Chairil Anwar: Melintasi Zaman dengan Puisi

Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2022.
Konten dari Pengguna
7 Agustus 2023 6:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ridwan Tri Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi orang yang ingin menulis puisi (https://pixabay.com/id/photos/buku-catatan-kacamata-bepergian-1130743/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi orang yang ingin menulis puisi (https://pixabay.com/id/photos/buku-catatan-kacamata-bepergian-1130743/)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berbicara perpuisian di Indonesia, rasanya kurang kalau tidak menyebut nama Chairil Anwar. H. B. Jassin yang dikenal sebagai "Paus" Sastra Indonesia saja memberkatinya sebagai “Pelopor Angkatan '45” lewat bukunya yang berjudul Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45.
ADVERTISEMENT
Dibalik kekhilafan Chairil mengenai plagiarisme--yang merupakan kejahatan yang luar biasa, H. B. Jassin mengatakan bahwa lepas dari soal itu, Chairil dianggap sebagai penejermah yang berjasa untuk memperbaharui perpuisian di Indonesia.
Chairil Anwar dikenal masyarakat sebagai ”Binatang Jalang” karena puisi yang berjudul Aku merupakan salah satu puisi yang fenomenal di Indonesia. Apalagi, ditambah hits film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) di tahun 2002, karena tokoh dalam film tersebut, Rangga membaca buku yang berjudul Aku karya Sjuman Djaya.
Selain puisi Aku, ada beberapa puisi Chairil Anwar yang biasa dikenal masyarakat dengan semangat vitalis (api) seperti Diponegoro, Persetujuan Dengan Bung Karno, atau puisi sadurannya yang berjudul Krawang-Bekasi.
Tidak mengherankan, jika masyarakat--bahkan mereka yang berkecimpung di dunia sastra-- sering membedakan-bedakan Chairil (dan kawan-kawan ”Angkatan ’45”) dengan Sutan Takdir Alisjahbana (dan kawan-kawannya ”Pujangga Baru”) sebagai dua kutub yang berlainan. Kalau ”Angkatan ’45” penuh vitalis perjuangan, kalau ”Pujangga Baru” cengeng.
Menurut Ajip Rosidi dalam buku Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir, perbandingan di atas sangat meragukan sekali. Menurutnya, memang banyak perbedaan Chairil dan Sutan, tetapi perbedaannya hanya dalam hal pokok (segi bentuk), mereka berdua sama-sama menghadap Barat. Hanya saja, Chairil lebih luas memandang Barat daripada Sutan yang masih melalui jendela Belanda.
ADVERTISEMENT
Ajip mengibaratkan Sutan harus mengucapkan nawaitu (niat) dahulu sebelum melangkah ke dunia Barat dan mesti harus sadar menanggalkan Timur yang dianggapnya serba statis, namun pada Chairil tidak ada lagi keraguan. Chairil sudah dengan sendirinya hidup di dunia yang oleh Sutan disebut Barat.
Lalu, Ajip menjelaskan bahwa pada dasarnya Chairil seorang yang romantis. Puisi-puisinya yang romantis lebih berhasil daripada puisi-puisinya yang penuh teriakan-teriakan. Menurutnya, puisi Chairil yang paling indah adalah yang berjudul Senja di Pelabuhan Kecil, Cintaku Jauh di Pulau, dan Cerita Buat Dien Tamaela.
Mengutip tulisan Nirwan Dewanto dalam pengantar buku Aku Ini Bintang Jalang Koleksi Sajak 1942-1949/Chairil Anwar editor Pamusuk Eneste, juga menyepakati bahwa puisi Senja di Pelabuhan Kecil tidak pernah ditulis oleh seseorang yang tidak punya visi dan hormat terhadap bentuk syair atau pantun.
ADVERTISEMENT
Menurut Nirwan, Chairil meradikalkan bentuk syair yang sudah dibikin modern oleh Amir Hamzah, penyair ”Pujangga Baru” yang karyanya pernah dikatakan Chairil sebagai destruktif untuk bahasa lama, tapi sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru.
Chairil tahu bahwa kekuatan kata yang dicita-citakan Amir tidak akan muncul cemerlang jika si penyair bertahan pada kesempurnaan kalimat dan larik puisi.
Nirwan mengumpamakannya dengan seni lukis: Amir masih menggambar pemandangan molek rupa di mana ruang masih tunggal-menerus, Chairil melukis ruang yang terpecah-pecah (seperti dalam pascaimpresionisme). Jika pada lukisan Amir kita terpaku akan keseluruhan tamasya, pada lukisan Chairil kita memperhatikan garis, warna, bidang.
Selanjutnya Nirwan menjelaskan bahwa kuatrin-kuatrin Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohammad berhutang kepada puisi Chairil seperti Senja di Pelabuhan Kecil dan Derai-Derai Cemara.
ADVERTISEMENT
Jejak-jejak Chairil juga tampak pada para penyair yang tak terpengaruh olehnya, atau yang mengambilnya sebagai anti-tesis. W. S. Rendra menulis puisi balada sebagai alternatif terhadap puisi Chairil dan para epigonnya, akan tetapi tampaklah bahwa puisi-puisi Rendra juga sering bergantung kepada frase-frase mengambang ala Chairil.
Kita bisa melihat puisi Charil seperti Selama Bulan Menyinari Dadanya dan Mirat Muda, Chairil Muda. Tidak berhenti di situ, puisi-puisi Afrizal Malna juga berhutang dari puisi-puisi Chairil seperti Aku Berkisar Antara Mereka dan Buat Gadis Rasid.
Sutardji yang mengatakan puisinya kembali kepada mantra, tetapi nyatanya Chairil Anwar sudah jauh lebih dulu menulis mantra modern seperti Cerita Buat Dien Tamaela—tentu sebelumnya ada Batu Belah karya Amir Hamzah).
ADVERTISEMENT
Menempatkan Chairil hanya sebagai pembaharu-pendobrak memang layak dilakukan oleh seseorang yang menggemari klise dan nostalgia. Kalau hanya sekadar pembaharu, karya mereka hanya hidup untuk zamannya sendiri: mereka hanya melahirkan mode bagi generasinya, yang cepat menjadi kadaluarsa; mereka segera menjadi bagian masa lampau jika kita memandangnya dari arah zaman kita.
Namun, tidak demikian halnya dengan Chairil. Puisi-puisinya menyediakan dasar bagi penulisan puisi sampai hari ini. Atau, dalam puisi-puisi terbaik di Indonesia; kita selalu dapat menemukan jejak-jejak Chairil.