news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Piala Dunia Qatar 2022 dan Permasalahan Hak Pekerja Migran yang Belum Usai

Muhammad Rayhan
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
4 Januari 2022 17:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rayhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bentuk Protes Tim Nasional Jerman terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Qatar. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Bentuk Protes Tim Nasional Jerman terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Qatar. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Bagi penulis dan banyak penggemar sepak bola lainnya, 2022 terasa spesial karena tahun ini kita kembali akan berjumpa dengan Piala Dunia. Pagelaran yang dilaksanakan setiap 4 tahun sekali ini akan mengambil tempat di Qatar sebagai tuan rumah penyelenggara putaran final Piala Dunia yang ke 22. Mengutip data dari World Football Reports 2018 yang diterbitkan oleh Nielsen Holdings plc, sebuah perusahaan analisis data, sepak bola merupakan cabang olahraga yang memiliki jumlah persentase penggemar terbesar yakni mencapai 43% responden global menurut survei yang mereka lakukan pada tahun 2017.
ADVERTISEMENT
FIFA sebagai otoritas tertinggi dalam penyelenggaraan Piala Dunia memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan dan menentukan tuan rumah pelaksana acara tersebut. Qatar telah ditentukan pada tahun 2011 sebagai tuan rumah pelaksana Piala Dunia 2022. Keputusan ini menjadikan Qatar sebagai negara ketiga di Asia dan menjadi negara di kawasan Timur Tengah pertama yang menjadi tempat pelaksanaan Piala Dunia. Piala Dunia mendatangkan beragam keuntungan bagi negara penyelenggara seperti peningkatan aktivitas ekonomi, sosial dan kebudayaan, hingga pembangunan lingkungan yang berkesinambungan. Namun seringkali pelaksanaan acara olahraga besar seperti Piala Dunia dan Olimpiade berdampak terhadap pelanggaran hak asasi manusia di negara tempat penyelenggaraan berlangsung.
Sejak FIFA mengumumkan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 pada tahun 2011, laporan terkait dengan pelanggaran hak pekerja migran telah berdatangan ke Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO. Kemudian di tahun 2012 ILO mulai meningkatkan jumlah pengawasan terhadap situasi pekerja migran di Qatar yang mencapai hingga 94% dari jumlah seluruh pekerja di negara tersebut. Temuan ILO menyebutkan bahwa terdapat pelanggaran substantif pada hak fundamental pekerja berupa penyalahgunaan hukum, minimnya penegakan aturan, hingga kebijakan diskriminatif.
ADVERTISEMENT
Terbaru Amnesty International dalam kampanye “Qatar World Cup of Shame” melaporkan bahwa lebih dari 15,000 pekerja migran meninggal sepanjang tahun 2010 hingga 2019. Selain jaminan hidup dan kesehatan pekerja yang minim, pekerja migran lain juga mendapatkan perlakuan selayaknya perbudakan dengan jam kerja tinggi, tempat peristirahatan yang tidak layak, dan sanitasi yang buruk. Hal ini dapat terjadi terkait dengan adanya perangkat aturan tentang pekerja migran di Qatar yang disebut “Sistem Kafala”.
Sistem Kafala merupakan perangkat aturan yang seharusnya menjamin kesejahteraan pekerja migran yang dipekerjakan di Qatar. Sistem tersebut mewajibkan pekerja migran yang masuk ke Qatar harus memiliki penjamin yang disebut sponsor yang bertanggung jawab terhadap Visa dan Status Hukum para pekerja migran yang merupakan sistem perbudakan modern. Sistem Kafala telah menjadi sorotan dunia humanitarian internasional terhadap hak para pekerja di Qatar sebelum Qatar ditetapkan sebagai Tuan Rumah Piala Dunia 2022.
ADVERTISEMENT
Menurut Panduan Prinsip PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia, dijelaskan bahwa perusahaan memiliki kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak-hak pekerja. Dalam kondisi apa pun, perusahaan tidak diperkenankan untuk memanfaatkan kelemahan dalam sistem perburuhan di Qatar. Sebagai entitas yang memiliki operasi bisnis terkait Piala Dunia, FIFA memiliki tanggung jawab untuk mencegah penyalahgunaan dan menangani pelanggaran hak pekerja migran yang terjadi di Qatar.
Sebagai non-state actor, hukum kebiasaan internasional tidak dapat dikenakan terhadap FIFA meskipun terjadi tindak kesalahan internasional. Sementara itu FIFA, yang memiliki kekuatan yang berasal dari monopoli kuasa dan kontribusi pemerintahan, globalisasi yang meningkatkan popularitas sepakbola, hingga politisasi pertandingan olahraga internasional pasca Perang Dunia ke-2, mampu untuk mengkonfrontasi pemerintahan nasional dan mempertahankan otonominya untuk meregulasi sepak bola yang sesuai dengan 25 pasal rekomendasi aksi yang terbit pada 2016 yakni “For the game. For The World”FIFA for Human Right’.
ADVERTISEMENT
Saat ini sudah lebih dari satu dekade pasca penetapan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia ke-22 namun upaya pemenuhan & perlindungan hak pekerja migran masih belum menemui titik terang. Upaya perumusan kebijakan dilakukan oleh Qatar selaku tuan rumah penyelenggara & FIFA selaku pemberi mandat masih belum diimplementasikan secara maksimal. Pagelaran ini masih menjadi sorotan berbagai organisasi internasional seperti ILO, Amnesty International hingga Human Right Watch.
Protes terhadap kondisi ini mulai masuk ke lapangan hijau. Tim Nasional Jerman, Norwegia, hingga Belanda melayangkan protes dengan menggunakan atribut yang terkait dengan kampanye pemenuhan hak asasi manusia sebelum pertandingan untuk menunjukkan solidaritas mereka. Para staf dan pemain juga turut menyampaikan pendapatnya seperti pelatih Tim Nasional Belgia Roberto Martinez dan pemain Tim Nasional Jerman Leon Goretzka & Joshua Kimmich.
ADVERTISEMENT
Piala Dunia 2022 boleh jadi pagelaran olahraga yang akan mendapat banyak perhatian dari beragam aspek. Perkembangan teknologi pendukung, waktu pelaksanaan pertandingan yang terkait dengan kondisi iklim dan cuaca, hingga mungkin akan menjadi Piala Dunia terakhir bagi legenda macam Cristano Ronaldo dan Lionel Messi yang sudah mulai memasuki akhir usia produktifnya sebagai atlet. Namun demikian perayaan kita akan semarak kontestasi internasional ini tidak boleh luput pada nasib buruk yang menimpa para pekerja migran yang mendapatkan berbagai diskriminasi dan pelanggaran haknya.