengan leleh keringat—mereka manfaatkan sebagai lahan untuk menimba harta, mengambil sebanyak-banyaknya viewers; menjadikannya konten belaka.
Saya tak butuh nilai-nilai Agama untuk menjatuhkan vonis bahwa itu perbuatan yang, bukan saja keliru, tetapi culas, curang dan lancung tiada banding. Nurani saya sudah mampu menuntut segala penghakiman. Tuan Krab yang pelit Naudzubillah saja, bahkan tak akan tega melakukan hal keji semacam itu. Saya yakin.
Pernah situ menonton Tuan Krab, si kepiting bermata dolar, menghakimi Patrick karena ia memuja kerang ajaib, atau merisak hubungan Plankton dengan Karen, si Robot paling mutakhir di Bikini Botom?
ADVERTISEMENT
Tidak akan Anda temukan satu pun episode penuh tendensi semacam itu. Padahal, hubungan Plankton dan Karen bukan saja berbeda jenis, tetapi juga berbeda spesies.
Saya tak tahu apa agama Tuan Krab, tetapi sikapnya—kecuali fakta bahwa ia medit—jauh lebih layak ditiru ketimbang orang-orang beragama yang penuh kebencian. Kelompok jenis ini, hanya mendompleng atribut agama, dan mencoreng nilai-nilai paling humanis di dalamnya.
Agama, Anda tahu, adalah sejenis instrumen. Bagaimana ia berfungsi, jelas tergantung pada kita sebagai user, sebagai hamba. Kita bertanggung jawab membangun citra terhadapnya, jika hendak melekatkan Agama sebagai identitas.
Apakah ia akan dijadikan senjata untuk membunuh, atau dalam konteks ini melanggengkan kekerasan terhadap kelompok minoritas yang hak-haknya melulu dianggap remeh, jelas Anda yang menentukan. Atau, apakah ia akan dikenal sebagai satu nilai, satu ajaran, yang membawa kedamaian, ketentaraman?
ADVERTISEMENT
Saya, jelas mau damai-damai saja. Saya ingin tak ada sampah yang bertebaran di alam semesta, baik sampah fisik maupun sampah virtual; konten rendahan seperti yang dibuat Ferdian Paleka, atau para pembelanya. Dan, untuk mengentaskan segala sampah itu, agama adalah pilihan yang cukup baik, meski bukan satu-satunya.
Persoalan paling mendasar adalah, kepada siapa kita hendak berguru, atau dengan kelompok mana kita berkerumun.
Jika kita berangkat dari titik paling rendah, di mana ajaran teologis dijadikan sebagai penghakiman atas segala perkara, tetapi tak memiliki cukup landasan hukum yang kuat, jelas kita akan terjebak pada kemarahan membabi buta. Seperti kekasih yang tidak punya cukup bukti, tetapi menuduh kita selingkuh, hanya karena rasa cemburu tanpa dasar.
ADVERTISEMENT
Belum lagi, jika kita terus berkerumun pada kelompok yang percaya pada tafsir tunggal, lalu abai terhadap pemaknaan lain. Seolah-olah Islam hanya dibangun dengan satu bata sebagai fondasi, lalu melupakan khasanah keilmuan lain, bata-bata lain.
Sekali lagi, kita tak memerlukan dalil apa pun untuk mengecam perilaku tak senonoh yang dilakukan oleh Ferdian Paleka. Kita juga tak butuh kebencian yang ditebarkan oleh para pembelanya
Di masa genting begini, kita tak butuh apa-apa selain empati dan solidaritas yang menguatkan.
Dan pada titik tertentu, jika tak mampu mengikat simpul solidaritas, cara terbaik untuk menjaga kedamaian adalah dengan tidak menciptakan komentar yang memicu huru-hara. Seperti apa yang diucapkan Tuan Krab, dalam salah satu episode gemilangnya, bahwa, “Terkadang apa yang tidak kau bicarakan lebih bernilai daripada yang kau bicarakan.”
ADVERTISEMENT