Sang Ustaz

Moh dzaky Amrullah
sedang kuliah di STIBA AR-RAAYAH
Konten dari Pengguna
26 Maret 2021 13:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moh dzaky Amrullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kegiatan anak pondok (dokumentasi kegiatan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kegiatan anak pondok (dokumentasi kegiatan)
ADVERTISEMENT
Ketika suara azan berkumandang, semua kawanku pergi ke masjid untuk salat, semuanya tak terkecuali, hanya saja aku selalu telat salat, ada saja alasan yang aku buat ketika sudah tiba waktu salat. Aku sudah terbiasa hidup di lingkungan pondok. Aku dibesarkan di lingkungan pondok, semua keluargaku termasuk orang yang dijadikan panutan di kampungku, kecuali aku. Aku dikenal sebagai anak yang nakal.
ADVERTISEMENT
Ketika aku mau di masukkan ke dalam pondok, aku selalu menolak. Bagiku pondok hanyalah penjara yang menyiksa, orang yang dimasukkan ke pondok pasti akan menderita. Entah orang lain merasakan demikian atau tidak, tapi aku dimasukkan ke pondok dengan paksaan orang tuaku.
Aku heran kenapa ada yang mau masuk ke pondok dengan kemauan sendiri, bagiku itu adalah hal yang aneh. Mungkin gara-gara paksaan itulah aku tidak pernah patuh pada peraturan di pondok. Walaupun begitu, aku dikenal sebagai anak yang cerdas, buktinya aku selalu mendapat peringkat pertama dalam kemampuan akademis.
Setiap hari pasti aku selalu membuat onar. Entah mengganggu santriwati yang lewat, melempari rumah kepala sekolah, ngutang jajanan di kantin tanpa bayar, atau lebih parahnya lagi aku sering mempermalukan ustaz di depan kelas. Bayangkan saja, waktu itu saat ustaz mau duduk di kursinya, dengan pura-pura tersandung aku memindahkan kursinya dan membuat ustaz terjatuh. Memang ustaz itu terkenal penyabar, saat itupun aku tidak dihukum sedikitpun.
ADVERTISEMENT
Biasanya ketika sudah masuk waktu azan aku akan pergi ke kamar mandi. Tiap kali aku diperingatkan teman-temanku bahkan kakak kelasku, namun mereka hanya akan menegurku sekali saja, sebab aku akan memukul mereka yang menegurku. Sudah lima kali lebih aku dibotak (santri botak lebih identik dengan kenakalan), namun tetap saja aku selalu membuat onar.
Aku pernah memukuli temanku sampai dia dibawa ke rumah sakit. Jujur, aku kecewa sama dia. Waktu itu aku menyembunyikan sepeda motor milik ustaz di kelas, aku harap dengan menyembunyikan itu aku akan di keluarkan dari pondok. Rencananya aku akan mengaku sendiri ketika ustaz bertanya mengenai sepeda motornya itu, namun sebelum rencanaku itu terlaksana ternyata temanku sudah memberitahukan letak sepeda motornya dan melaporkan bahwa aku pelakunya.
ADVERTISEMENT
Aku di pukuli dan dipermalukan di depan seluruh santri. Karna itulah aku memukuli temanku yang melaporkanku sampai di bawa ke rumah sakit. Orang tua anak itu datang ke pondok dan menuntutku untuk di keluarkan dari pondok, namun kata ustazku, “Kalau kami mengeluarkannya dengan keadaan demikian, itu tandanya kami gagal mendidiknya, dia belum siap untuk keluar,” itulah pertama kali aku agak lunak sama ustaz dan aku sedikit lunak dengan teman-temanku.
Tahun berikutnya setelah aku menyembunyikan motor milik ustaz itu. Aku ditunjuk sebagai ketua keamanan di pondokku. Awalnya aku tidak peduli dengan itu, bahkan aku sendiri yang menjadi pelanggar. Namun setelah aku menjalankan peranku menjadi ketua keamanan itu, aku mulai menegur teman-temanku yang melanggar, walaupun aku sendiri masih melanggar peraturan.
ADVERTISEMENT
Temanku yang biasa melanggar aturan pondok tiba-tiba memukulku dari belakang tanpa alasan yang jelas, tentu saja aku tidak terima dengan apa yang dia lakukan kepadaku. Aku balik memukulnya sampai dia pingsan, itu kedua kalinya aku membuat orang dibawa ke rumah sakit. Lagi-lagi, orang tua anak itu datang untuk memprotes supaya aku di keluarkan dari pondok dan lagi-lagi ustaz membelaku, “Sebentar lagi dia akan siap untuk keluar, sekarang dia belum siap.” Aku hanya terpaku dengan apa yang dilakukan ustaz kepadaku. Entah kenapa sejak saat itu aku tidak lagi ada niatan untuk keluar dari pondok, walaupun aku belum ada kemauan untuk berubah.
Tahun berikutnya adalah tahun ketiga sebelum aku lulus. Aku diangkat menjadi ketua santri pondok, jadi kedudukanku di atas para santri dan di bawah ustaz. Aku mulai heran dengan apa yang dilakukan ustaz itu padaku, nama beliau Suli, kami biasa memanggilnya dengan ustaz Suli. Aku memberanikan diri bertanya pada ustaz Suli kenapa dia mau memperlakukanku seperti ini, kenapa dia tidak mengeluarkanku saja, dan kenapa dia tidak pernah melaporkan keadaanku pada ayahku atau ibuku. Jawabannya membuatku seakan salah besar selama ini, seakan-akan aku adalah pendosa yang paling berdosa, “Kamu adalah anak yang baik, kalau saya mengeluarkanmu, itu tandanya saya membiarkanmu menjadi jelek, dan kalau saya melaporkan keadaanmu pada ayahmu itu sama saja saya gagal.”
ADVERTISEMENT
Namun setelah kejadian malam itu, aku harus berpisah dengan orang yang mau melindungiku di pondok. Malam itu, Dani yang sudah dua kali kubuat harus ke rumah sakit, membawa pisau, aku melihatnya akan menikam ustaz dari belakang. Spontan aku lari dan menghajarnya, sempat terjadi adu ketangkasan antara aku dan Dani, tanganku luka sebab sabetannya dan perutku robek, namun aku bisa membuatnya jatuh dan lagi-lagi dia dibawa ke rumah sakit. Itu adalah ketiga kalinya aku membuatnya di bawa ke rumah sakit.
Lagi-lagi orang tua Dani ke pondok menuntut supaya aku di keluarkan, dengan ancaman akan melaporkan ketidak jelasan sistem di pondok pada polisi. Selain itu, orang tua Dani memberikan pilihan apakan aku yang akan keluar atau Dani. Dan ustaz memilihku.
ADVERTISEMENT
Aku heran dengan keputusan ustaz kali ini, aku tidak bersalah namun aku yang harus di keluarkan. Sebelum aku harus pergi dari pondok, aku pamitan sama semua santri dan aku minta maaf atas apa yang telah aku perbuat. Aku mempersilakan orang yang pernah aku sakiti untuk membalasku, namun tak ada satu pun yang maju dan membalasku. Mereka mengatakan bahwa mereka sudah memaafkanku.
Yang paling aku ingat dari kejadian lima tahun lalu di pondok itu adalah ketika ustaz memanggilku ke ruangannya dan memberikan alasan kenapa aku yang harus keluar.
“Kenapa ustaz memanggil saya kesini?” kataku agak malu karna harus keluar dari pondok yang sudah aku cintai itu.
“Kamu sudah siap nak, dulu saya tidak melepasmu karna kamu belum siap.”
ADVERTISEMENT
“Kenapa bisa seperti itu ustaz? Saya malah merasa sekarang adalah waktunya saya siap menjadi santri, bukan setahun yang lalu.”
Ustaz Suli tampak tersenyum dengan apa yang aku katakan, dia memegang pundakku dan memelukku, “Santri itu siap keluar ketika dia mau mengorbankan dirinya untuk membela kebenaran dan kamu sudah membuktikannya dengan menyelamatkan saya dari Dani. Adapun kenapa saya tidak mengeluarkan Dani, Dani belum siap, dia sekarang belum siap layaknya kamu dua tahun lalu.”
Aku hanya bisa menangis di pelukan ustaz, aku tak mampu berkata-kata lagi, aku hanya bisa memeluknya erat, “Terima kasih ustaz telah mendidik saya,” kataku dalam diam.
Tiba-tiba ustaz melepaskan pelukannya “Sudahlah jangan menangis, baru kali ini saya melihatmu menangis. Ada apa? Kamu sudah siap untuk keluar dari pondok ini. Aku sudah menghubungi ayahmu agar memasukkanmu ke Madinah. Di sana ada teman saya, namanya Amin, dia sekarang melanjutkan S2 di sana. Hubungilah dia, saya yakin dia bisa membantumu di sana, saya juga sudah kasih kontaknya pada ayahmu. Sekarang pergilah.”
ADVERTISEMENT
Aku hanya bisa menangis tersedu-sedu. Aku merasa senang aku keluar dengan terhormat, aku juga bangga dengan berhijrah. Aku tidak tau kapan lagi akan bertemu dengan ustaz Suli, sebab setelah aku tiga tahun di Madinah, berita kematiannya sampai ke telingaku.
Dan itu adalah kejadian lima tahun yang lalu. Aku sekolah di Madinah atas bantuan kak Amin, itu panggilanku pada dia. Tahun besok aku akan kembali ke Indonesia lagi, semua urusanku di kuliah sudah selesai, aku berhasil menjadi lulusan terbaik untuk mahasiswa asal Indonesia dan aku langsung mendapat banyak tawaran pekerjaan di Indonesia. Entah pekerjaan itu sangat tinggi gajinya, namun bagiku saat ini aku harus kembali mengabdikan diriku ke pondokku dulu walaupun hanya dua tahun saja.
ADVERTISEMENT
Hal yang paling aku nantikan saat pulang ke Indonesia nanti adalah bertemu dengan keluargaku lagi dan aku mendapat bonus yang tidak pernah aku membayangkannya, tiga keluarga besar datang ke rumahku untuk melamarku. Satu dari santriwati yang dulu selalu aku ganggu, satu anak dari kepala desa di kampungku, dan satu adalah orang yang memang aku harapkan menjadi ibu dari anak-anakku.
Mungkin ini adalah jawaban dari doa-doaku selama ini, wanita berkerudung merah yang selalu ada di perpustakaan Universitas Madinah. Aku belum tau namanya sampai sekarang, tapi kata ibuku dia selalu memperhatikanku saat aku berada di perpustakaan.
Aku tidak akan pernah melupakan apa yang telah dilakukan ustaz Suli padaku, aku hanya bisa membantunya lewat doa. Karenanya aku hijrah dan aku sekarang bangga dengan berhijrah.
ADVERTISEMENT
Oleh: Moh. Dzaky Amrullah
Ilustrasi santri sedang mengaji. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan