Orientalisme dalam Narasi Konflik Israel-Palestina Pasca 7 Oktober & Nakba 1948

Nailah Ariani Putri
Political Science Student at University of Indonesia
Konten dari Pengguna
7 April 2024 1:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nailah Ariani Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Tristan Sosteric on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Tristan Sosteric on Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Konflik antara Israel dan Palestina telah menjadi sorotan utama dalam lanskap politik global yang memicu perdebatan sengit dan emosi yang mendalam. Konflik ini kembali membangkitkan perhatian dunia, seiring dengan peristiwa penting yang terjadi di Gaza pada 7 Oktober 2023 dan sejarah panjang Nakba 1948 yang melatarbelakanginya.
ADVERTISEMENT
Tahun demi tahun, perjuangan terhadap hak, keadilan, dan kemerdekaan terus diperdebatkan hingga mengakibatkan penderitaan yang tak terhingga bagi masyarakat Palestina dan meninggalkan jejak trauma yang mendalam. Namun, dalam diskusi global seringkali terabaikan aspek-aspek mendasar. Khususnya, terkait bagaimana pandangan dan penafsiran Barat tentang Palestina yang seringkali dipengaruhi oleh Orientalisme yang telah membentuk dinamika konflik secara keseluruhan.
Nakba 1948: Where It Begins
Nakba, kata Arab untuk “bencana”, merupakan sebuah pengusiran secara paksa terhadap lebih dari 700.000 masyarakat Palestina dan penghancuran 418 desa Palestina yang menjadi elemen krusial dalam pendirian negara Israel pada tahun 1948. Peristiwa Nakba bermula sejak lahirnya Deklarasi Balfour dan terus berlanjut hingga saat ini. Masyarakat Palestina secara rutin dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka di Yerusalem. Sementara itu, masyarakat Palestina di Gaza tetap terjebak di daerah yang paling padat penduduknya di bumi dan hidup di bawah blokade yang mungkin menjadi keadaan yang paling menyiksa dalam sejarah modern.
ADVERTISEMENT
Setelah memperoleh dukungan dari pemerintah Inggris untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina, tepatnya pada tanggal 14 Mei 1948, segera setelah Mandat Inggris berakhir, pasukan Zionis mendeklarasikan pendirian negara Israel yang menyebabkan pecahnya perang Arab-Israel pertama. Pasukan militer Zionis mengambil alih 78% dari wilayah Palestina. Dilansir Al Jazeera, Minggu (15/5/2022), sementara sisanya, sebesar 22% dibagi menjadi wilayah yang sekarang menjadi Tepi Barat yang diduduki dan Jalur Gaza yang dikepung.
Peristiwa Pasca 7 Oktober 2023
Pada 7 Oktober 2023, ketegangan dalam konflik Israel-Palestina mencapai puncaknya setelah Hamas melancarkan serangan yang tidak terduga. Hal tersebut mengakibatkan rusaknya pertahanan Israel dari berbagai arah, baik dari pertahanan darat, udara, maupun laut. Sebagai respons, Israel meluncurkan agresi militer pada keesokan harinya, yang menargetkan Jalur Gaza. Agresi ini menyebabkan banyak korban jiwa dan menghancurkan pemukiman warga sipil, tempat ibadah, rumah sakit, dan sekolah. Korban pembunuhan dan pembantaian massal terutama melibatkan perempuan dan anak-anak.
ADVERTISEMENT
Invasi yang dilakukan oleh militer Israel ke Palestina merupakan sebuah upaya genosida terhadap warga sipil Palestina. Konflik saat ini ditandai sebagai fase kekerasan yang paling mematikan bagi masyarakat Palestina sejak berdirinya Israel pada tahun 1948. Hal tersebut dibuktikan oleh Kementerian Kesehatan Gaza yang mengindikasikan bahwa jumlah korban jiwa telah melampaui 23.000 orang dalam waktu kurang dari tiga bulan.
Lensa Teori Orientalisme Edward Said pada Konflik Israel-Palestina
Dalam konteks ini, penggunaan lensa teori Orientalisme seperti yang digagas oleh Edward Said dapat diintegrasikan untuk mengungkap ketidakseimbangan kekuasaan, representasi yang tendensius, dan dampaknya terhadap masyarakat Palestina. Edward Said menekankan bahwa esensi Orientalisme terletak pada perbedaan yang tak terhapuskan antara superioritas Barat dan inferioritas Timur sehingga kita harus melihat perkembangannya dan sejarah selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Pada konflik Israel-Palestina, pandangan Orientalisme tercermin pada cara Barat memahami dan merespons konflik tersebut. Dilansir CNBC, Senin (18/12/2023), negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris menjadi contoh negara-negara yang mendukung kuat Israel, terlepas dari kecaman dunia terhadap aksi yang dilakukan oleh Zionis Israel di Gaza. Hal tersebut terbukti dari penggunaan hak veto Amerika Serikat pada forum Dewan Keamanan PBB yang menolak usulan resolusi gencatan senjata di Gaza dan Inggris yang memutuskan untuk abstain. Oleh karena itu, kebijakan luar negeri Barat yang mendukung Israel dapat diungkap melalui pandangan Orientalisme tentang superioritas Barat dan inferioritas Timur.
Secara lebih lanjut, dampak Orientalisme pada konflik Israel-Palestina sangat signifikan. Representasi yang tendensius dan dominasi politik Barat telah memperkuat ketidaksetaraan kekuasaan antara Israel dan Palestina, membenarkan tindakan represif Israel, dan menghambat upaya perdamaian. Orientalisme juga memengaruhi persepsi dan sikap masyarakat internasional terhadap konflik.
ADVERTISEMENT
Dengan mengakui adanya pengaruh pandangan Orientalisme dalam konflik Israel-Palestina, kita dapat memahami bahwa perjuangan ini bukan hanya tentang pertempuran fisik, melainkan juga tentang pertempuran pemahaman, keadilan, dan representasi.