Menyoal Netralitas Aparatur Sipil Negara dalam Pemilu

Mutia Rizal
Analis Posbirokrasi | Editor di birokratmenulis.org
Konten dari Pengguna
3 April 2019 10:23 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mutia Rizal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Ilustrasi: Dukungan politik/ pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto Ilustrasi: Dukungan politik/ pixabay.com
ADVERTISEMENT
Dalam ingar bingar pemilihan umum, kehidupan para aparat sipil negara (ASN), sebagai manusia kembali diuji melalui jargon netralitas. ASN dilarang untuk menunjukkan sikap keberpihakan terhadap salah satu calon peserta pemilu, baik pada pemilihan legislatif, kepala daerah, maupun pemilihan presiden. Jargon itu kini semakin ‘jadi’, karena telah menjadi aturan yang dilengkapi berbagai sanksi.
ADVERTISEMENT
Sekilas, aturan netralitas itu adalah sesuatu yang wajar bahkan perlu, karena birokrasi memang rasional (dari perspektif ekonomi). Artinya, agar administrasi di birokrasi pemerintahan dapat berjalan optimal, maka para ASN hanya diperbolehkan melakukan tindakan yang secara rasional berguna untuk mencapai tujuan institusi. Yang dimaksud dengan tindakan yang berguna itu adalah segala tindakan administratif yang telah ditetapkan melalui serangkaian prosedur dan prinsip efisiensi oleh para pengambil keputusan di birokrasi.
Nah, tindakan berupa ‘sikap keberpihakan’ dianggap sebagai tindakan tidak rasional, tidak efisien, dan tidak relevan dengan administrasi birokrasi. Netralitas ASN adalah bagian dari upaya efisiensi, yakni efisiensi tindakan ASN yang hanya melulu mengurus administrasi demi pencapaian tujuan (efektif).
Rasionalitas inilah yang sebenarnya telah dikritisi oleh para pakar administrasi publik kontemporer, katakanlah Ralph Hummel dan Robert Denhardt, administrasi di birokrasi tidak semestinya memisahkan perspektif ekonomi dengan politik.
ADVERTISEMENT
Jalannya administrasi di birokrasi sejak dulu telah terlanjur mapan dengan perspektif ekonomi rasional, semisal efisiensi dan efektivitas, yakni sejak digaungkan oleh Frederick Taylor dan Herbert Simon.
Apolitis Menjadi Apatis
Aparatur Sipil Negara (ASN) saat upacara. Foto: ANTARA FOTO/Rahmad
Lalu apa kelemahan administrasi birokrasi yang apolitis? Seperti yang dikatakan oleh Cornelis Lay, dalam pidato pengukuhan guru besar di UGM beberapa waktu yang lalu, bahwa birokrat yang apolitis justru akan membuatnya menjadi apatis.
Artinya, ASN semakin tidak terbiasa untuk peduli dengan kepentingan politik yang sebenarnya sangat berguna untuk peningkatan nilai publik (public value). Sebaliknya, ASN terbiasa dididik sebagai bagian dari mesin yang harus bergerak pada ketiak penguasa, yang notabene adalah politisi.
Lebih lanjut, pada kondisi yang demikian, ASN ditempatkan pada posisi rapuh dan mudah dimanipulasi oleh jaring kekuasaan. Beberapa ASN yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan politisi, yang telah menjadi pimpinannya, dapat ditelantarkan begitu saja.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, bagi ASN yang menghamba pada kepentingan politis pimpinannya selalu dalam kondisi aman. Itulah sebabnya, banyak para ASN yang pada akhirnya bersikap pragmatis, tidak kritis, terhadap kebijakan pimpinannya. Bahkan, pada akhirnya para ASN justru rentan dipengaruhi untuk mengikuti pragmatisme politik praktis dengan cara penggalangan suara oleh pimpinannya.
Hal itu terjadi karena sistem birokrasi kita yang selalu memisahkan diri dengan realitas politik. Para ASN yang sebetulnya memiliki modal sosial tinggi untuk dapat bersama-sama menjaga arah kebijakan publik, justru menjadi tidak berdaya.
Kekhawatiran Berlebihan
Pada kenyataannya, ASN memang bukan politisi, yang terbiasa berstrategi menggalang raupan suara demi memperoleh kuasa politik. Oleh sebab itu, tidak seharusnya ASN masuk menjadi tim sukses salah satu peserta pemilu, apalagi menjadi pengurus partai politik, karena memang bukan itu urusan dan tugasnya.
ADVERTISEMENT
Namun, bukan berarti kemudian melarang ASN untuk mengikuti hiruk pikuk pesta demokrasi. Mereka hanyalah manusia biasa, yang tetap memiliki preferensi politik sesuai dengan pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman masing-masing. Upaya untuk membungkamnya hanya akan membuat mereka semakin kerdil.
Kekhawatiran akan menurunnya pelayanan publik gara-gara adanya ‘perang’ preferensi politik di antara mereka, sepertinya juga kekhawatiran yang berlebihan. Pada dasarnya, mereka tetap akan menjaga marwah sebagai birokrat, apapun kondisinya.
Bukan Salah ASN
Adapun adanya polarisasi yang sering kali berujung pada tindakan berbahaya di masyarakat adalah bukan salah mereka. Salahkan para politisi yang selalu menggunakan cara-cara pragmatis jangka pendek demi mendapatkan suara sebanyak-banyaknya, dengan memanipulasi berbagai fakta dan peristiwa untuk menggalang emosi para pemilik suara.
ADVERTISEMENT
Pada titik itu, para ASN sebagai bagian dari masyarakat umum yang memiliki suara, selalu dididik untuk tidak bersikap kritis, dengan hanya mengandalkan emosi semata. Sekali lagi, ini bukan salah mereka, kenapa mereka yang harus diatur dan dikendalikan sedemikian rupa?
Bukan kekangan terhadap preferensi yang mereka butuhkan, tetapi keteladanan dari para pimpinan dan politisi dalam hal bagaimana perbedaan preferensi politik menjadi pembelajaran untuk bertindak etis dalam administrasi birokrasi.
Batasannya tetap saja tentang tindakan kekerasan, baik nyata maupun simbolik, yang berpotensi melanggar hak dan kepentingan orang lain. Ujaran kebencian, pemaksaan kehendak, sampai dengan persekusi adalah tetap sebagai tindakan kekerasan yang memang harus dikendalikan.
Epilog
Akan menjadi lebih bermanfaat jika perbedaan preferensi politik di antara ASN menjadi ajang adu gagasan yang melahirkan berbagai kebijakan politik yang memiliki nilai publik. Elite birokrasi sebenarnya memiliki kesempatan untuk memfasilitasi hal itu. Salah satunya dengan cara mengajak dialog terbuka atas perbedaan preferensi, sehingga saat menghadapi pimpinan terpilih para ASN akan lebih siap karena telah memiliki bekal kepentingan kuat kepada publik.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, maka ASN akan merasakan nuansa demokrasi yang sesungguhnya, mampu memaknai demokrasi secara lebih luas dan bijaksana. Bukan sekadar memaknai demokrasi sebatas urusan menang-kalah dalam pemilu, tetapi lebih dari itu, siapapun pemimpinnya, mereka akan tetap belajar menghormati demokrasi dan tetap berani memperjuangkan hak-hak publik dalam proses pelayanannya. Perbedaan preferensi di antara mereka adalah sebuah hal yang wajar dalam relasi sosial dan demokrasi.
Andai saja, dan hanya seandainya, para ASN seperti musisi, yang kemarin berani bersuara lantang pada mereka yang ingin mengekangnya.
M. Rizal
Post-birokrasi Analyst | Editor birokratmenulis.org