Kontemplasi Malam Jumat tentang Hidup, Tuhan, Wanita, dan Kebahagiaan

Muhammad Rifqi Musyaffa
Mahasiswa kedokteran Universitas Palangka Raya
Konten dari Pengguna
17 November 2021 18:55 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rifqi Musyaffa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar pribadi saat acara ROHIS di SMA
zoom-in-whitePerbesar
Gambar pribadi saat acara ROHIS di SMA
ADVERTISEMENT
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang tercakup di dalam beberapa persoalan-persoalan. Filsafat juga setidaknya mempertanyakan 4 hal, yakni
ADVERTISEMENT
Begitulah menurut Immanuel Kant
Sebelum membaca isi tulisan ini, marilah kita kupas dahulu makna dari tiap kata pada judul di atas :
ADVERTISEMENT

Mari kita mulai!

Saat mengaji Yasin malam Jumat beberapa waktu lalu, Alquranku terbuka di genggaman tangan, tatapanku mengarah ke tembok atas 45 derajat, tetapi mulutku melantunkan ayat-ayat, dan pikiranku memikirkan filosofi dunia dan kepalsuan. Entah, saat itu aku sedang berfilsafat atau hanya memikirkan Tuhan dan segala ciptaan-Nya dengan ngawur.
Pada waktu itu aku menertawakan diriku sendiri dalam pikiranku. Kenapa aku harus hidup di dunia yang ini, di planet bernama bumi, planet ketiga terdekat dari matahari yang berada di galaksi bima sakti? Apakah tidak ada lagi dunia yang Tuhan ciptakan selain dunia yang kita ketahui dan kita tinggali ini? Mungkinkah ada alam semesta lain yang Tuhan ciptakan dan tidak Dia beritahukan kepadaku? Sama seperti mahasiswa labil yang merasa salah jurusan rasa-rasanya saat ini aku merasa salah dunia di dunia ini. Aku merasa begitu kerdil, bodoh tetapi sombong, dan itulah yang aku tertawakan.
ADVERTISEMENT
Seorang teman yang belajar di Kairo mengatakan kepadaku bahwa kesombongan itu bisa dibenarkan sebatas untuk melawan kesombongan lain dan untuk menghilangkan keragu-raguan pada diri sendiri.
Jujur, saatku merasa spiritless, hopeless, insecure, dan berusaha dikerdilkan oleh orang lain pikiranku selalu berusaha melawan. Melawan dengan kesombongan, melawan dengan memori-memori dalam amigdala dan hippocampus-ku tentang apa yang aku bisa lakukan tetapi orang lain tidak bisa melakukannya. Kesombonganku bukan terletak pada harta ataupun uang karena aku sendiri ragu pada sistem uang, sosial ekonomi, dan perbankan yang ada saat ini. Seolah-olah sistem ini diciptakan hanya untuk memunculkan entitas-entitas tertentu saja yang akan berkuasa sedangkan entitas lainnya yang pada hakikatnya dikuasai, ditindas dan dijajah, tetapi tidak merasa dikuasai.
ADVERTISEMENT
Seandainya Sistem Bretton Woods tidak pernah ada, mungkin juga hutang RI saat ini tidak akan pernah sebesar ini, mungkin saja negara-negara barat tidak akan sekaya sekarang. Seandainya Perjanjian Wespalia tidak pernah terjadi, mungkin saja tidak pernah ada yang namanya negara—entitas yang menyebalkan. Ketika negara berdiri dan merdeka mereka akan membuat warganya kehilangan kemerdekaan karena sekarang untuk bebas sebebas-bebasnya yang dilawan adalah kebijakan yang legitimate bukan lagi musuh yang berbentuk orang yang bisa dihancurkan.
Balik lagi ke perenungan awal, saat aku merasa inferior perlawanan kesombongan dalam benakku adalah kesombongan yang berupa mind, thought dan pengalaman. Terkadang untuk meyakinkan diriku ini bisa dan tidak bodoh-bodoh amat, justifikasi dariku mengatakan bahwa orang bodoh tidak akan masuk kuliah di kampus terbaik di Indonesia, sekaligus lolos dalam seleksi masuk di jurusan soshum dengan peminat terbanyak di Indonesia, sekaligus lolos dalam seleksi masuk di jurusan saintek dengan peminat terbanyak di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ke-insecure-an ku dalam fisik selalu kulawan dengan justifikasi "setidaknya aku bisa lebih cerdas dari mereka yang good looking, dan lebih good looking dari mereka yang cerdas." Dalam hal pengalaman misalnya, ketika merasa insecure, justifikasiku mengatakan memangnya pengalaman ku ini lebih buruk dari mereka ?
Padahal dalam organisasi, baik dari tingkat sekolah maupun sampai tingkat nasional pernah aku ikuti. Aku pernah menjadi orang yang paling introvert dan menjadi orang yang paling ekstrovert hanya untuk sebuah eksperimen. Aku pernah hanya punya diriku sendiri sebagai temanku, pernah juga punya 1000 orang lebih kawan yang siap membantuku setiap saat. Aku pernah menjadi orang terbodoh di kelasku dan aku juga pernah menjadi orang tercerdas di kelasku. Aku pernah menjadi orang yang paling apatis, pernah juga jadi orang yang paling empatis. Aku pernah jadi orang yang paling penakut dan pemalu tetapi aku juga pernah menjadi orang yang paling berani. Aku pernah menjadi senior yang menyebalkan dan aku juga pernah menjadi senior yang bijaksana. Aku pernah menjadi junior yang penurut dan aku juga pernah menjadi junior yang pemberontak. Aku pernah jadi preman kelas, juga pernah jadi cupu. Pernah jadi trend setter pernah juga omonganku hanya dianggap kentut. Aku pernah mempermalukan orang didepan umum dan aku juga pernah dipermalukan orang di depan umum. Aku pernah merendahkan orang lain dan aku juga pernah direndahkan orang. Aku pernah menjadi orang yang paling licik dan pernah menjadi orang yang paling naif. Aku pernah dating dan berpacaran dengan banyak wanita dan aku juga pernah setia hanya pada 1 orang wanita. Aku pernah menjadi orang yang berusaha menyenangkan semua orang dan juga pernah menjadi orang yang egois, hanya untuk menyenangkan diriku sendiri. Aku pernah melakukan hal-hal lain yang baik dan aku juga pernah melakukan hal-hal lain yang buruk. Kemudian, aku pernah menjadi orang yang paling rendah hati dan juga pernah menjadi orang yang paling sombong.
Ilustrasi : Gambar pribadi saat memberikan pidato perwakilan siswa saat acara Pelepasan SMA
Setelah justifikasi itu selesai aku pikirkan, tiba-tiba terlintas dalam pikiranku bahwa setelah melalui pengalaman pengalaman yang selama ini aku rasakan lalu untuk apa lagi aku melanjutkan hidup ? Untuk apa lagi tiap hari aku bangun pagi menghirup udara segar pagi hari, menyapa keluargaku, dan membuka WA menge-chat pacarku ? Untuk apa lagi aku mengejar sesuatu yang tak pasti akan aku terima di masa depan ? Bisa jadi aku menghadap Tuhan sebelum cita-citaku tercapai. Lantas apa gunanya aku mati-matian berambisi dan mengorbankan masa sekarang untuk masa depan yang tak pasti ? Percuma cumlaude tetapi ketika lulus mentalku bangsat. Percuma nilai ujian gede jika sebelum wisuda aku meninggal.
ADVERTISEMENT
Rasanya bosan juga hidup di dunia yang ini-ini aja, berita tiap pagi jika bukan korupsi ya kebodohan-kebodohan selebriti, sedikit bahagia jika CR7 bisa menang. Ingin mencoba merasakan mati tetapi orang mati pastinya tidak akan sadar, jadi tidak bisa merasakan apa-apa (?) Ingin mencoba mati tetapi mati tidak bisa coba-coba, sekali mati tidak bisa balik lagi seperti sebelumnya. Ingin mencoba mati tetapi sadar pahala-pahala ibadadahku di dunia masih sedikit, ibaratnya jika mati sekarang seperti mau korupsi tetapi persiapan belum ada, partai tidak punya, pejabat bukan, kerjaan tidak ada, apa yang mau dikorupsinya coba ? paling tetap saja hidup sengsara hahaha.

Kebahagiaan dan Tuhan

Sekarang aku hanya mencoba menikmati hari ini, berbahagia dengan keadaan dan kemampuanku saat ini, berdamai dengan segala kekurangan di duniaku saat ini, bersenang-senang dengan kekonyolan dunia yang menggelikan ini, masa depan sudah diatur Tuhan. Aku tak takut akan menjadi apa di masa depan karena aku yakin Tuhan sudah mengaturnya dengan baik, walaupun mungkin nanti aku akan merasa bahwa apa yang Tuhan atur tidak membuatku puas, kemudian kembali lagi aku akan menobatkan pikiranku dan yakin bahwa selama ini Tuhan telah memberikan yang baik padaku.
ADVERTISEMENT
Setelah menulis ini aku merasa diriku ini agak aneh. Aku merasa seperti orang gila, tetapi memang orang gila yang mana yang nulis sepanjang ini untuk dipublikasikan di Kumparan ? BTW, menurutku Nietzsche itu tidak pernah gila, hanya saja dunia yang tidak bisa memahaminya. Socrates tidak pernah merusak moral pemuda, hanya saja moralitas yang ada yang dipelihara oleh para sofis memang telah lebih dahulu menghancurkan moralitas Athena.
Setelah menulis ini aku merasa bahwa di dunia yang kutinggali ini ibarat game atau film aku lah yang jadi centerpoint, aku lah yang jadi lakon utama dan Tuhan adalah entitas yang memainkan diriku.
Aku kira, sekarang ini aku hanya sedang duduk di samping Tuhan dalam keadaan mata terpejam, membayangkan dunia yang kutinggali ini dan bertanya apakah laptop yang aku lihat sekarang ini asli atau hanya imajinasi dalam pikiranku saja? Apakah kumpulan alfabet ini nyata sebagai alat komunikasi atau hanya imajiner hasil pikiranku saja? Apakah keluargaku saat ini nyata ataukah mereka itu hanya entitas maya dalam pikiranku saja? Apakah pacar yang selama ini aku sayangi itu benar-benar ada ataukah hanya imajiner dalam pikiranku saja? Apakah dunia dan segala kepalsuannya ini benar-benar ada ataukah hanya pikiranku saja yang membayangkan mereka ada? Apakah sebenarnya di dunia ini yang nyata dan benar-benar ada itu hanya aku seorang ataukah mereka yang aku lihat, dengar, dan aku rasakan juga benar adanya sebagai entitas yang mempunyai eksistensi? Apakah diriku ini benar benar ada di dunia? Ataukah aku ini hanya manifestasi dari pikiran Tuhan saja?
ADVERTISEMENT
Ah sudahlah. Entahlah, apakah yang aku tuliskan barusan itu adalah pikiran yang baik ataukah pikiran yang buruk. Entahlah, aku memohon ampun kepada Tuhan bilamana tulisanku barusan banyak juga yang dipengaruhi oleh setan-setan durjana.
Alhamdulillah ala kulli hal