Hindari Politik Identitas Dalam Pilkada Maluku Utara

AKTIVIS
Post tulisan opini yang bermanfaat dan menyajikan berita yang berkualitas dan terpercaya !
Konten dari Pengguna
8 Desember 2017 0:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari AKTIVIS tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh. Mutlaben Kapita
INDONESIA merupakan Negara yang majemuk. Kemajemukan yang di bingkai dalam Bhineka Tunggal Ika, yang artinya, “Berbeda-beda Tapi Tetap Satu”. Idealisasinya keberagaman suku, ras, dan agama yang dianut setiap masyarakat bukanlah menjadi pembeda antar golongan, tetapi itu menjadi bagian dari kekayaan yang di miliki Negara Indonesia. Kaitannya dengan itu, maka dalam helat pesta demokrasi pun sejatinya suku, ras, dan agama tidak di politisasi.
ADVERTISEMENT
Pilkada Maluku Utara 2018
Pilkada Maluku Utara akan digelar tahun depan, dan saat ini para calon mulai bermunculan bahkan ada beberapa calon yang sudah mendapatkan rekomendasi dari partai politik.
Kehadiran tokoh-tokoh politik Maluku Utara yang ikut dalam kontestasi politik perlu di apresiasi, karena atas semangat patriotisme terhadap daerah, sehingga ingin dediksikan diri untuk Maluku Utara.
Maluku Utara salah satu provinsi di Indonesia bagian timur, yang mengandung berbagai kekayaan alam yang melimpah-ruah, tak heran jika ditelisik sejarah, bahwa Maluku Utara pernah di jajah oleh bangsa Portugis dan Belanda hanya karena ingin menguasai wilayah Maluku Utara yang kaya akan rempah-rempah. Namun kekayaan alam yang tak dikelola secara optimal, sehingga kini masih terlihat disparitas pembangunan antar kabupaten/kota yang ada di provinsi Maluku Utara.
ADVERTISEMENT
Lambatnya pembangunan provinsi Maluku Utara membuka daya pikir masyarakat dalam memilih sosok pemimpin Maluku Utara kedepan. Olehnya itu, selaku masyarakat yang mempunyai hak pilih sepatutnya lebih cerdas memilih dan penuh penilaian yang objektif terhadap calon yang berdasarkan track record masing-masing calon yang di usung partai politik pada pilkada mendatang.
Hindari Politik Identitas
Isu politik dalam pusaran politik lokal kini semakin menguat. Hal ini bisa diamati dalam perhelatan pilkada beberapa daerah sebelumnya yang dinilai sukses mempengaruhi pilihan masyarakat dalam memilih calon.
Isu poltik identitas yang kini menjadi isu hangat yang dikhawatirkan memicu konflik, dan merambat pada pilkada 2018 salah satunya pilkada Maluku Utara. Meskipun momentum pilkada Maluku Utara digelar baru tahun depan, namun isu politik identitas atau isu pilih calon putera daerah kian terasa. Konkretnya, pada beberapa bulan yang lalu, ada salah satu politisi Maluku Utara yang mengklaim bahwa partai yang kini bernaung, akan mengusung calon gubernur putera daerah.
ADVERTISEMENT
Padahal seharusnya aktor politik membangun komunikasi politik yang lebih mengarah pada edukasi untuk masyarakat dalam melawan politik identitas, guna menciptakan demokrasi pancasila dan berwawasan masyarakat yang pluralisme.
Lanjut, jika di amati bahwa politik identitas lahir bukan dari masyarakat, melainkan lahir dari aktor-aktor politik, calon, dan tim sukses itu sendiri. Lahirnya isu politik identitas bertujuan untuk menarik simpati masyarakat terhadap calon yang diusung atau menjadi stimulus memenangkan calon dalam pesta demokrasi.
Dengan lakunya strategi politik identitas saat ini, maka selaku pemilih mesti tanggap dan selektif menilai calon yang disodorkan partai. Soal isu politik identitas harus dilawan dan dihindari dalam pilkada yang digelar, ini dilakukan demi menjaga keharmonisan antar suku, ras, dan agama yang ada di Maluku Utara.
ADVERTISEMENT
Prinsipnya, pemilih cerdas memberikan hak pilih dengan penilaian yang cermat terhadap calon yang diusung partai. Karena hadirnya calon, tentu mempunyai visi-misi yang berbeda dan itulah yang sepatutnya dijadikan indikator penilaian masyarakat dalam memilih calon pemimpin daerah. Artinya, memilih calon bukan sekadar melihat asal-usul calon, namun menilai lebih dari itu yakni, menilai visi-misi calon yang dianggap rasional sesuai dengan problem yang dihadapi masyarakat Maluku Utara saat ini.
Pilkada DKI Jakarta Jadi Pembelajaran Pilkada Malut
Pilkada DKI Jakarta yang digelar sebelumnya menjadi pembelajaran bagi daerah-daerah lain terutama pilkada Maluku Utara yang akan di laksanakan tahun depan.
Dinamika politik DKI Jakarta dalam perhelatan pilkada sebelumnya terlihat kental dengan isu politik identitas. Serangan isu politik identitas mengarah pada petahana calon gubernur Basuki Tjahaya Purnama, yang dianggap keturunan etnis Tionghoa dan pemeluk agama Kristen, maka tidak pantas memimpin masyarakat yang mayoritas Muslim. Lebih ironis lagi, ada propaganda melalui spanduk dengan tulisan yang bersifat ajakan, “Jangan Pilih Calon Non-Muslim”, bahkan ada spanduk yang dipajang di depan Masjid bertuliskan, “Masjid Ini Tidak Mensholatkan Jenazah Pendukung Dan Pembela Penista Agama”.
ADVERTISEMENT
Hadirnya propaganda politik identitas pada masyarakat seperti itu, dapat berimplikasi pada hilangnya rasionalitas pemilih dalam memililih calon. Artinya, pengaruh pikiran sektarian terhadap masyarakat membuat memilih calon bukan lagi atas dasar visi-misi nemun lebih didasarkan pada aspek kesamaan suku, ras, dan agama. Lebih luasnya lagi, bisa memicu konflik antar pendukung serta berimbas pada keretakan hubungan antar umat beragama.
Padahal jika ditelusuri profil mantan gubernur yang pernah memimpin DKI Jakarta bahwa pada 1964-1946, DKI Jakarta pernah di pimpin gubernur non-muslim yakni, Hendrik Hermanus Ngantung. Setelah Henderik Hermanus Ngantung yang menjadi gubernur non-muslim baru kemudian Basuki Tjahaya Purnama yang merupakan mantan gubernur DKI Jakarta non-muslim.
Namun, ketika maju kembali pada periode kedua terjadi penolakan dengan melancarkan propaganda isu politik identitas untuk mempengaruhi hak pilih masyarakat. Alhasil, isu politik yang di bangun terbilang sukses, dan mematahkan berbagai prediksi para pengamat politik yang awalnya memprediksi calon petahan yang memenangkan pilkada.
ADVERTISEMENT
Menurut pengamat Sosial Imam Prasodjo, mengatakan politik identitas menjadi cara ampuh untuk menjaring pemilih sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, strategi ini memiliki resiko yang tak kalah mengerikan. Imam menuturkan, politik identitas yang berlebihan bisa memercikan api dan menyulut konflik.
Politik identitas bisa bersifat negatif ketika terjadi diskriminasi antar kelompok satu dengan yang lain, misalnya dominasi mayoritas atas minoritas. Dominasi bisa lahir dari perjuangan kelompok tersebut, dan lebih berbahaya apa bila dilegitimasi oleh Negara. Negara bersifat mengatasi setiap kelompok dengan segala kebutuhan dan kepentingan serta mengatur dan membuat regulasi untuk menciptakan suatu harmoni (Bagir, 2011).
Dari kedua pendapat di atas, jelas bahwa politik identitas sangat berbahaya dan bisa memicu konflik antar golongan suku, ras, dan agama. Selain itu doktrinisasi pikiran sektarian pada masyarakat, dapat bemuara pada dinamika politik lokal yang tak lagi kedepankan nilai-nilai pancasila terutama sila pertama,”Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang secara eksplisit makna yang tersirat di dalam tentang perlunya sikap toleransi.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, maka politik identitas harus dilawan dengan cara edukasi politik kepada masyarakat, agar politik identitas tidak merambat di pilkada Maluku Utara.
Belajar Dari Konflik Maluku Utara Tahun 1999-2004
Mari kita belajar bersama dari sejarah kelam Maluku Utara. Sejarah kelam Maluku Utara tahun 1999-2004 telah mengisahkan kejadian memilukan. Di mana, terjadinya perang saudara yang disebabkan karena adanya provokasi yang dibangun oleh segelintir orang untuk memecah-belah masyarakat Maluku Utara.
Dalam tulisan Mantri Karno Diharjo, telah mengungkit setidaknya ada dua sebab yang mendasari terjadnya konflik yakni, Rivalitas elit dalam merebutkan pengelolaan sumberdaya alam dan jabatan-jabatan birokrasi serta politik; Menguatnya etnosentrisme sebagai alat untuk merebutkan sumber-sumber ekonomi dan politik.
Sangat jelas penyebab terjadinya konflik yang di kemukakan oleh Mantri Karno Rahardjo di atas, bahwa konflik Maluku Utara dimotori oleh elit politik yang mempunyai kepentingan terhadap jabatan politik.
ADVERTISEMENT
Artinya, konflik Maluku Utara tak lepas dari perebutan jabatan politik dikala itu, sehingga sejarah kelam ini patut di jadikan pengalaman dan rekomendasi untuk masa yang akan datang terutama dalam pilkada yang digelar tahun depan, dengan hindari isu politik identitas yang hanya meyeret pada perpecahan antar golongan atau etnis yang ada di Maluku Utara. Dalam realitas kehidupan masyarakat pasca konflik, kehidupan masyarakat terlihat begitu harmonis dan saling bersilaturahmi antar agama, maka keeratan yang kini kembali dibangun perlu dijaga dan melawan serta tolak isu politik identitas, guna menghindari terulang kembali sejarah kelam yang pernah terjadi.
Selanjutnya penyebab lain terjadinya konflik Maluku Utara sebagaimana disebutkan oleh Mantri Karno Raharjo, karena menguatnya etnosentrisme sebagai alat untuk merebutkan sumber-sumber ekonomi dan politik. Timbulnya penguatan entnosentris ini hanya sebagai alat manipulasi dalam perebutan jabatan-jabatan politik di tingkat lokal.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, isu politik identitas hanyalah kepentingan untuk jabatan politik yang dibalut dengan isu politik identitas, guna mempengaruhi hak pilih masyarakat dalam menentukan pilihan. Seiring dengan itu, masyarakat pun harus kritis menilai setiap isu yang dibangun dalam perhelatan pilkada Maluku Utara kedepan, agar tidak terpengaruh dengan isu politik identitas.
Wujudkan Demokrasi Berkualitas, Laksanakan Pancasila
Pancasila harga mati, Menangkan Pancasila, Saya Pancasila. Slogan-slogan itulah yang selalu di gaungkan masyarakat. Slogan ini bertujuan membangkitkan semangat patriotisme masyarakat terhadap NKRI.
Tetapi untuk membangkitkan semangat dan kecintaan masyarakat terhadap NKRI bukan hanya sekadar gaungkan, namun yang lebih terpenting adalah aplikasikan nilai-nilai pancasila, salah satunya nilai yang terkandung dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Esensi nilai dari sila pertama adalah mengajarkan sikap saling menghargai dan kerjasama antar agama dan kepercayaan atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
ADVERTISEMENT
Disamping itu, sila pertama mengajarkan untuk tetap hidup rukun dalam frame Bhineka Tunggal Ika. Selaras dengan itulah, maka setiap agama-agama yang diakui di Indonesia harus membangun dan menjaga kerukunan antar suku, ras, dan agama, agar tidak terbentur dengan pengaruh pikiran sektarian yang hadir di tengah bangsa yang pluralis ini.
Sikap pluralisme sejatinya di kukuhkan dalam dinamika politik nasional bahkan lokal. Soal perbedaan identitas bukan jadi pemicu konflik dan senjata untuk jatuhkan rival politik demi menduduki jabatan, tetapi perbedaan mempunyai nilai kekayaan etnis yang dimiliki bangsa Indonesia, maka implementasinya keberagaman suku, ras, dan agama tak boleh dipolitisasi guna menjaga stabilitas politik yang baik dan mewujudkan demokrasi yang berkualitas.
Perihal dengan itu, pilkada Maluku Utara kedepan, hindari politik identitas, lawan dan pilih calon berdasarkan visi-misi yang menjadi indikator dalam memilih calon yang tepat, integritas, bertanggung-jawab serta dinilai mampu memimpin Maluku Utara ke arah yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
*Mahasiswa Universitas Sam Ratulangi