Polemik Vaksin Nusantara: Tontonan Kebodohan dan Kebohongan oleh Terawan

Zainal-Muttaqin
Ahli bedah saraf, Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip.
Konten dari Pengguna
18 April 2021 13:16 WIB
comment
86
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zainal-Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Terawan suntikkan vaksin Nusantara ke Aburizal Bakrie di RSPAD, Jumat (16/4). Foto: Lalu Mara
zoom-in-whitePerbesar
Terawan suntikkan vaksin Nusantara ke Aburizal Bakrie di RSPAD, Jumat (16/4). Foto: Lalu Mara
ADVERTISEMENT
Ketika kita berada dalam masa penuh bahaya, keadaan darurat terkait fenomena alam dan wabah penyakit seperti masa menghadapi wabah COVID-19 saat ini, sumber kebenaran yang paling valid dan paling bisa diterima oleh siapa pun adalah dengan sains.
ADVERTISEMENT
Dengan berdasar sains kita menjadi tahu apa yang terjadi dan apa yang mesti dilakukan. Sains adalah bagian integral dari resiliensi manusia menghadapi bencana ( Sulfikar Amir, Kompas 26 Agustus 2020).
Dalam sains, ada prosedur baku dan metodologi yang empiris, nalar, dan teruji. Terkait riset dan penelitian, data dan prosedur harus bersifat terbuka dan transparan agar dapat diverifikasi oleh komunitas ilmuwan lain yang independen melalui publikasi yang "peer reviewed" (telaah oleh sejawat) tanpa adanya potensi konflik kepentingan dalam penilaiannya.
Musuh sains yang terselubung dan berbahaya adalah orang-orang yang mengaku melakukan riset sains tetapi memanipulasi hasil penelitian. Pihak ini lalu menyembunyikan proses dan hasil analisa yang sejak semula memang tidak transparan lanjut dengan klaim-klaim dahsyat seolah temuan-temuan nya valid dan mencari validasi-validasi lain yang sarat dengan kepentingan pembenarannya itu. Pseudosains.
ADVERTISEMENT
Ekosistem riset dan pengembangan keilmuan, di dalam maupun di luar institusi kampus, harus dihargai dan dilindungi serta bebas dari kepentingan dan tekanan politik dari pejabat di pemerintahan, DPR, klaim dan pernyataan bombastis tanpa bukti yang hanya berdasarkan persepsi dan testimoni pribadi dari para tokoh masyarakat. Contoh paling kini adalah beberapa tulisan dari Bapak Dahlan Iskan yang beredar mengenai Vaksin Nusantara.
Pengembangan obat dan vaksin adalah sebuah proses yang memiliki regulasi paling ketat di dunia, karena berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan umat manusia. Karena secara pengertian, vaksin adalah zat asing yang di masukkan ke dalam tubuh orang yang masih "sehat" dengan tujuan menghasilkan kekebalan untuk penyakit tertentu.
Dan segala sesuatu yang berkaitan dengan "kesehatan" manusia ini terikat erat dengan konteks etika kedokteran. Terkait dengan hal ini, maka untuk pengembangan vaksin ada proses dan prosedur baku yang harus diikuti termasuk tahapan uji pra-klinis dan uji klinis fase I,II, dan III. Dan dalam regulasi ini, terdapat konsensus level dunia yang menjadi standar etika dalam Deklarasi Helsinki tentang: Ethical Principles for Medical Research involving Human Subjects.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah sebuah institusi yang legal dan independen yang memiliki otoritas resmi, bertugas memastikan bahwa sebuah produk baru benar-benar telah memenuhi persyaratan dan prosedur baku sains, serta standar etika dalam proses pengembangannya sesuai dengan Deklarasi Helsinki.
Hal ini termasuk persetujuan komite etik di tempat pelaksanaan uji klinis, guna menjamin perlindungan dan keselamatan subjek penelitian. BPOM yang bekerja atas dasar kaidah dan prosedur baku sains ini memiliki tugas penting untuk melindungi bangsa ini dari peredaran obat yang tidak jelas asal muasal dan prosesnya dan manfaatnya, yang berpotensi membahayakan konsumen.
Semua komunitas sains, termasuk di dunia akademik/kampus menghormati, mendukung, dan menjunjung tinggi kewenangan dan keputusan BPOM. Dalam hal ini selama ini integritas BPOM masih terjaga, juga memang terbukti melaksanakan tugas dan kewajibannya termasuk transparansi dari penilaian dan keputusan-keputusan yang dipilih.
ADVERTISEMENT
Masyarakat luas harus tahu bahwa tidak ada atau belum ada vaksin yang bernama Vaksin Nusantara. Yang ada adalah "riset" calon vaksin (semula diberi nama vaksin Joglosemar) yang dimotori oleh mantan menteri kesehatan Terawan, yang data tentang studi pra-klinis nya tidak bisa di akses oleh siapa pun (atau bisa saja memang tidak pernah dilakukan, lalu ujug-ujug muncul hasil uji klinis fase I , itu pun datanya bukan pada jurnal/publikasi ilmiah, tapi pada konferensi pers Terawan di Lobi RS Dr Kariadi, akhir Februari lalu yang berdurasi hanya sekian menit saja).
Berdasarkan evaluasi terhadap data uji klinis fase 1 yangdipresentasikan oleh tim peneliti (setelah pertemuan BPOM dengan tim peneliti yang dihadiri oleh Komnas Penilai Obat dan Tim dari ITAGI pada tg 16 Maret lalu), hasilnya jelas-jelas ditolak oleh BPOM. Penolakan tersebut salah satunya karena standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang tidak dipenuhi dengan rincian permasalahan pada profil subjek penelitian yang tidak jelas yang seharusnya naif atau belum pernah terpapar antigen COVID-19, selain itu juga hasil vaksin yang tidak teruji sterilitasnya, serta tidak dilakukan juga uji penjaminan mutu dan keamanan produk.
ADVERTISEMENT
Ke Zsemua poin yang menjadi hasil penilaian BPOM ini juga diumumkan secara transparan ke pihak tim peneliti Vaksin Nusantara dan juga ke publik. Indikator-indikator yang di pakai oleh BPOM ini jelas berdasarkan dasar keilmuan bukan mengada-ada supaya riset vaksin nusantara ini gagal. Permintaan selanjutnya dari BPOM pada peneliti untuk menyerahkan laporan tentang studi terhadap toksisitas/bahaya dan imunogenisitas/manfaat untuk setiap dosis vaksin, yang sampai saat ini tidak pernah dipenuhi.
Perlu diketahui pula bahwa Komite Etik di RS Dr Kariadi, tempat dilakukannya uji klinis fase I ini tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan tentang riset ini, dan hal ini pun adalah pelanggaran terhadap Deklarasi Helsinki tentang riset pada subjek manusia dan bisa di bawa ke ranah hukum.
ADVERTISEMENT
Alih-alih melakukan upaya perbaikan dan pemenuhan semua persyaratan BPOM terkait CPOB, Terawan dengan segala ambisi pribadinya yang cenderung selalu antisains, malah mencari dukungan dari para politikus, pejabat dan mantan pejabat publik sampai tokoh-tokoh masyarakat yang juga antisains, melanjutkan uji klinis fase II di RSPAD secara liar karena belum ada ijin BPOM.
Dan beliau juga berhasil membuat isu bahwa BPOM seolah menghalangi riset Vaksin Nusantara dan menghalangi-halangi kemajuan pengembangan Vaksin Nusantara. Masyarakat luas juga harus tahu bahwa yang terjadi di RSPAD bukan program vaksinasi COVID-19, tetapi suatu tahap uji klinis fase II calon vaksin, dengan data hasil uji klinis fase I yang amburadul, dan dipenuhi dengan pelanggaran prosedur baku sains, serta manfaat yang diragukan sehingga tidak etis untuk dilanjutkan ke uji klinis fase II.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, sebagian masyarakat justru terbeli dengan hiruk-pikuk jargon nasionalisme yang di gembar-gemborkan oleh Terawan dan kawan-kawan tanpa menyadari ada masalah besar mulai dari penamaan, kelaziman teknologi yang dipakai, masalah etik kedokteran, penggunaan anggaran, transparansi data yang semuanya di terabas seolah kubu yang ‘berlawanan’ (dalam hal ini BPOM, Satgas COVID-19, para ilmuwan dan masyarakat yang mengkritik) adalah kelompok orang-orang yang tidak cinta tanah air dan menghalangi kemajuan negara. Sebuah paradoks yang sempurna bukan?
Ditulis oleh Zainal Muttaqin, MD., Ph.D., Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip