Meski Sadis, Masih Ada Orang Baik di KRL

Nadia Riso
Jurnalis politik dan nasional di kumparan.
Konten dari Pengguna
14 Juni 2017 16:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadia Riso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tiap kali saya terbangun dari tidur, hanya satu hal yang langsung terbersit dalam pikiran. 'Ah, hari ini lagi-lagi harus berjibaku dengan sadisnya KRL'.
ADVERTISEMENT
Sejak sekitar 2013, KRL memang menjadi salah satu transportasi publik favorit saya. Saya yang menempuh pendidikan S1 di kawasan Gading Serpong, Tangerang Selatan, memilih menggunakan KRL dibandingkan Bus Agra Mas jurusan Bekasi-Poris.
Alasannya cukup sederhana, karena saya tidak ingin terjebak kemacetan di jalan tol selama 3 sampai 4 jam. Saya lebih baik berdiri di kereta dan berdesak-desakan tapi sampai di rumah dengan jarak tempuh sekitar 1,5 sampai 2 jam saja.
Meski kuliah di Gading Serpong, saya lebih memilih tinggal di rumah saudara di sana (meski kemudian pindah ngekos di dekat kampus) dibandingkan harus PP. Tenang, saya tidak segila itu menjelajahi Bekasi-Gading Serpong tiap hari.
Singkat cerita tiap Jumat, sekitar pukul 3 atau 4 sore, saya pasti sudah berada di kereta dari Stasiun Rawa Buntu menuju Stasiun Tanah Abang, kemudian berganti kereta menuju Stasiun Manggarai, lalu berganti kereta lagi menuju Stasiun Bekasi.
ADVERTISEMENT
Kesan pertama saya menggunakan KRL adalah SADIS. Saya harus berjibaku dengan penumpang, baik yang akan naik maupun yang akan turun. Saya bahkan pernah terjatuh didorong oleh beberapa penumpang yang tidak sabaran untuk masuk dalam kereta. Padahal di dalam kereta mereka harus berdiri dan berdesakan, namun rasa-rasanya dunia akan runtuh jika mereka tidak segera naik KRL.
Dalam kondisi seperti itu, saya hanya berkata dalam hati, "Biar orang waras yang ngalah. Toh, di belakang masih ada kereta lagi. Masih bisa masuk kalau di kereta ini sudah terlalu penuh dan 'ditolak' oleh penumpang".
Soal desak-desakan, okelah tidak masalah. Sudah biasa. Sudah biasa berdempetan, sudah biasa berdiri dengan posisi yang tidak jelas, sudah biasa dengan..... Ah, semuanyalah.
ADVERTISEMENT
Apalagi saya sering melihat penumpang enggan memberikan kursi mereka kepada penumpang lain, yang menurut saya, lebih berhak mendapatkan tempat duduk karena kondisi mereka yang hamil, sedang lemah karena sakit, orang tua yang sudah uzur, dan lain sebagainya. Mereka pasti akan pura-pura tidur atau pura-pura sibuk dengan smartphone mereka agar seolah mereka tidak tahu apa yang terjadi di sekitar mereka. Saya geram dengan pemandangan seperti ini, apalagi kalau sudah mendengar komentar: 'Manja banget sih apa-apa minta dikasih duduk. Gue juga berjuang buat dapet tempat duduk'.
Oh, well.
Meskipun mereka seperti itu, saya pernah tersentuh dengan kebaikan para penumpang kepada saya ketika saya jatuh pingsan di dalam kereta yang begitu sesak. Ceritanya, saya sudah memasuki semester akhir dan sedang menyusun skripsi. Dari kampus menuju Bekasi saya memang merasa badan saya sudah tidak fit.
ADVERTISEMENT
Namun, karena kondisi kereta yang begitu sesak, saya tidak berani meminta kursi supaya saya bisa duduk. 'Nanti dikomentari macam-macam. Ya sudah ditahan aja dulu sampai Bekasi,' pikir saya. Sekian lama berdiri, saya pun merasa dada semakin sesak dan sulit untuk bernapas. Pandangan saya menjadi kabur sampai saya kehilangan kesadaran.
Ketika tersadar, saya sudah duduk di kursi. Penumpang dengan wajah khawatir terus melihat ke arah saya. Ada yang mengipasi saya dengan kipas dan kertas karena melihat saya keringat dingin dan ada pula yang menggoyang-goyangkan botol minyak kayu putih yang tutupnya sudah dibuka di hidung supaya saya hirup. Ada juga yang memegangi tangan saya, seperti mengecek nadi saya.
Saat saya sadar, wajah mereka pun lega. "Mbak, enggak apa-apa? Hirup dulu minyak kayu putihnya biar enakan," kata salah seorang ibu.
ADVERTISEMENT
"Ini mbak fresh care. Coba dioles ke pelipisnya. Mbak enggak enak badan yah?" tanya ibu yang lain.
"Iya, bu. Enggak apa-apa. Makasih," jawab saya.
Jujur, saya tersentuh dengan mereka yang khawatir dan peduli kepada saya. Apalagi selama ini saya sering melihat mereka, khususnya ibu-ibu yang enggan memberikan tempat duduknya ke orang lain yang lebih membutuhkan karena kondisi-kondisi tertentu. Enggan karena mereka merasa yang muda masih lebih kuat dibandingkan dia yang sudah 'lebih' tua dan 'berjuang' untuk mendapatkan tempat duduk.
Ketika saya sadar, kebetulan bersamaan dengan waktu berbuka. Seorang mbak yang usianya terpaut kira-kira 5 tahun lebih tua dari saya bertanya, "Dek puasa atau enggak?"
"Enggak, mbak," jawab saya.
"Minum air saya aja dek, biar enakan. Adek kuliah? Lagi nyusun skripsi?" tanyanya.
ADVERTISEMENT
"Iya mbak, kuliah. Dan emang lagi nyusun skripsi," jawabku.
"Pantesan drop. Pasti sering begadang yah nyusun skripsinya? Jangan keseringan begadang. Kalau udah jam 12, mending tidur. Skripsi sih penting tapi inget kesehatan juga," katanya menasehati.
Setelah percakapan itu, kereta yang saya tumpangi pun sampai di Stasiun Manggarai dan saya pamit turun kepada penumpang yang telah menolong saya.
"Kalau belum kuat jangan naik kereta dulu mbak. Istirahat aja dulu, duduk disana," kata mereka.
Penumpang KRL memang sering terlihat sadis. Namun mereka yang peduli terhadap mahasiswa tingkat akhir yang drop dan pingsan seperti saya juga ada. Saya sempat berpikir apakah tindakan mereka semata karena peduli dan khawatir ataukah hanya karena Ramadhan. Setidaknya, mereka masih peduli.
ADVERTISEMENT
Hai kalian, meski sadis tapi saya menaruh kepercayaan kalau kalian tetap peduli. Tapi, tolonglah, peduli juga kepada mereka yang sekiranya berhak mendapat tempat duduk. Janganlah egois hanya karena anda sudah 'berjuang' mendapat tempat duduk atau karena anda 'berhak' mendapat tempat duduk.