Mengenal Lebih Jauh tentang Smiling Depression

Nadiyah Fadhilatun Nisa
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya 2020
Konten dari Pengguna
1 Januari 2021 16:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadiyah Fadhilatun Nisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Fake Smile. https://images.app.goo.gl/isWdT6FH1rj34uZY6
ADVERTISEMENT
Menurut Organisai Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), terdapat 300 juta orang di seluruh dunia yang menderita depresi, dan sebagiannya menyembunyikan depresi di balik senyuman dan melakukan segalanya seakan baik-baik saja. Seseorang yang melakukan smiling depression ini mungkin tidak terdeteksi karena mereka menjalani aktifitas nya dengan sangat rapih, melakukan kegiatan dengan aktif, ceria, dan sangat optimis menggambarkan bahwa mereka ‘terlihat’ bahagia. Dari sudut pandang orang lain, mereka akan tampak seperti seseorang yang memiliki pekerjaan tetap dengan kehidupan keluarga dan sosial yang baik pula.
Sifat ini sulit untuk didiagnosis oleh psikolog karena sifatnya yang anti-thesis atau berkebalikan. Orang-orang yang memutuskan untuk melakukan smiling depression biasanya memiliki alasan-alasan tertentu untuk memilih tetap terlihat “baik-baik saja” dihadapan orang lain. Mereka mungkin merasa bahwa mereka akan menjadi beban ketika ia menunjukkan perasaan sebenarnya, sehinga mereka memilih untuk tetap berusaha baik-baik saja di depan orang lain. Mereka juga mungkin menganggap bahwa masalah yang dihadapi tidak sebesar masalah yang dimiliki orang lain. Mereka yang tidak nyaman oleh kelemahan, ketidakberdayaan dan rasa sakit memilih untuk menutup semua rasa penderitaannya dengan tersenyum. Yang dilakukan ketika mereka bertemu orang lain tentu terbalik dengan apa yang mereka lakukan saat sendirian, bisa saja ia sangat merasa sepi, sendiri dan terhimpit oleh semua emosinya. Tersenyum mampu membuat dirinya lebih merasa diterima oleh masyarakat, pun kita sejak kecil dididik untuk selalu bahagia, tersenyum dan menjadi manusia sempurna di hadapan orang lain. Namun, mereka yang memiliki perilaku smiling depression ini bisa jadi telah merasakan gejala-gejala depresi yang dialami, hanya saja tidak mau menerima keadaan dan menolak kenyataan bahwa diri ini sedang tidak baik-baik saja (denial), mereka yang merasakan ini tentu tidak mau untuk mencoba mencari bantuan.
ADVERTISEMENT
Faktor-faktor pemicu orang dapat menjadi smiling depression adalah karena adanya beberapa perubahan yang signifikan dalam kehidupannya, seperti putus cinta, perceraian dalam kehidupan pribadi. Merasa tidak dicintai atau dikucilkan membuat pergolakan batin bagi setiap orang sehingga juga dapat memicu terjadinya smiling depression. Seseorang dapat menjadi pelaku smiling depression juga tidak menutup kemungkinan bahwa mereka pernah mendapat pengalaman traumatis seperti kekerasan fisik atau seksual yang pernah mereka alami di masa sebelumnya.
Di masa pandemi ini, tentu membuat sebagian orang melakukan social distancing, sehingga banyak menghabiskan waktu dengan gadget kemudian larut dalam kehidupan media sosial. Hal ini harus dihindari karena juga bisa menjadi trigger bagi seseorang yang mudah merasa kecil hati karena apa yang mereka lihat tentu akan memengaruhi kondisi mental mereka.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari Health Line, mereka yang berperilaku smiling depression cenderung memiliki resiko melakukan suicidal atau bunuh diri yang lebih besar daripada mereka yang menunjukkan depresinya secara terang-terangan. Meskipun demikian, baik depresi yang ditunjukkan secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi, tentu mereka sama-sama merasakan sakit atau nyeri yang digolongkan dalam nyeri psikogenik (nyeri atau rasa sakit yang disebabkan atau diperburuk oleh faktor psikologis), prosesnya disebut nosisepsi. Proses nosisepsi ini merupakan proses merasa sakit, inilah waktu dimana otak kita akan memproses dan memberi tahu kita untuk bereaksi terhadap rasa sakit.
Pada contoh smiling depression ini, bisa kita ambil contoh ketika seseorang yang berperilaku smiling depression ini merasakan sakit, reseptor khusus akan mengenali rasa sakit itu. Kemudian, reseptor yang terhubung ke neuron mengirimkan sinyal rasa sakit, dan neuron ini menghubungkan reseptor ke bagian sumsum tulang belakang, sehingga sinyal nyeri kemudian ditransfer ke otak, dan otak menerima dan memproses sinyal untuk menginformasikan tubuh untuk bereaksi. Dalam proses ini, beberapa tahap rasa sakit dapat diblokir sebelum mereka mencapai otak, seperti orang yang mengalami smiling depression, mereka mengatakan bahwa mereka baik-baik saja dan tidak merasa sakit atas apa yang mereka alami. Sinyal nyeri ini diblokir untuk memungkinkan sensasi emosi bergerak ke otak, sehingga kedua jaringan saraf berbagi jaringan yang sama (Samiadi, 2020).
ADVERTISEMENT
Terkadang, penderita smiling depression kurang mengetahui dan sadar mengenai apa yang mereka rasakan bahwa mereka sebenarnya membutuhkan pertolongan di balik senyum cerianya. Smiling depression tentu bisa dicegah sebelum berkembang menjadi depresi yang lebih parah yang dikhawatirkan dapat berujung suicidal.
Untuk mencegah mereka dapat bercerita dengan mengutarakan perasaan sejujurnya pada orang terdekat mereka yang dapat dipercaya agar beban mental tidak semakin menumpuk, apabila merasa kesepian, jangan ragu dan hilangkan rasa takut merepotkan kepada orang terdekat untuk meminta bertemu atau menghabiskan waktu bersama agar juga dapat terhindar dari screen-time yang terlalu lama. Kondisi smiling depression bisa dialami oleh siapapun, agar tidak berkembang menjadi depresi yang lebih berat, lebih baik mencegah hal-hal pemicu untuk dapat merusak suasana mental kita. Jika butuh pertolongan yang mendesak atau merasa tidak punya seseorang yang bisa dipercaya, cobalah meminta bantuan ahli seperti psikolog ataupun psikiater untuk membantu memberikan solusi yang baik tanpa menghakimi.
ADVERTISEMENT