TERBELAHNYA BALAMBANGAN MENJADI ENAM KABUPATEN

BANYUWANGI CONNECT
membacalah walau sebentar
Konten dari Pengguna
2 Agustus 2018 11:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BANYUWANGI CONNECT tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
TERBELAHNYA BALAMBANGAN MENJADI ENAM KABUPATEN
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sejak dibentuk tahun 1352, Balumbunan hanyalah sebuah desa di kaki Gunung Lumbu. Kemudian menjadi Perdikan pascaperang Nambi 1331, yang seiring berjalananya waktu dan perkembangan jumlah penduduk, maka dinaikkan statusnya menjadi sebuah Kadipaten, dipimpin oleh Sri Bima Chili Kepakisan. Dia ditunjuk karena jasanya pada Kemaharajaan Nagara Jawa/Majapahit.
ADVERTISEMENT
Babad Dalem di Bali dan Suluk Balumbung yang menyebut tentang tokoh bernama Bima Chili Kepakisan berkuasa di Balumbunan tahun 1340 (Babad Dalem) atau 1352 (Suluk Balumbung) sebagai asal muasal Balambangan. Sedangkan Babad Sembar menyebutkan bahwa Balambangan dimulai dari Lembu Mirudha dan Mas Sembar di Lumajang sebagai asal-usul Balambangan. Mana yang lebih tepat?
Menurut tafsir penulis, keduanya dapat dibenarkan karena "wit perkawit tanah Lumajang seanteornipun kadadosaken Nagari Balambangan". Jadi, baik Lamajang dan Balumbunan kemudian menjadi satu dengan nama Balambangan. Lalu siapa yang mempersatukannya?
Tome Pires menyebutkan bahwa di masa Menak Pentor (cucu Menak Sembar), Lumajang telah ditaklukkan oleh raja Balambangan yang perkasa itu. Artinya sebelum Menak Pentor berkuasa tahun 1500-1531, Lumajang dan Balumbunan sudah menjadi satu.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, Menak Pentor mengalahkan Arya Pular, Adipati Keniten yang berkuasa atas Keniten, Panarukan, dan Pajarakan. Dengan ditaklukkannya persekutuan Keniten ini, maka Keniten, Panarukan, dan Pajarakan menjadi bagian dari Balambangan. Ditambah lagi wilayah Gamdha juga telah dikuasai oleh Menak Pentor.
Balambangan bertahan dengan wilayah seluas ini hingga Sultan Agung (1613-1645) merebut perbatasan pinggir baratnya, yakni daerah Pasuruan dan Singasari. Penduduknya diangkut ke Mataram dan disebut sebagai "Tiyang Pinggir" dan "Wong Gajah Mati". Setelah itu silih berganti kedua daerah itu dikuasai oleh Mataram dan Balambangan, dengan demikian, secara umum wilayah Balambangan kembali ke wilayah asli; "wit perkawit tanah Lumajang seanteornipun kadadosaken Nagari Balambangan".
Ternyata wilayah asli Balambangan masih dipersempit dengan serangan Amangkurat Agung (1646-1677) hingga ke daerah Kedhawung, Sentong, dan Panarukan.
ADVERTISEMENT
Ketiga daerah itu baru dapat direbut kembali oleh Prabu Tawangalun II antara tahun 1656-1659. Bahkan raja besar Balambangan ini kemudian meluaskan kekuasaannya hingga ke Kediri, pascaperang Trunajaya tahun 1679 sebagaimana yang ditulis oleh De Graff.
Wilayah Balambangan seluas ini berlangsung selama tahun 1679-1691 dan karena sepeninggal Prabu Tawangalun II, terjadi perebutan kekuasaan diantara anak-anaknya, sehingga wilayah-wilayah Balambangan tersebut direbut kembali oleh Mataram melalui tangan Untung Surapati tahun 1690an (dalam peta Belanda disebut Zonder Soerapati). Sejak itulah, Kediri, Blitar, Malang, Pasuruan, Banger, Lumajang, dan Puger lepas dari kekuasaan Balambangan. Saat itu, Kyai Jayalelana (1746-1756) diangkat sebagai Bupati Banger, dan Raden Kertanegara/Bagus Lumajang menjadi Bupati Lumajang. Keduanya dibawah Untung Surapati.
ADVERTISEMENT
Apakah setelah itu semua daerah tersebut menjadi milik Mataram? Tidak! Karena Untung Surapati kemudian justeru mendeklarasikan berdirinya kerajaan miliknya sendiri yang berpusat di Pasuruan. Balambangan hanya dapat menguasai kembali Puger timur dan Panarukan itupun setelah melalui pernikahan Pangeran Danureja dengan Mas Ayu Gadhing, puteri Untung Surapati.
Puger, Sentong, Demong, Panarukan, dan Balambangan bersatu pada masa Prabu Danureja (1697-1736). Hal ini bertahan hingga VOC datang dan menaklukkan Balambangan tahun 1767-1768 dalam Perang Wilis. Setelah itu selain menyita seluruh perbendaharaan pustaka Balambangan, VOC juga memecahbelah kerajaan ini menjadi dua.
1. Balambangan Barat dengan wilayah meliputi Panarukan, Sentong, dan Puger dengan beribukota di Panarukan disebut Kabupaten Kanoman Balambangan. Disana diangkatlah Mas Uno/Weka (1767-1768) sebagai Bupati.
ADVERTISEMENT
2. Sedangkan di sebelah timur Gunung Raung-Gumitir disebut Kabupaten Kasepuhan dengan beribukota di Teluk Pampang/Muncar. Disana Mas Anom Kalungkung (1767-1768) yang menjadi Bupatinya.
Selanjutnya, Sura Adiwikrama (1772-1788) ditunjuk menjadi Bupati wilayah Kanoman Balambangan Barat tahun 1772, berkedudukan di Besuki yang juga membawahi Panarukan, Sentong, dan Puger.
Kabupaten Banyuwangi didirikan sebagai ganti dari Kabupaten Kasepuhan Blambangan tahun 1774 dengan bupati pertamanya Tumenggung Wiraguna I (1774-1782).
Tahun 1755 Tumenggung Prawiradiningrat menjadi Bupati Puger terlepas dari Panarukan/Besuki. Menyusul kemudian tahun 1819 Sentong dijadikan Kabupaten Bondowoso terlepas dari Besuki dipimpin oleh Mas Astratruna/Ki Ronggo (1819-1830).
Karena Besuki kalah saing dengan Panarukan, maka ibukota pindah ke Panarukan dan menjadi Kabupaten Panarukan. Nama itu kemudian dirubah lagi pada masa Pemerintahan Bupati Achmad Tahir (± th 1972) menjadi Kabupaten Situbondo dengan ibukota Situbondo berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor. 28 / 1972.
ADVERTISEMENT
Kabupaten Lumajang yang terlepas dari Probolinggo didirikan tahun 1920 dengan bupati pertamanya adalah KRT. Kertodirejo (1920-1928). Sedangkan Kabupaten Jember didirikan terlepas dari Kabupaten Bondowoso tahun 1929 dengan R. Notohadinegoro (1929-1942) sebagai Bupatinya.
Dengan memahami kronologi ini, penulis berharap;
1. Masyarat di enam kabupaten/kota agar membuka hati bahwa kita pernah bersatu dan menjadi bagian dari Balambangan. Sebagaimana kerajaan Melayu yang meliputi beberapa kabupaten dan propinsi di Sumatera, demikian pula kerajaan Balambangan pernah meliputi beberapa kabupaten di Jawa Timur.
2. Masyarakat Banyuwangi agar membuka wawasan bahwa Balambangan bukan hanya Banyuwangi. Tidak ada monopoli bahwa Balambangan hanya Banyuwangi karena fakta sejarahnya memang tidak demikian.
3. Tidak perlu berebut klaim dan tidak perlu ada fanatisme kedaerahan yang berlebihan karena kita semua adalah saudara sebangsa, Indonesia. Ditulis oleh: Bagus Putera Hanafi
ADVERTISEMENT