Tidak Bercita-cita Jadi Wartawan, Tapi Jadi Wartawan, Kok Bisa?

Nadia Riso
Jurnalis politik dan nasional di kumparan.
Konten dari Pengguna
12 November 2018 11:25 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadia Riso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Padahal cita-citaku bukan wartawan. Terus kenapa sekarang kerjanya wartawan?
Kalau diingat-ingat lagi, cita-citaku itu bukan jadi wartawan. Malah sejak kecil enggak pernah sedikit pun terpikirkan untuk jadi wartawan. Lantas, kok sekarang kerjanya wartawan?
ADVERTISEMENT
Mungkin semua berawal dari sini. Kebetulan salah satu famili --om, lebih tepatnya-- selama puluhan tahun berprofesi sebagai wartawan salah satu media cetak ternama Indonesia. Katanya, dia wartawan yang cukup disegani di angkatannya. Relasinya luas, kebanyakan narasumbernya berasal dari kalangan Polri. Maklum, soalnya sepanjang kariernya, dia mendedikasikan dirinya sebagai wartawan kriminal. Polsek, polres, polda, hingga mabes bisa dibilang rumah keduanya.
Tiap kali berkunjung ke rumahnya, dia kadang suka bercerita hari-harinya dulu waktu aktif jadi wartawan. Bagaimana dia dengan mobil tuanya keliling dari polsek satu ke polsek yang lain untuk dapat berita, bagaimana dia kenalan sama anggota polisi dari pangkat rendah sampai pangkat tinggi. Kadang kalau nonton TV bareng dan lihat salah satu petinggi Polri jadi narasumber di TV, dia pasti nyeletuk:
ADVERTISEMENT
"Dulu waktu om ketemu dia, pangkatnya masih rendah banget. Sekarang dia udah jadi petinggi. Padahal dulu bukan apa-apa".
Mungkin karena sering dengar ceritanya, akhirnya muncullah pikiran, "Kayaknya seru juga ya jadi wartawan". Mungkin karena itu pula, aku akhirnya memutuskan masuk jurusan Jurnalistik.
Di saat teman-teman kuliahku memilih pekerjaan yang jauh berbeda dari jurusannya, cuma aku yang tetap konsisten. Setelah ditolak beberapa media, akhirnya aku diterima di kumparan. Aksi 212 menjadi agenda liputan pertamaku sebagai wartawan. Meliput ratusan ribu manusia yang turun ke jalan, dituntut untuk jeli dengan segala momen menarik, jalan kaki super jauh, dari kepanasan sampai kehujanan, lalu dapat intimidasi dari peserta aksi hanya karena aku enggak pakai jilbab dan namaku terlalu kristen. '
ADVERTISEMENT
"Ah, jadi begini toh, rasanya jadi wartawan," pikirku.
Setelah itu, agenda liputanku semakin beragam. Dalam sehari, aku bisa meliput 2-3 agenda, bahkan kadang lebih. Kadang berangkat super pagi dan pulang super larut. Pergi waktu orang rumah masih tidur, sampai pulang waktu orang rumah udah tidur. Dari liputan yang agendanya jelas sampai yang agendanya zonk. Padahal udah digeser jauh-jauh, eh nyampe di lokasi malah zonk. Ongkoskuuuuuuuu :(
Setelah itu, aku dapat kesempatan untuk ngepos di Balai Kota Jakarta. Setelah di Balkot, aku pun ditugaskan untuk mengikuti agenda kampanye Pilgub DKI Jakarta 2017. Saat itu, aku ditugaskan untuk jadi wartawan embed Djarot Saiful Hidayat.
Agendanya ini jauh lebih berat karena super mobile. Kadang agendanya bisa dimulai dari Pusat, lalu berakhir super larut malam di Timur. Selama hampir 3 bulan begini terus rutinitasnya. Naik mobil, turun dari mobil langsung ikut blusukan desekan sana sini berjibaku sama emak-emak yang rebutan mau selfie, doorstop, transkrip dan bikin berita di jalan sembari menahan bantingan mobil yang ngebut, and repeat.
ADVERTISEMENT
Nah di sini tantangannya. Ikut liputan sama media lain harus berlomba bikin berita lebih cepat dari mereka. Transkrip super ngebut, nulis berita juga super ngebut. Belum lagi harus menentukan angle yang menarik. Kalo enggak, siap-siap aja Whatsapp berdering lalu orang kantor ngirim link berita media 'sebelah'.
Sejujurnya, kalau udah dikirim link berita media 'sebelah', pasti udah paham antara angle mereka lebih menarik atau karena aku bobol. Kalau udah dikirim link berita, pasti ada perasaan down karena merasa rupanya usahamu di lapangan masih belum cukup maksimal. Belum lagi kalau udah diceramahin super panjang karena dua masalah itu. Sedih? Tentu. Kesel? Apalagi.
"Siap salah".
"Maaf luput".
"Segera digarap".
Lanjut!!
Usai Pilgub DKI Jakarta 2017, agenda liputan pun semakin beragam, hingga ditugaskan di RI-2. Dari sekian banyak liputan, penugasan ke Singapura untuk meliput pertemuan bersejarah antara Donald Trump dan Kim Jong-un menjadi agenda liputan paling berkesan. Siapa sangka bisa ketemu dua tokoh dunia secara langsung, ya kan? Eits, tapi bukan berarti tantangannya enggak ada.
ADVERTISEMENT
Pertama kali berkunjung ke Singapura, aku baru tahu kalau Singapura sepanas itu! Jalan kaki dari stasiun menuju hotel tempat Kim menginap, aku dan Mas Rivan --videografer kumparan-- menunggu kedatangan Kim nyaris selama hampir 3 jam. Lapar, tapi enggak bisa pergi cari makan karena takut rombongannya Kim keburu nyampe hotel. Pas udah nyampe, boro-boro lihat Kim melambaikan tangan, wong kaca mobilnya hitam begitu. Lihat rombongan mobilnya aja udah bersyukur.
Dalam keadaan lepek, aku dan Mas Rivan pun ngevlog. Kami sejak awal penugasan memang diminta untuk ngevlog. Ketika vlog udah diupload di Youtube, muncullah komentar dari kantor, "Kok yang di Singapura lepek amat? Nadia kok enggak dandan?". Padahal udah dandan, tapi makeupnya keburu luntur karena kepanasan kena keringat, jadi ya pasti lepek. Mana kepikiran touch up makeup.
ADVERTISEMENT
Dan masih dalam keadaan lepek, aku lanjut jalan kaki ke hotel tempat Trump menginap. Kali ini, aku beruntung karena bisa melihat langsung Trump melambaikan tangan ke arah kamera wartawan. Besoknya, aku kembali beruntung karena bisa melihat Kim dari dekat, ketika dia berkunjung ke Marina Bay Sands. Rasanya kayak lihat idola sendiri, padahal sampai sekarang ketemu idola sendiri pun belum heu.
Tapi, menurutku, menjaga relasi dengan narasumber itu menjadi salah satu tantangan sendiri. Selama meliput, narsum yang kutemui beragam. Mulai dari yang jawab pertanyaan to the point, sampai yang jawabnya muter ke sana ke mari. Bikin bingung pas mau bikin berita ini angle apa yang mau ditulis sih.
Belum lagi jaga relasi sama narsum. Ada narsum yang gampang banget dihubungi, ada juga yang susahnya minta ampun pas dihubungi, tapi rajin banget ngirim rilis. "Ngirim rilis mulu, jawab telepon akunya kapan, Mas dan Mbak?".
ADVERTISEMENT
Ini cukup membantu ketika Uji Kompetensi Wartawan beberapa waktu yang lalu. Meski memang awalnya agak susah karena narsum yang dipilihkan penguji waktu itu kok tumben-tumbennya susah dihubungi, nyatanya aku berhasil menghubungi beberapa di antaranya. Apalagi kalau dijawab, "Iya, Mbak Nadia. Gimana?" atau "Isu apalagi yang mau diminta tanggapannya, Mbak Nadia?". Ada kebanggaan tersendiri ketika narsum kenal dan langsung tahu aku mau nanya apa.
Dimarahin narasumber karena pertanyaan sendiri? Pernah. Saat doorstop di DPR, di hadapan belasan wartawan yang lain, aku kena 'semprot' seorang narasumber karena pertanyaanku. Aku lupa waktu itu nanya apa, tapi dia cukup sebel sama pertanyaanku. Bikin down enggak sih? Ya enggak juga. Malah di situ aku malah kagum sama diri sendiri karena bikin narsum sebel.
ADVERTISEMENT
Hampir 2 tahun jadi wartawan, tentu pengalamanku masih sangat kurang. Masih harus banyak belajar dari para senior di kumparan, pun belajar dari teman-teman lapangan kumparan.
Tapi jadi wartawan itu menyenangkan, sesuai dugaanku dulu, apalagi kalau udah ke lapangan, ketemu narsum, dan ketemu rekan sesama wartawan. Aku enggak mengajak kalian jadi wartawan, enggak, itu pilihan pribadi masing-masing. Hanya saja, aku cuma mau berbagi cerita kalau pekerjaan ini menyenangkan, dan enggak boleh kalian anggap remeh.