Semuanya di Atas Kertas Elma

Moh dzaky Amrullah
sedang kuliah di STIBA AR-RAAYAH
Konten dari Pengguna
24 Maret 2021 14:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moh dzaky Amrullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi Elma
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi Elma
ADVERTISEMENT
Hidup tidak selalu berjalan mulus seperti apa yang kita inginkan, kadang senang, kadang susah. Tidak semestinya ketika senang, kita terlalu larut dalam kesenangan, sampai salah mengekspresikan kesenangan itu. Tidak pantas pula terlalu larut dalam kesedihan sampai lupa kalau Allah yang sedang menguji kita, menginginkan kebaikan dari ujian yang sedang diberi-Nya.
ADVERTISEMENT
Dunia penulisan pun sama, kadang seorang penulis berada di titik tertinggi, ia bisa menumpahkan semua idenya pada kertas kosong, mulai merangkai kata demi kata sampai tersusun menjadi kalimat. Namun ada pula saatnya penulis kehilangan arah, semua ide yang ada di kepalanya hilang begitu saja, mungkin saja ada, namun ia tak mampu menuangkannya dalam kertas.
Elma, penulis yang mengabdikan dirinya pada tulisan. Sehari tanpa menulis adalah hari terburuknya, ia tak pernah melewatkan harinya tanpa menulis, apa saja yang bisa ia tuangkan pada kertas, maka coretan di kertas kosong pun akan menemani harinya.
Elma sudah banyak menulis cerpen, puisi, esai, resensi buku, opini, dan berbagai tulisan ilmiah, yang berbau non fiksi. Karyanya banyak dimuat di koran-koran terkenal, majalah terkenal, bahkan ia sudah menerbitkan buku hasil karyanya sendiri yang berjudul "Dongeng Abadi".
ADVERTISEMENT
Puncak tertinggi yang pernah diraih Elma dalam dunia kepenulisan adalah ia pernah mendapat penghargaan di Kasula Sastra Khatulistiwa. Salah satu cerpennya yang sangat monumental dan penuh tanda tanya berhasil membawanya sampai ke titik itu. Namun, bukan itu yang menjadi tujuannya dalam menulis, titik tertinggi yang ia harapkan adalah tetap menulis dan tidak melewatkan harinya tanpa menulis. Begitulah puncak menulis dalam dirinya, Elma.
Sekarang Elma berada dalam titik yang paling ia benci, titik nadir. Sekarang ia kehilangan semua idenya, entah apa yang akan ia tulis, semuanya hilang, kosong.
Sesekali Elma pergi ke Indomaret dekat rumahnya, mengharap akan menemukan ide untuk tulisannya. Sudah jam delapan siang, namun belum juga ide itu muncul.
ADVERTISEMENT
Jalan setapak ia lalui bersama kucing kesayangannya, rupanya ayam cemburu melihat kucing yang dimanjakan oleh majikannya itu, burung pun demikian, semua hewan yang melihat kucing berjalan bersama Elma cemburu. Elma menggendong Rubiy sambil mencium manja kucing coklat pemberian almarhum ayahnya itu.
Sampai di ujung jalan setapak, Elma mendapati jalan buntu, buntu jalannya, buntu pula otak Elma. Ide itu belum muncul di kepalanya.
Sesekali satpam menanyai Elma apa yang sedang ia kerjakan, mungkin satpam itu takut Elma ingin mencuri sesuatu di rumah pak Satman, sang pemilik rumah mewah di ujung gang buntu itu.
Elma beranjak pulang dan mencoba membuka laptop milik ayahnya dulu. Ia mulai membuka Word 2006. Kata demi kata sudah tersusun rapi, sudah hampir kesatuan katanya menjadi sebuah paragraf utuh, namun, ia tak mampu membuat pokok kalimat. Dihancurkannya kembali kata-kata yang sudah ia susun rapi. Ia mencoba mengembalikan kata-kata yang sudah ia robohkan, namun tak bisa, ia belum menemukan ide itu.
ADVERTISEMENT
Elma pergi ke masjid untuk melaksanakan salat zuhur, ia akan meminta pada Tuhan agar idenya dikembalikan sebagaimana hari-hari sebelumnya yang tak pernah ia lalui tanpa sebuah tulisan.
Dengan khusyuk penuh harap Elma mulai meminta, mengadukan semua keluhnya pada Sang Maha Pencipta, jika memang sudah hilang ide yang dari dulu menemaninya, Elma berharap Sang Pencipta mau memberikannya ide baru yang bisa menemani harinya di atas kertas kosong.
Elma kembali membuka laptopnya, namun ide itu belum ada. Sesekali ia mengeluh, mengesalkan permintaannya barusan pada Tuhan yang tak segera diberikan. Namun Elma tak berhenti berusaha, mungkin buku hariannya bisa membantunya. Elma membuka buku hariannya, mencoba mengarahkan pulpen untuk membentuk berbagai macam huruf. Nihil, usahanya tak membuahkan hasil.
ADVERTISEMENT
Elma mungkin butuh istirahat, membiarkan sejenak ide-idenya tak kembali padanya, mungkin sebentar lagi ide itu kan kembali padanya lewat bunga-bunga tidurnya. Selamat tidur Elma.
Elma memasuki sebuah gerbang besar, di sana banyak sekali penjaga yang menggunakan seragam berwarna merah dan putih, ia disambut oleh seorang yang sangat tampan, dipersilahkannya masuk melewati gerbang besar itu, mungkin besarnya seukuran dua bus ekonomi jurusan Madura-Jakarta, Elma menaiki dokar, mirip dengan dokar yang banyak beroperasi di Malioboro, namun Elma menaikinya secara gratis dan tidak harus menawar harga untuk menaiki dokar itu, sedangkan di Malioboro Elma harus menawar menyesuaikan keadaan dompet. Orang yang mengemudikan dokar itu juga tampan, sesekali pengemudi itu melihat Elma yang sedang tersipu malu.
ADVERTISEMENT
“Pulang Elma!” kata pengemudi dokar itu.
“Tidak, aku ingin sampai ke kastil yang sangat besar itu, nanti setelah aku berkeliling memasuki kastil itu baru akan pulang.”
“Pulanglah dan lanjutklan tulisanmu yang belum selesai.”
"Gamauuuu!"
“Elma, Elma,” suara yang entah dari mana muncul “Makan nak, kamu belum makan siang.”
Ternyata, ibu Elma sudah berada di samping kasur Elma membawakan makan siang anak semata wayangnya itu. Ibu takut Elma jatuh sakit karena dari pagi belum makan dan berkeliling tanpa sepengetahuan ibunya.
Elma terbangun dan menghabiskan semua makanannya. Elma menceritakan pengalamannya bersama pemuda tampan menaiki dokar pada ibunya dan apa yang Elma kerjakan seharian ini. Elma menanyakan pada ibunya di mana ia akan mendapatkan ide jika semua ide sudah tiada.
ADVERTISEMENT
Ibu memeluk erat Elma, “Sekarang kamu pejamkan matamu, pikirkan kertas kosong itu perlahan terisi, biarkan imajinasi Elma bermain, biarkan ia.”
“Iya ibu, aku melihat ayah.”
“Jangan kau buka matamu, terus saja.”
“Ayah mengajakku bermain ibu.”
“Jangan ikut.”
“Kenapa ibu?”
“Bilang pada ayah, tulisanmu belum selesai.”
“Baik bu, tapi ayah pergi bu, aku takut kehilangan ayah yang kedua kalinya.”
“Sudah, sekarang buka mata Elma.”
Elma menangis di pelukan ibunya, “Elma butuh ayah bu, Elma rindu ayah, kapan kita akan menyusul ayah bu? Akankah ayah bahagia di sana bu?”
Ibunya hanya tersenyum pada Elma. Ibu pergi meninggalkan Elma dengan segelas teh hijau dan biskuit kesukaan Elma di meja belajar Elma. Laptop Elma juga ternyata sudah dibukakan ibu dengan Microsoft Word-nya. Elma hanya tinggal menulis.
ADVERTISEMENT
Elma mendekati kursi belajarnya, menyeruput teh hijau kesukaannya, melahap perhalan biskuit terlezat dengan resep turun temurun dari buyut neneknya. Elma membiarkan perasannya mengalir, dikosongkan pikirannya, ia biarkan jarinya menari di atas keyboard, dibiarkannya jarinya memilih di mana mereka akan menginjakkan kakinya pada huruf pilihan mereka.
Perlahan huruf demi huruf berubah menjadi kesatuan kata, ia biarkan fonem menemani irama kata yang ia ucap dalam hati dan morfem yang mengimbangi gerakan fonem. Kini kata yang sudah tersusun rapi berubah menjadi suatu kalimat.
Terus saja jari-jari Elma menari mengikuti irama keyboard yang menuntun alunan syahdu, tak terasa Elma sudah sampai pada suatu paragraf. Elma masih asyik membiarkan jarinya menari
Kini Elma yang terbawa alunan, Elma mulai menari tanpa mengangkat jari-jarinya di atas keyboard. Kini paragraf sudah banyak, satu demi satu paragraf saling berhubungan.
ADVERTISEMENT
Akulah Elma. Kubiarkan rasa mengalir mencari ide yang hilang. Kini engkau kembali.