Wacana Pelonggaran PSBB yang Menyulut Solidaritas 'Kaum Rebahan'

Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Nanda Fauzan adalah penulis esai dan cerita pendek. Buku pertamanya, Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein (Buku Mojok, 2022). Terpilih sebagai Emerging Writers di Ubud Writers and Readers Festival 2022.
Konten dari Pengguna
20 Mei 2020 15:02 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Nanda Fauzan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kaum rebahan. Foto: Dok: Indra Fauzi/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kaum rebahan. Foto: Dok: Indra Fauzi/kumparan.
ADVERTISEMENT
Titik puncak rasa geram seorang perempuan, biasanya terperi dalam satu kata yang cukup sederhana tapi terkesan penuh intimidasi; “terserah.” Kata yang paling seram dalam Kamus Bahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Maka, muncullah satu selentingan dan wejangan bahwa, jika pasanganmu sudah mulai menjawab segala pertanyaan dengan senjata andalan mereka, bersiaplah berpusing ria. Sebab “terserah” tidak bisa ditafsirkan sembarangan, perlu ketelitian dan kehati-hatian khusus untuk itu, agar tak terjadi peperangan yang tak diharapkan.
Di tengah rencana pelonggaran skema Pembatasan Sosial Berskala Besar, yang tengah digodok oleh Pemerintah Pusat, ungkapan terserah digalakkan oleh tim medis melalui kanal-kanal media sosial. Mereka menumpahkan kekesalan dengan kicauan yang disertai tagar #IndonesiaTerserah. Ada yang lucu-lucu, tetapi lebih banyak lagi yang kecewa.
Tentu saja, Pemerintah tak bisa menganggap ini semata gerakan medsos yang sepele dan tak memiliki pengaruh apa-apa, tetapi harus segera mengambil sikap yang diperlukan.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun, sepanjang Negara ini belum sepenuhnya steril dari ancaman Covid-19, keberlangsungan hidup kita betul-betul bertumpu pada tim medis. Merekalah yang punya andil paling signifikan; memberikan tenaga, meluangkan waktu, hingga bertaruh nyawa.
Kalau tim medis sudah mulai ngambek, Indonesia akan betul-betul kewalahan menghadapi wabah. Sebab virus ganas semacam ini, kata kawan saya, tidak bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Jangan sepelekan, Guys!
Wacana yang beredar, bahwa pemerintah tengah merencanakan pelonggaran PSBB memang membuat banyak pihak ambyar bukan kepalang. Apalagi banyak terpampang di ruang publik, foto orang-orang yang tengah berkerumun dan bisa menjadi ancaman sebaran Covid-19. Mulai dari gambar antrean para penumpang di Bandara yang padatnya luar biasa, hingga para pengunjung mal yang saling berdesakan untuk belanja baju lebaran.
ADVERTISEMENT
Ngeri? Tentu saja.
Besar kemungkinan ada sejenis kesalahpahaman, sehingga orang-orang merayakan pelonggaran PSBB dengan bepergian. Padahal Presiden Jokowi sudah memperingatkan, dalam sambutan rapat terbatas (18/05), bahwa: "Yang sedang kita siapkan ini memang baru sebatas rencana atau skenario pelonggaran yang akan diputuskan setelah ada timing yang tepat serta melihat data-data dan fakta-fakta di lapangan.”
Bisa dibayangkan, bahkan baru sebatas rencana saja gerombolan orang-orang nakal itu sudah memanfaatkan momen untuk berkeliaran ke luar rumah, bagaimana jika rencana itu sudah ditetapkan secara resmi. Tentu keadaannya semakin kacau dan ruwet. Adalah konsekuensi logis jika tim medis mengambil sikap demikian.
Alibi orang-orang nakal ini, tidak lain dan tidak bukan, adalah bosan berdiam di rumah. Ada memang orang yang terjun ke lapangan untuk mencari sesuap nasi, khusus untuk mereka kita tak bisa sepenuhnya menjatuhkan penghakiman. Tetapi, bagi kelompok orang-orang yang keluar tanpa kebutuhan mendesak, kita sah-sah saja marah, kan?
ADVERTISEMENT
Gerakan solidaritas kepada tim medis mulai berdatangan. Bukan dari eksponen yang dianggap patriot dan gagah, tetapi gerakan dukungan itu muncul dari kelompok terpinggirkan, mereka yang kadung dianggap sebelah mata oleh masyarakat. Mereka adalah kaum rebahan.
Baik kaum rebahan yang sudah mencapai taraf ahli, maupun mereka yang masih junior dan baru bergabung saat pandemi. Seluruhnya bersatu-padu memberi bantuan moral kepada tim medis. Mereka tidak saja berjasa memutus rantai sebaran virus, tetapi juga menjadi contoh yang baik saat orang-orang mulai enggan patuh pada anjuran.
“Baru kali ini kami punya peran,” kata salah satu dari mereka, yang punya jabatan Senior. “Kalian baru dua bulan stay at home saja sudah menyerah, bagaimana kami yang sudah stay at home selama bertahun-tahun,” kata yang lain.
ADVERTISEMENT
Jumlah kaum rebahan ini, saya yakin punya populasi yang cukup untuk sekadar mengguncangkan dunia, atau bahkan membuat partai politik. Maka, segala kemarahan mereka sudah selayaknya kita tanggapi dengan serius.
Kita tahu, solidaritas mereka yang erat terhadap tim medis, bisa menjadi energi dahsyat. Jika masih ada orang-orang yang enggan mengikuti protokol kesehatan, tamasya ke pusat perbelanjaan, atau memilih nongkrong di warung kopi, jangan salahkan jika hukuman dari kaum ini datang mengancam.
Saya membuat tulisan ini sembari rebahan, mendengar musik dan mengenakan selimut tebal. Saya adalah salah satu dari mereka. Saya mendukung tim medis, dan berharap agar bencana ini segera lenyap. Mari, bergabung bersama kami. Sebab, di saat genting begini ini, “bersatu kita runtuh, bercerai kita teguh.”
ADVERTISEMENT