'Aaah' Abah... (Refleksi dari Film Keluarga Cemara)

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
3 Januari 2019 6:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Artis Keluarga Cemara (Foto: Munady Widjaja)
zoom-in-whitePerbesar
Artis Keluarga Cemara (Foto: Munady Widjaja)
ADVERTISEMENT
Mari belajar lagi, tentang mencintai dengan lebih baik dari film ini. Membayangkan Abah, sebagaimana hampir semua ayah, punya persiapan yang “seadanya” untuk memahami peran dalam keluarga. Berlawanan dengan kebanyakan emak dan perempuan lainnya yang sejak kecil sudah bermain pura-pura dengan boneka atau pernikahan idaman panjang lebar dalam khayalan.
ADVERTISEMENT
Hal yang penting kita pahami, laki-laki jauh lebih kompleks -dan lebih pandai- dari yang diungkapkan dengan jawaban favoritnya “biasa aja” atau “baik-baik saja” ketika ditanya tentang berbagai hal -sepulang sekolah atau kerja. Kalimat yang paling sering saya terima dari (calon) ayah saat berbagi cerita adalah takut salah atau merasa bersalah. Bayangkan betapa berat tuntutan ayah pada dirinya -yang sering kali kita diskon hanya karena laki-laki jarang mengungkapkannya.
Di sini, Abah di Keluarga Cemara, yang jadi pahlawan tetapi juga menyatakan kebutuhan dengan terbuka -menjadi teladan yang bermakna. Ekspresi emosi yang dinyatakan tanpa perlu banyak kata, terasa berbeda dengan penokohan Batman yang emosinya monoton skalanya. Saya pencinta cerita Gotham, tetapi setiap kali menonton filmnya bersama laki-laki di keluarga, sulit untuk tidak geli sekaligus sedih -melihat betapa datarnya ekspresi Bruce Wayne menghadapi masalah.
ADVERTISEMENT
Topengnya bahkan sampai ke kadar “berbahaya” bila budaya yang terus kita tumbuhkan adalah laki-laki tidak bisa dan mau merasa. Alfred seolah jadi pembaca pikiran yang serba bisa, sementara di dunia nyata -jutaan laki-laki berbagai usia jadi gender yang lebih sering disalahpahami oleh perempuan di sekitarnya.
Kita sering lupa, ekspresi yang berbeda membuat kita menganggap laki-laki tidak menginginkan bantuan -padahal menjadi bagian dari hubungan yang penuh dukungan tidak bertentangan dengan kemaskulinan. Banyak angka yang memprihatinkan saat melihat fenomena yang terjadi pada laki-laki berbagai usia di dunia saat ini -dari mulai tingkat prestasi saat studi yang cenderung menurun dibanding perempuan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi -sampai jumlah kasus depresi dan bunuh diri yang jauh lebih banyak dalam populasi.
ADVERTISEMENT
Laki-laki dan perempuan terlahir berbeda fitrahnya, dari mulai struktur anatomi mata sampai fungsi, organisasi dan jaringan otaknya. Debat tentang pengaruh bawaan versus pengasuhan dalam perbedaan jenis kelamin makin ditinggalkan, karena makin banyak penelitian menunjukkan bahwa perbedaan selalu ditimbulkan oleh kedua faktor bersama-sama, bukan salah satu yang dominan semata.
Abah “tumbuh” bersama Emak dan anak-anak perempuannya, tidak dengan mudah. Cerita Film Keluarga Cemara menggambarkan prosesnya dengan indah. Abah yang banyak mendengarkan Emak dengan penuh perhargaan - tanpa menyalahkan. Abah yang melihat kesulitan sebagai kesempatan, membuat Euis dan Ara nurut bukan karena takut. Abah yang punya keinginan “masuk goa” dan kecendrungan menyimpan rahasia, reaksi yang sering dipilih laki-laki saat gundah -tetapi juga ada suasana canda dan ekspresi manja yang terasa wajar dan perlu lebih sering muncul di film Indonesia ketika menampilkan berbagai sisi tentang ayah.
ADVERTISEMENT
Dinamika pertemanan Abah dan Emak juga digambarkan dengan apik karakternya -tanpa membandingkan mana yang lebih baik daripada gender lainnya. Lensa yang peka pada lingkaran sosial laki-laki dan perempuan yang sejak dini pun berbeda. Abah dan Romli berbeda dengan Emak dan Ceu Salma saat perempuan berinteraksi dengan bertukar tatapan dan berhadapan dalam percakapan. Laki-laki berinteraksi dengan bahu-membahu sambil sibuk melakukan sesuatu untuk menghindari suasana yang kaku.
Saya mengingat kembali, dan mengakui bahwa saya masih sering memaksa diskusi para laki-laki dalam hidup ini dengan cara-cara yang tidak nyaman untuknya. Alih-alih berterima kasih atas kesediannya bercerita, berempati pada perjuangannya merangkai kosakata, banyak kita yang memilih menginterogasi. Film ini akan jadi contoh nyata cara berkomunikasi dalam keluarga.
ADVERTISEMENT
Jelas sekali, afirmasi dan upaya kita mengubah budaya dan label stigma, juga perlu diupayakan untuk laki-laki di sekitar kita, yang kadang dikorbankan -dengan atau tanpa sengaja. Pengaruh pergaulan dan tekanan lingkungan selama ini lebih sering diperbincangkan oleh dan dari sudut pandang perempuan, padahal banyak laki-laki menghadapi tuntutan yang sama besarnya berkait nilai dan etika, misalnya dalam perundungan ataupun pencitraan sosial media.
Adegan-adegan yang terlihat sederhana di Film Keluarga Cemara, sebenarnya dalam maknanya. Film ini bisa memantik percakapan bermakna dalam keluarga kita, lama setelah menontonnya. Walaupun kemungkinan besar ibu atau anak perempuan masih mendominasi pembahasannya -jangan lupa mengapresiasi ayah dan anak laki-laki yang sedang belajar untuk memahami diri dan dunia keluarga.
ADVERTISEMENT
Kalaupun jawabannya hanya “Aah...”, dengarkan bukan hanya apa yang dikatakannya tetapi bagaimana mata dan tubuhnya jadi jauh lebih bercahaya saat tahu bahwa cintanya pada keluarga dipahami dan sampai ke hati -walau dibuktikan dengan cara yang berbeda.
Harapan tambahan untuk semua yang berjasa dalam pembuatan film Keluarga Cemara, saya luar biasa penasaran bagaimana Abah akan berinteraksi bila peran yang harus dijalankannya adalah menjadi ayah anak lelaki -semoga dapat kesempatan lagi menikmati lanjutan ceritanya dalam film kedua. Ayo ke bioskop segera, hari ini mulai tayangnya!
Catatan:
Banyak pembaca yang tahu bahwa Gina S.Noer dan Anggia Kharisma - produser Film Keluarga Cemara (Gina juga menulis skenarionya), adalah dua perempuan yang saya sayangi sepenuh hati, dan penggambaran karakter perempuan di film ini juga penuh inspirasi (favorit saya Ara, yang dimainkan baik sekali oleh Widuri, yang sejak dulu memikat hati di dunia nyata dan sekarang membuktikan juga memesona di sinema).
ADVERTISEMENT
Tetapi, tulisan ini tentang Abah, tokoh yang paling membuat saya berpikir panjang saat dan setelah menonton filmnya. Untuk Ringgo dan Yandy, terima kasih sudah membawanya kembali ke layar kita dan percakapan keluarga! Janji ya, terus berkarya dan membawa suara para Abah.
#kembalikekeluarga #keluargakita