Sibuk Lawan Corona, Jangan Lupa TBC Masih Mengintai

Nabilla Fatiara
Assistant Editor kumparanMOM
Konten dari Pengguna
24 Maret 2020 11:28 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nabilla Fatiara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Tuberculosis. Dok. Pinterest
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Tuberculosis. Dok. Pinterest
ADVERTISEMENT
Apa persamaan virus corona dengan tuberculosis (TBC)? Sama-sama penyakit menular dan tak bisa dianggap remeh.
ADVERTISEMENT
Angka kematian (case fatality rate atau CFR) virus corona hingga Senin (23/3) telah mencapai lebih dari 9 persen, padahal rata-rata dunia hanya 3-5 persen.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Kesehatan pada 2019, Indonesia berada di posisi lima besar penderita TBC tertinggi di dunia. Jumlah masyarakat yang menderita TBC mencapai 850.000 orang, dengan perkiraan 13 orang meninggal setiap jamnya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2018 bahkan menyebut CFR akibat TBC di Indonesia mencapai 12 persen.
Lebih bahaya mana? Sama. Tapi sayangnya, masih ada sejumlah orang yang menganggap kedua penyakit ini tidak berbahaya.
Ilustrasi virus corona. Maulana Saputra/kumparan
Saya tak berbicara banyak soal virus corona, karena sudah banyak sekali dibahas akhir-akhir ini. Tapi, saya akan flashback ke empat tahun lalu saat dinyatakan terkena TBC paru. Saat itu, saya sedang sibuk-sibuknya mengurusi organisasi fakultas, kepanitiaan acara jurusan tingkat nasional, dan proses mengerjakan tugas akhir.
ADVERTISEMENT
Saking banyaknya kegiatan, saya telat makan dan tak sempat meratiin kondisi tubuh. Pulang malam, rata-rata di atas pukul 22.00 WIB, bahkan nginap di kampus sudah jadi keseharian saya yang saat itu sedang memasuki perkuliahan semester 6.
Sampai akhirnya sadar kala itu sudah batuk berdahak lebih dari dua minggu. Ditambah pegal dan meriang, demam naik turun, badan panas dingin, serta enggak nafsu makan.
Karena sudah dua minggu tidak kunjung sembuh, saya memutuskan untuk pergi ke klinik dekat rumah. Setelah menceritakan keluhan ke dokter yang berjaga, saya pun dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit terdekat dari rumah.
Ilustrasi wanita sakit dan demam. Dok. Shutterstock
"Saya khawatir ini sudah TBC. Besok coba tes dahak ya ke rumah sakit atau puskesmas," ucap dokter perempuan yang masih muda itu. Saya manggut-manggut, bunda saya khawatir. Ya Allah, cobaan apa ini.
ADVERTISEMENT
Keesokan harinya, saya memutuskan untuk pergi ke puskesmas, karena pertimbangannya jarak lebih dekat dari rumah. Setelah menunggu hampir sejam, saya pun untuk pertama kalinya masuk ke ruang poli paru.
Saya kembali menjelaskan keluhan yang dirasakan. Akhirnya dokter meminta saya cek dahak dan rontgen paru di RS terdekat. Saya pun diminta timbang berat badan.
Reaksi saya saat lihat jarum timbangan: WOW. Saya mencapai berat badan saya ketika masih kelas 1 SMP, turun 8 kg dari berat badan biasanya.
Akhirnya serangkaian pemeriksaan saya jalani: Tes dahak, rontgen paru ke RS, cek darah. Setelah hasil diterima, diberikan ke dokter, dan akhirnya saya disebut positif TBC.
Ilustrasi dokter pakai masker. Dok. Shutterstock
Alhamdulillah, dokter dan perawat di puskesmas membantu agar saya semangat pengobatan selama 6 bulan. Saya lalu diberikan obat, saya yakin seperti Rifampicin (atau kombinasi obat lainnya, saya lupa) yang berwarna merah (4 bulan pertama, panjangnya 1,5 ruas jari saya) dan kuning (2 bulan terakhir). Dan tak lupa, saya juga diberi susu bubuk setiap bulannya. Wah!
ADVERTISEMENT
Enam bulan pengobatan juga bukanlah hal yang mudah dijalani. Di awal-awal, saya menangis hampir tiap hari karena mual efek dari minum obat, tulang yang begitu menonjol, dan menjalani pengobatan saat bulan puasa. Efek lainnya yang dialami adalah tidak menstruasi sampai hampir dari enam bulan, dan kondisi bisa berbeda tiap orang.
Memasuki semester akhir kuliah, setelah enam bulan minum obat, akhirnya dinyatakan sembuh. Bersih.
Sampai sekarang saya enggak tahu ketularan TBC dari mana dan oleh siapa. Saat sebelum sakit, saya memang hampir setiap pulang malam jarang pakai jaket atau kadang pulang pergi naik KRL. Saya juga enggak ingat pernah terkena cipratan dahak di udara di mana.
Pengalaman terkena TBC ini kembali muncul di ingatakan saya semenjak wabah virus corona yang mendunia, tak terkecuali di Indonesia. Yang ingin saya ingatkan adalah kedua penyakit ini memang dianggap sebagian orang remeh. Kenapa? Kan bisa sembuh sendiri.
ADVERTISEMENT
Ya betul, tapi kalau kitanya juga tak bisa menjaga kesehatan, kita pun bisa tertular. Ingat, kedua penyakit ini tidak memandang agama, ras, umur, maupun status sosial. Dari balita hingga lansia bisa terpapar.
Semangat untuk teman-teman yang sedang berjuang melawan virus corona dan TBC. Selamat Hari TBC Sedunia.