Sepekan lalu, publik dihebohkan dengan penculikan dan pembunuhan seorang anak 11 tahun di Makassar. Mirisnya, pelaku kemudian diketahui adalah dua orang pelajar berusia 18 dan 17 tahun. Keduanya melakukan pembunuhan sebab tergiur dengan harga jual organ manusia senilai jutaan dolar di aplikasi Yandex. Usai melakukan kejahatan, kedua pelaku kebingungan mesti ke mana menjual ginjal maupun cara melakukan transaksinya. Pada akhirnya, keduanya memutuskan untuk mengubur jasad korban.
Sebagian orang menuntut agar pelaku dijatuhi hukuman berat layaknya orang dewasa, terlepas dari status mereka sebagai anak-anak yang peradilannya diatur secara spesifik dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Ada yang melihat kasus ini sebagai cerminan permasalahan ekonomi masyarakat, sementara yang lain menilainya sebagai dampak tidak langsung dari kualitas pendidikan yang belum merata.
Untuk melengkapi diskursus atas kasus ini, saya berusaha mencari benang merah dari kejahatan dan penyimpangan yang kerap dilakukan anak-anak. Secara umum, dalam perspektif kriminologi, anak-anak yang melakukan kejahatan sejatinya juga harus dipandang sebagai korban, bukan sekadar pelaku. Anak-anak sering kali dianggap menjadi pihak yang dependen terhadap ikatan sosial di sekitarnya, mulai dari keluarga, sekolah (lembaga pendidikan), serta aturan hukum dan moral. Kejahatan (crime) maupun penyimpangan (deviance) yang dilakukan anak-anak lebih dianggap sebagai kenakalan (delinquency) yang masih dapat berubah atau lebih tepatnya dibimbing ke arah lebih baik sebelum mencapai dewasa.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814