Cinta di Persimpangan Jalan: Bekerja atau Tidak Bekerja

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
11 Juli 2018 18:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Keluarga Berencana (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Keluarga Berencana (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Tidak ada perempuan yang menjalankan hanya satu peran. Menjadi ibu sekaligus anak dan saudara, istri sekaligus menantu dan ipar, ditambah lagi dengan kewajiban lain yang semuanya hadir dengan tuntutan.
ADVERTISEMENT
Sebetulnya, tidak ada satupun dari kita yang kekurangan pekerjaan. Saat ini, apalagi dengan digitalisasi teknologi, perempuan bekerja termanifestasi dalam bentuk yang berbeda, dari mulai jam yang beragam, lokasi kantor yang tidak konvensional, atau aktivitas kerelawanan.
Dengan definisi seluas ini, sebenarnya jumlah ibu yang berkarya di luar rumah, luar biasa besarnya di negeri kita. Di sisi lain, dukungan bagi para ibu ini, seringkali tidak sebanding dengan kontribusinya. Berbagai hambatan, bahkan celaan, masih menjadi bagian dari keluhan harian yang kita alami dari lingkungan. Sebagai perempuan, membuat pilihan memang seringkali menjadi tantangan.
Padahal, kehidupan dan pengasuhan selalu tentang pilihan. Kebahagiaan pun seringkali berkaitan dengan perasaan, pikiran, dan tindakan kita sebelum, selama, dan sesudah mengambil keputusan. Satu hal yang sering saya nyatakan, saat mendengar ibu bekerja, jangan merasa bahwa bahagia adalah kondisi yang jadi makin jauh bagi kita. Pilihan bekerja bukan pilihan untuk mengorbankan keluarga.
ADVERTISEMENT
Memang, hal “sederhana” seperti menyusui menjadi lebih menantang saat harus memompa ASI atau mengajak bayi ikut di rapat kerja. Tetapi ada begitu banyak pengalaman pengasuhan yang membanggakan, justru saat bisa melakukannya dalam keterbatasan.
Pilihan bekerja bukan pilihan untuk melawan kodrat. Betul, banyak yang jengah saat suami penghasilannya lebih rendah atau ikut mengurus rumah tangga. Tetapi ada begitu banyak perkawinan yang menyenangkan, walau kondisinya di luar kebiasaan.
Bahagia dalam arti sesungguhnya, bukan hanya tentang hilangnya rasa bersalah atau bisa membuktikan keberhasilan pada dunia, tetapi tentang keterlibatan aktif dalam kegiatan yang bermanfaat, kekuatan dalam hubungan yang nyaman dan menghangatkan. Bahagia bukan hanya tentang emosi, tapi tentang aksi dan kontribusi.
ADVERTISEMENT
Pengalaman menjadi ibu yang mencintai keluarga dengan lebih baik, membantu kita menjadi pekerja yang lebih memahami visi dan etika profesi. Pelajaran menjadi pimpinan yang mencapai misi organisasi ataupun korporasi, membantu kita menjadi ibu yang lebih bisa bernegosiasi sekaligus berempati.
Kita berada di titik perjalanan yang berbeda. Apa tujuan pengasuhan dan juga tujuan pengembangan diri sebagai perempuan? Refleksi diri, dilakukan teman-teman yang sedang dalam proses eksplorasi dan saat ini di persimpangan, bahkan untuk ibu bekerja seperti saya yang sudah melakukannya tahunan tetapi tetap masih diliputi keraguan.
Buat apa sekolah tinggi bila hanya untuk mengganti popok bayi? Untuk apa gaji tinggi bila gagal mendidik anak mandiri? Bagaimana berkomunikasi dengan pasangan dan mempraktikan pujian? Menghadapi kecemasan, menumbuhkan keimanan, menyelesaikan perselisihan --ibu bekerja butuh dukungan untuk memformulasikan dan menjawab banyak pertanyaan.
ADVERTISEMENT
Pengasuhan adalah urusan bersama. Semua tindakan yang kita lakukan hari ini, tidak hanya akan memengaruhi diri sendiri, tetapi memengaruhi anak cucu kita lintas generasi. Tidak ada orang tua yang sempurna, tapi kita semua bisa bahagia dan membahagiakan sesama.
-----------------
Catatan; tulisan ini dibuat sebagai pengantar untuk buku “Happy Working Moms” karya teman saya Rima Olivia