news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Labelisasi Bunuh Diri pada Kasus Terorisme

Mustofa Nahrawardaya
Direktorat Relawan Nasional BPN Prabowo Sandi || MPI PP Muhammadiyah
Konten dari Pengguna
17 Mei 2018 14:31 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mustofa Nahrawardaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Banyak definisi bunuh diri, namun pengertian sederhana terhadap istilah "bunuh diri" dapat kita tengok dalam Encyclopedia Britannica, di mana bunuh diri didefinisikan sebagai usaha seseorang untuk mengakhiri hidupnya dengan cara suka rela atau sengaja. 
ADVERTISEMENT
Kunci dari pemaknaan bunuh diri, ada pada kata 'suka rela' dan 'sengaja'. Oleh karenanya, tidaklah dapat disebut sebagai peristiwa bunuh diri, apabila kondisi pelaku dalam keadaan tidak rela, atau dalam keadaan tidak sengaja. Atau lebih mudahnya, seseorang bisa dianggap bunuh diri, apabila keinginan mati itu memang benar-benar berasal dari dirinya sendiri secara sukarela dan tanpa paksaan. Karena tanpa paksaan, maka seseorang tidaklah bisa disebut bunuh diri, apabila kematiannya akibat niat orang lain, atau atas kemauan pihak lain.
Pada kasus terorisme, matinya seseorang yang diduga pelaku terorisme, sejatinya tidak mudah begitu saja dilabeli sebagai pelaku  bunuh diri, sekalipun secara kasat mata sang terduga terlihat meledak bersama tas, atau motor atau mobil yang dikendarainya.
ADVERTISEMENT
Apalagi, kasus terorisme adalah kasus extra ordinary crime, di mana bobot kasusnya tergolong berat. Dikatakan berat, karena isu terorisme menyangkut kepentingan banyak pihak. Baik itu pihak yang diuntungkan, maupun pihak yang dirugikan. 
Namun yang sering kita ketahui, hampir setiap kasus ledakan yang disertai adanya jasad terduga teroris di TKP (Tempat Kejadian Perkara), masyarakat langsung mengira itu sebagai bom bunuh diri.
Padahal, syarat seseorang bunuh diri, minimal ada dua. Selain harus diketahui pelaku melakukannya dengan ikhlas, kematian dan ledakan itu adalah juga atas kemauan sendiri. Tidaklah mungkin terjadi, seseorang mati secara ikhlas, namun atas kemauan pihak lain. Itu mustahil.
ADVERTISEMENT
Kenapa ini penting untuk diungkap, karena dalam peristiwa terorisme, kematian seseorang yang dianggap pelaku, sekalipun kasus pidananya dianggap selesai secara hukum, namun pada pada kenyataannya labeling dan penggiringan opini terhadap mereka tidak pernah berhenti.
Penyebutan nama-nama mereka yang sudah mati, ternyata masih laku dan masif disebut oleh aparat negara, dalam rangka mencari kaitan antara orang-orang yang sudah mati, dengan para terduga teroris yang masih hidup.
Bahkan di pengadilan, para terdakwa bisa menyebutkan keterlibatan orang-orang tak bernyawa itu, dalam rangka untuk kepentingannya. Padahal, orang-orang yang sudah tercabut nyawanya ini tidaklah bisa membela diri apabila ada pernyataan atau tuduhan yang merugikannya.
Ilustrasi bom bunuh diri (Foto: Shutterstock)
Masalah ini menjadi serius, ketika orang-orang mati yang dilabeli sebagai pelaku terorisme, kemudian dikait-kaitkan dengan latarbelakang ideologi serta lingkungan mereka ketika masih hidup.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh kematian satu keluarga di Surabaya yang dikaitkan dengan latar keluarga orangtua dan pendidikan anak-anaknya yang menempuh jalur pendidikan di Muhammadiyah. Atau lelaki yang ditembak mati di Cianjur, yang disebut alumni Sekolah Muhammadiyah.
Masyarakat kemudian dengan mudah dicekoki dengan ditemukannya fakta bahwa mereka adalah berlatar pendidikan Muhammadiyah. Padahal tidak ada kaitan antara Ormas Islam Modern terbesar Indonesia ini dengan terorisme. Bahkan, belum jelas pula, apakah kematian mereka benar-benar karena bunuh diri atau karena hal lain.
Namun opini masyarakat telah tergiring, seolah antara perilakunya dengan latar belakang mereka ada kaitannya. Oleh pihak-pihak tertentu, kemudian fakta ini digoreng sedemikian rupa entah apa maksudnya. Yang jelas, akibat dari aksi goreng menggoreng ini, jelas yang paling dirugikan adalah Muhammadiyah.
ADVERTISEMENT
Maka belajar dari kasus-kasus sebelumnya, maka pada masa yang akan datang, tampaknya catatan sejarah pendidikan dan latar ideologi keluarga para "korban" ini, tampaknya akan menjadi materi dan data empiris, seolah ada keterkaitan antara perilaku mereka dengan organisasi yang pernah diikuti tersebut.
Hal-hal semacam itulah yang perlu dikhawatirkan. Sebuah Ormas Islam yang berdiri sebelum Indonesia ini merdeka, yang memiliki amal usaha cukup besar di NKRI, ternyata sangat rentan menjadi korban opini publik akibat ulah segelintir pihak yang tidak bertanggungjawab.
Satu hal yang perlu dielaborasi, jika kemudian ada indikasi bukan aksi bunuh diri, artinya ada pihak lain yang melakukan pembunuhan terhadap para "korban" bukan? Jika ini terjadi, lalu apa saja motif dari pihak lain tersebut sehingga melakukan perbuatan bidab menghilangkan nyawa orang-orang itu? Dan bagaimana caranya? Apakah keraguan demi keraguan ini lazim muncul di tengah-tengah masyarakat Indonesia?
ADVERTISEMENT
Jangankan di Indonesia. Di negara konflik Timur Tengah, fenomena keraguan semacam itu bukanlah hal baru. Berbagai kasus ledakan dahsyat, yang menimbulkan banyak korban di berbagai negara konflik di sana, ternyata untuk menyimpulkan siapa pelakunya, media massa harus menunggu pihak mana yang bertanggungjawab sebagai pelaku pemboman. Jadi bukan tidak semua pengungkapan kasus, berdasar penyelidikan kepolisian setempat.
Bom tersebut menewaskan 25 orang (Foto: REUTER/Mohsin Raza)
Dalam kasus seperti di negara-negara itu, kita jadi sangat kesulitan menentukan pilihan. Apakah bom yang meledak adalah hasil bom bunuh diri ataukah ledakan bom hasil kerja teknologi, remote control misalnya. Sekalipun di lokasi ditemukan jasad yang diduga pelaku, atau terekam kamera sekalipun, namun secara kasat mata sangat sulit menyimpulkan detail teknis serangan.
Bisa jadi, orang-orang yang dianggap mati dalam ledakan itu, mengaktifkan ledakan untuk membunuh dirinya sendiri, namun juga bisa juga terjadi bahwa orang-orang itu hanyalah dijadikan martir oleh pihak intelijen yang dimiliki negara konflik untuk mencapai tujuannya.
ADVERTISEMENT
Harus kita akui, bagaimana pun, teknologi modern saat ini telah berevolusi sedemikian cepatnya. Sehingga oleh para pelaku konflik, teknologi modern dapat digunakan untuk membantu memenangkan perang. Baik itu perang menggunakan persenjataan konvensional, maupun perang memenangkan opini.
Dalam situasi perang seperti di sebagian negara Timur Tengah, sudah pasti para intelijen di negara itu akan berpikir keras agar memenangkan semua peperangan. Berbagai cara dilakukan, dan jangan lagi bertanya soal teknis untuk memenangkan peperangan. Atau berapa nyawa yang harus dikorbankan dalam rangka memenangkan peperangan mereka. Fitnah memfitnah, bukanlah hal baru.
Dalam siasat peperangan ada istilah False Flag Operation (FFO). Tentu pihak intelijen di masing-masing negara, sama-sama memiliki keahlian di bidang operasi tersebut. Jika sudah menerapkan operasi ini, maka kita bak melihat permainan sulap. Susah kita membedakan antara yang benar dan yang salah.
ADVERTISEMENT
Antara yang asli dan yang palsu. Antara yang jujur dengan yang bohong. Karena dalam operasi FFO, bisa jadi pelaku kekerasan maupun korban kekerasan, adalah pihak yang sama. Bahkan, pelaku kekerasan tidak tahu jika dirinya sedang dijadikan alat untuk membantu kemenangan pihak-pihak yang bermain dalam perang.
Pertanyaan berikutnya, apakah praktek semacam itu dapat di-copy paste di Indonesia yang tidak sedang ada perang?
Bisa. Karena meskipun banyak Ulama yang berbusa-busa menyatakan bahwa saat ini tidak sedang ada perang di Indonesia, namun dalam kenyataan yang lain, kita sering mendengar ucapan para punggawa negeri ini, yang menyatakan bahwa negara saat ini sedang berperang melawan terorisme. Bukankah ini bentuk deklarasi perang? Terima kasih.