Pernikahan Dini Bukan 'Jalan Keluar'

Nabbila Dinda Pramesti
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
8 Desember 2021 14:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nabbila Dinda Pramesti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto dari Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Foto dari Shutterstock
ADVERTISEMENT
Mengenal Pernikahan Dini
Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan oleh pasangan remaja berusia di bawah 20 tahun yang seharusnya belum siap menjalankan kehidupan rumah tangga. UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019 pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa pernikahan hanya diizinkan pada laki-laki dan perempuan yang berusia 19 tahun.
ADVERTISEMENT
Namun, seringkali orang tua dari salah satu calon mempelai yang anaknya belum mencapai usia perkawinan mengajukan permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama agar diberikan dispensasi untuk menikah dengan berbagai pertimbangan yang mendesak.
Fenomena Pernikahan Dini di Indonesia
Permohonan dispensasi kawin yang tercatat Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama sebanyak 34 ribu sepanjang Januari-Juni 2020, 97% dikabulkan, sedangkan 60% yang mengajukan adalah anak usia 18 tahun ke bawah. Banyak sekali permasalahan yang turut mendorong pernikahan dini, antara lain tingkat spiritual, pendidikan, mentalitas, kemiskinan, dan budaya.
Anak kerap kehilangan hak pendidikannya karena kondisi ekonomi dan keluarga. Masa di mana seorang anak mendapat pendidikan dan pengasuhan dari kedua orang tuanya terenggut karena kesibukan dan rendahnya pengawasan orang tua, sehingga gagal membentuk pribadi anak yang tangguh. Minimnya paparan edukasi tentang kesehatan reproduksi remaja menjadi pendorong terjadinya pernikahan di usia dini.
ADVERTISEMENT
Sosial media juga menjadi salah satu pemicu terkuat dalam melakukan pernikahan dini di Indonesia. Aturan penyebaran informasi di media massa yang longgar membuat mudahnya akses pornografi dan pornoaksi, yang tentunya dapat merusak moral generasi.
Faktor ekonomi mendorong terjadinya pernikahan dini sebagai ‘jalan keluar’ untuk meringankan beban ekonomi keluarga mereka, juga membawa pemasukan finansial tambahan bagi keluarga. Baik dorongan orang tua yang ingin atau terpaksa menikahkan anaknya, maupun inisiatif dari anak itu sendiri.
Bila remaja tidak memiliki kecerdasan emosional yang baik akan membuat remaja merasa ingin tahu dan mencoba hal-hal baru, seperti seks di luar nikah. Mayoritas orang tua yang anaknya telah hamil diluar pernikahan memilih untuk menikahkan anaknya. Tak jarang orang tua memilih menikahkan anaknya sebelum anaknya berpacaran dan melanggar norma-norma agama, juga menghindari pandangan negatif oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Anak perempuan dipandang sebagai ‘aib’ atau ‘perawan tua’ apabila ia belum berkeluarga saat telah dewasa. Mayoritas masyarakat juga beranggapan apabila seorang anak telah mencapai akil baligh maka ia dapat dinikahkan. Juga tradisi apabila ada seseorang yang melamar putrinya, maka keluarga perempuan harus siap menerimanya tanpa memandang umur, bahkan kesiapan mental maupun fisik.
Sisi Lain Pernikahan Dini
Kehamilan pada usia remaja dapat berdampak pada kesehatan karena kurangnya kesiapan, kurangnya pemahaman pada kesehatan reproduksi dan kehamilan, hingga terjadi komplikasi dari persalinan. Anak yang dilahirkan juga dapat berisiko kematian saat bayi, berat bayi lahir rendah, hingga stunting. Remaja yang hamil akan dikeluarkan dari sekolah dan membuat kesempatan kerja berkurang, sehingga mempengaruhi kehidupannya.
ADVERTISEMENT
Konflik menjadi hal yang kerap terjadi di dalam rumah tangga yang disebabkan oleh kurangnya kesiapan pada pasangan sebelum menikah, baik kesiapan fisik, mental, maupun materi. Usia pasangan yang masih muda cenderung memiliki emosi yang belum stabil dan kondisi ekonomi yang belum mapan juga menjadi pemicu konflik. Konflik berkepanjangan dan tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak rentan terjadi praktik Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) hingga perceraian.
Lantas, Bagaimana?
Untuk itu, diperlukan kebijakan multisektor dan kerja sama seluruh lapisan masyarakat dalam mencegah terjadinya pernikahan di usia dini, salah satunya melalui pengedukasian pada remaja dan masyarakat.
Edukasi terkait perilaku seksual dan pernikahan dini pada remaja perlu dikuatkan, sama halnya dengan edukasi yang berkaitan dengan fenomena dan dampak negatif dari pernikahan dini pada masyarakat, meningkatkan kewaspadaan orang tua melalui sosialisasi pentingnya mengawasi pergaulan anak, juga dengan meningkatkan kewaspadaan remaja untuk menjaga diri dari pergaulan bebas melalui seminar dan pembelajaran di sekolah. Perlu juga untuk meningkatkan akses informasi dan pelayanan kesehatan yang ramah terhadap remaja.
ADVERTISEMENT
Dalam pemberian dispensasi kawin, perlu dikemukakan pertimbangan dari berbagai aspek, di antaranya aspek sosiologis, psikologis, kesehatan, yuridis, dan spiritualitas, dan melakukan pendekatan personal bila ada calon mempelai yang tidak memenuhi persyaratan usia.