Konten dari Pengguna

Hubungan Invasi Israel ke Rafah dengan Pelabuhan Terapung Amerika

Muhammad Syarief
Pegiat dan Pemerhati Permasalahan Palestina
12 Mei 2024 11:51 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Syarief tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Asap yang membumbung tinggi akibat bombardir Israel ke Rafah di selatan Jalur Gaza, Senin (6/5/2024). (REUTERS/Hatem Khaled)
zoom-in-whitePerbesar
Asap yang membumbung tinggi akibat bombardir Israel ke Rafah di selatan Jalur Gaza, Senin (6/5/2024). (REUTERS/Hatem Khaled)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat perundingan gencatan senjata sedang berlangsung, Israel nekat menginvasi timur Rafah, provinsi selatan di Jalur Gaza, Palestina, pada Selasa (7/5) pagi. Israel begitu ngotot melancarkan serangan, karena khawatir hasil perundingan berujung gencatan senjata, sehingga menggagalkan agendanya untuk menduduki Rafah.
ADVERTISEMENT
Rafah sendiri bagi PM Israel Netanyahu tak ubahnya kunci kemenangan. Karena selama 7 bulan perang berlangsung, empat provinsi telah diinvasi, namun Israel belum juga dapat memenangkan pertempuran.
Tak seorang sandera pun yang berhasil mereka bebaskan. Dan Hamas beserta faksi pejuang lainnya masih memiliki kemampuan melakukan perlawanan. Karenanya Israel berkesimpulan, menguasai Rafah sebagai provinsi terakhir di Jalur Gaza, adalah “ikhtiar” terakhir untuk memunculkan simbol kemenangan.
Adapun terkait dengan perundingan gencatan senjata, Israel sengaja adu kuat dengan Hamas dalam mengajukan syarat. Sehingga perundingan yang melibatkan Amerika, Qatar dan Mesir di Kairo ini berakhir gagal pada Kamis (9/5) kemarin.
Bagi pemerintahan Netanyahu, apabila perang dihentikan maka kabinetnya akan terancam. Karena sekutu Ultranasionalis dan konservatif di pemerintahannya akan mundur dari koalisi begitu kesepakatan gencatan senjata ditandatangani. Bagi mereka, itu sama artinya mengibarkan "bendera putih" kepada Hamas.
ADVERTISEMENT
Apa yang dicari Israel di Rafah?
Selama ini Israel sedang mencari persembunyian para petinggi Hamas, Israel meyakini mereka bersembunyi di Rafah. Ketiga tokoh yang menjadi target utama Israel adalah Pimpinan Hamas di Jalur Gaza Yahya Sinwar, Panglima Sayap Militer Hamas Izzuddin Al-Qassam Muhammad Deif dan Jubir Brigade Izzuddin Al-Qassam Abu Ubaidah. Pencariannya dibantu oleh para intelijen Amerika Serikat.
Namun memasuki hari keempat dari serangan darat Israel ke timur kota Rafah, Sabtu (11/5) sumber media Israel melansir dari pihak intelijen Israel, Yahya Sinwar tidak berada di Rafah. Kemungkinan ia bersembunyi di terowongan bawah tanah di Khan Yunis, yang berjarak 8 km. dari timur kota Rafah.
Disamping memburu para petinggi Hamas, Israel juga berambisi membebaskan para sandera secara langsung. Karena selama ini, para sandera bebas melalui meja perundingan melalui pertukaran tawanan, bukan dari operasi militer yang selama ini digadang-gadangkan Israel.
ADVERTISEMENT
Israel berharap serangan ke Rafah dapat menumpas Hamas hingga ke akar-akarnya. Sehingga Israel dapat hidup tenang, tidak lagi mendapat serangan roket dari Jalur Gaza. Namun fakta hingga hari ke 218, Sabtu (11/5) para pejuang Palestina masih menghujani wilayah Israel dengan roket, dan itu ditembakkan dari lokasi yang selama ini diklaim telah dikontrol Israel.
Penyeberangan Rafah Paska Jatuh ke Tangan Israel
Selama ini Israel berkesimpulan, setelah 200 hari lebih pertempuran terjadi dan pejuang Palestina masih kuat melawan, kemungkinan besar ada suplai senjata yang masuk dari terowongan bawah tanah melalui Mesir. Alasan ini yang membuat Netanyahu ngotot ingin menduduki zona penyangga Philadelphia, "tanah tak bertuan" yang terletak antara Gaza-Mesir. Zona penyangga demiliterisasai dengan panjang 14 km ini, yang dalam serangan ke Rafah beberapa hari lalu turut dimasuki oleh Israel, sehingga menuai peringatan keras dari pihak Mesir.
ADVERTISEMENT
Sebelum operasi darat dilancarkan Israel ke Rafah, sudah tersebar seleberan berisi perintah mengungsi kepada mereka yang berada di timur Rafah untuk berpindah ke Al-Mawasi, bagian tengah Jalur Gaza. Sekitar 110.000 orang kabarnya sudah direlokasi ke wilayah tersebut.
Perlu diketahui, Rafah yang merupakan provinsi paling selatan dari Jalur Gaza, sebelum perang meletus, jumlah warganya sebanyak 275.000 jiwa. Namun setelah Israel melancarkan serangan brutalnya ke utara Jalur Gaza dan mengusir penduduknya ke Selatan, Rafah kini dihuni oleh 1,5 juta jiwa. Kondisi inilah yang dikhawatirkan banyak pihak, serangan Israel ke Rafah akan menimbulkan tragedi kemanusiaan yang jauh memilukan.
Terbukti setelah Israel menguasai penyeberangan Rafah, kontainer bantuan kemanusiaan dilarang masuk, lalu lintas orang terhenti. Penyeberangan darat Rafah dan Karem Abu Salim ditutup. Mereka yang dijadwalkan ke luar Jalur Gaza untuk mendapatkan perawatan di Rumah Sakit di Kairo akhirnya tidak dapat keluar, kini meregang nyawa di penyeberangan Rafah.
ADVERTISEMENT
Pada saat bersamaan Rumah Sakit di timur Rafah dipaksa untuk dikosongkan. Tak terbayangkan, bagaimana nasib para pasien yang merupakan korban luka dari serangan Israel harus hidup di luar Rumah Sakit tanpa ada perawatan.
Merasa sukses menguasai bagian timur Rafah, Israel melalui kabinet perangnya sepakat memperluas operasi militernya di bukan hanya di timur, tapi kini bergerak ke bagian tengah Rafah. Hal ini akan mendorong lebih banyak lagi pengungsi yang direlokasi keluar Rafah, bukan hanya mendorong ke bagian tengah, tapi tidak menutup kemungkinan hingga ke utara Jalur Gaza.
Pelabuhan Terapung Hampir Rampung
Saat ini Amerika sudah merampungkan pelabuhan terapung yang dikerjakan selama dua bulan dengan pengawalan Israel. Sesuai janji Amerika, pembangunan pelabuhan terapung yang mengerahkan 1.000 personil Angkatan Laut AS dengan beaya 320 juta dolar AS atau setara Rp 5,2 triliun ini selesai dalam waktu 60 hari.
ADVERTISEMENT
Sejak awal Amerika selalu berkoa-koar ide pembangunan pelabuhan terapung untuk memudahkan dan memperbanyak jumlah bantuan yang masuk. Rutenya, dari pulau Siprus, kapal-kapal besar yang membawa bantuan lebih dulu diperiksa oleh pihak Israel di sana.
Setelah mendapatkan izin Israel, kapal dipersilahkan berlayar menuju pelabuhan terapung di lepas pantai Gaza. Kemudian ditransfer ke kapal yang lebih kecil, untuk selanjutnya bergerak menuju dermaga yang berjarak 550 m. dari bibir pantai. Lalu bantuan didistribusikan melalui darat. Lokasi pantai berada di Badr, tak jauh dari Koredor Netzarim, jalur yang membelah wilayah utara dan selatan Jalur Gaza.
Apakah benar pelabuhan terapung ini murni hanya untuk menyalurkan bantuan? Sebenarnya, sejak awal dibangun, pelabuhan terapung ini banyak mengundang kecurigaan. Seperti, siapa pengontrol dari pelabuhan tersebut setelah resmi beroperasi?
ADVERTISEMENT
Faktanya di lapangan, Amerika lah yang menggagas sekaligus menuntaskan pembangunannya, didukung dengan pengkondisian yang dilakukan oleh Israel. Seperti pengambilan puing-puing bangunan dari gedung atau rumah warga yang hancur lebur dibom Israel dan persiapan areal pelabuhan semuanya disiapkan Israel. Sulit menyimpulkan pelabuhan terapung ini dibangun murni atas nama kemanusiaan. Karena PBB sebagai lembaga yang netral atas nama kemanusiaan tidak dilibatkan.
Pondasi dari pelabuhan ini pun mengundang banyak kritikan, pasalnya puing yang digunakan sebagai pondasi, berasal dari bangunan yang masih menimbun banyak jasad para korban serangan Israel. Sumber Kesehatan Palestina sedikitnya 10.000 jiwa korban serangan Israel tertimbun di bawah reruntuhan. Bahkan seharusnya, kalau benar mengatasnamakan kemanusiaan, truk dan buldozzer yang didatangkan digunakan untuk menyelamatkan nyawa korban yang tertimbun bangunan, bukan justru memanfaatkannya hanya demi kepentingan pembanguan pelabuhan terapung. Tak salah apabila pihak Palestina menyebutnya sebagai pelabuhan berdarah, karena dibangun di atas jasad para korban kejahatan Israel. Atau juga pelabuhan pendudukan, karena kepentingan menjajahnya lebih kental ketimbang menyelamatkan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran Pelabuhan Gerbang Migrasi ke Eropa
Ada kecurigaan, pelabuhan ini hanya menjadikan payung bantuan kemanusiaan, sebagai upaya mengosongkan Jalur Gaza. Karena apabila alasan memperbanyak bantuan untuk masuk, faktanya Jalur Laut ini hanya mampu memasukkan 90 -150 kontainer perhari, ini jauh dari kemampuan penyeberangan jalur darat di Rafah, yang sebelum perang terjadi dapat memasukkan 500 kontainer.
Tentu bukan sebuah kebetulan, invasi Israel ke Rafah hingga mendorong warga Jalur Gaza ke utara mendekati pelabuhan terapung, dapat berujung kepada pengusiran secara suka rela melalui jalur laut. Jalur Gaza yang dibuat menjadi kota mati memaksa warganya tak memiliki opsi selain mencari lokasi lain demi hidup yang lebih baik. Migrasi suka rela melalui pelabuhan terapung bisa menjadi gerbang mereka keluar Jalur Gaza menuju Eropa.
ADVERTISEMENT
Rencana ini bisa dimulai dengan mengosongkan wilayah utara Jalur Gaza, yang sudah dipisah dengan Koridor Netzarim. Karena akan digunakan oleh kelompok sayap kanan dan konservatif Israel untuk membangun pemukiman ilegal Yahudi di sana.
Mungkin langkah “migrasi suka rela” melalui pelabuhan terapung ini tidak akan diambil, seandainya Mesir membukakan pintunnya untuk warga Palestina, sehingga relokasi akan mudah sesuai yang diinginkan Israel. Tapi Mesir dan negara Arab lainnya menolak hal itu, karena sama artinya membersihkan orang Palestina dari tanah Palestina. Dan secara ekonomi, Mesir harus menanggung hidup 2,3 juta warga Jalur Gaza di atas tanahnya, tentu itu hal buruk bagi Mesir di tengah krisis ekonomi yang sedang melanda.