Menilik Sejarah Gunung Ijen

BANYUWANGI CONNECT
membacalah walau sebentar
Konten dari Pengguna
19 Oktober 2017 2:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BANYUWANGI CONNECT tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menilik Sejarah Gunung Ijen
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Idjen Hoogland / Topografische Inrichting 1920.peta yang menunjukan batas banyuwangi dan bondowoso [email protected]
ADVERTISEMENT
Gunung Ijen berada di perbatasan Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso. Saat ini masih belum ada Keputusan SK Menteri Dalam Negeri yang menentukan tapal batas kedua kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso.
Pemerintah Banyuwangi bersikukuh bahwa Gunung Ijen milik Banyuwangi berdasarkan peta di zaman Belanda. Yakni Besoeki Afdeling 1895, Idjen Hooglan 1920, Java Madura 1942, Java Resn Besoeki 1924, Java Resn Besoeki 1924 Blad XCIII C, dan Java Resn Besoeki 1925.
Menilik Sejarah Gunung Ijen (1)
zoom-in-whitePerbesar
Pondok Kawah Idjen op het Idjen-plateau bij Banjoewangi 1920 [email protected]
Sementara pemerintah Bondowoso mengakui Gunung Ijen berdasarkan peta milik Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional tahun 2000. Dalam peta ini, Gunung Ijen itu dibagi dua, milik Banyuwangi dan Bondowoso. Bahkan di sebutkan di situ bahwa peta ini bukan menyangkut peta batas wilayah.
ADVERTISEMENT
Perebutan status kepemilikan Gunung Ijen sejak tahun 2006 karena potensi wisata dan tambang belerang yang dimiliki gunung berapi ijen tersebut. Kawah Ijen adalah kawah terbesar di dunia, warna dari kawah biru kehijauan yang sangat cantik juga menjadi daya tarik tersendiri. Kawah Ijen yang memiliki kedalaman 200 m dan sangat luas ini,sangat ramai dikunjungi oleh wisatawan manca negara.
Menilik Sejarah Gunung Ijen (2)
zoom-in-whitePerbesar
Kartu Pos Belanda Pondok Kawah Idjen di Banyuwangi 1900an
Dalam Tulisan di majalah Familia pada Desember 2003 pernah ditulis tentang sekelumit sejarah Gunung Ijen, seperti yang tertulis di bawah ini.
ADVERTISEMENT
Nama Ijen mulai dikenal dunia sejak kedatangan dua turis asal Perancis, Nicolas Hulot dan istrinya Katia Kraft pada tahun 1971. Mereka menuliskan kisah pesona Kawah Ijen beserta kerasnya kehidupan para penambang bongkahan belerang di majalah Geo,Perancis. Dua hal inilah yang menjadi daya tarik utama bagi para wisatawan dan fotografer dunia.
Nama Gunung Ijen juga disebut-sebut tatkala seorang pangeran dari Kerajaan Wilis bergerilya melawan VOC dari balik lereng pegunungan Ijen pada masa penjajahan. Meski akhirnya kalah, kisah ini membuktikan Ijen sebagai tempat persembunyian yang ideal bagi para pejuang Blambangan. Tanahnya yang bergunung-gunung dan dipenuhi hutan lebat, sungguh menakutkan bagi orang luar. Kesan angker begitu melekat di wilayah tak bertuan ini.
Menilik Sejarah Gunung Ijen (3)
zoom-in-whitePerbesar
Kartu Pos Belanda pembangunan Irigasi Kawah Idjen di Banyuwangi 1900an
ADVERTISEMENT
Alam Ijen mulai tersentuh tatkala Kompeni Belanda menyewakan tanah yang amat luas di daerah Besuki, Panarukan, Probolinggo dan sekitarnya kepada saudagar dan kapten penduduk Cina di Surabaya yang kaya raya, Han Chan Pit dan saudaranya, Han Ki Ko.
Untuk menarik minat pekerja, mereka membagi-bagikan beras gratis saat musibah kelaparan menyerang. Dalam waktu singkat, datanglah 40 ribu pekerja asal Madura. Mereka membuka lahan, bertanam padi dan sayuran, menggunakan sistem irigasi yang teratur. Namun meletusnya pemberontakan para petani yang dipimpin Kiai Mas pada tahun 1813 membuat tanah sewaan ini dibeli kembali.
Pelaksanaan politik culturstelse oleh Belanda di akhir abad ke-19 memaksa pembukaan kembali lahan-lahan terpencil ini, termasuk Pegunungan Ijen untuk dijadikan perkebunan kopi dan karet. Lagi-lagi didatangkan ribuan pekerja asal Madura. Maka terciptalah ‘Madura kecil’ yang menjadi pusat pemukiman orang Madura beserta adat, budaya, dan bahasanya. Madura kecil kini masih bisa kita jumpai di sebagian Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi.
Jalur Pendakian Gunung Ijen Banyuwangi (Foto: Rina Nurjanah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jalur Pendakian Gunung Ijen Banyuwangi (Foto: Rina Nurjanah/kumparan)
ADVERTISEMENT