news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Demokrasi Domestik yang Membuat Frustrasi

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
7 November 2022 9:09 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ibu rumah tangga kelelahan. Foto: StoryTime Studio/shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ibu rumah tangga kelelahan. Foto: StoryTime Studio/shutterstock
ADVERTISEMENT
Saya dulu meyakini, bahwa kurangnya keterlibatan laki-laki dalam berbagai pekerjaan rumah tangga dipengaruhi oleh tidak adanya kesempatan kontribusi karena kehadirannya di rumah yang lebih minim dari istri. Suami yang jarang menyaksikan susahnya mengatur menu atau mudahnya memasak, tentu kurang dapat membayangkan tantangan sekaligus kenikmatan urusan penyiapan makanan. Ayah yang tak melihat keseruan anaknya dalam permainan aktif atau keruwetan tugas sekolah untuk penilaian sumatif, sering tak yakin kapan dan bagaimana ia bisa berperan konstruktif.
ADVERTISEMENT
Saya juga termasuk kelompok orang yang dulu percaya bahwa “keterpaksaan” di rumah saja selama wabah, akan mengubah pola tingkah laku dan hubungan kita dalam keluarga. Tapi ini dulu, sebelum saya, yang selalu optimis dalam melihat kesempatan berubah kemudian berhadapan dengan realita.
Semua data, di golongan sosial ekonomi dan pendidikan menengah-tinggi atau bawah, menggambarkan bahwa keterlibatan laki-laki di rumah tak meningkat sama sekali walaupun kehadiran fisiknya saat karantina menjadi hampir 24 jam sehari selama wabah. Statistik berguna untuk dua hal bagi kita yaitu menunjukkan betapa salahnya asumsi saya, sekaligus membuat kita perlu memberikan apresiasi luar biasa kepada siapa pun laki-laki di sekitar kita yang menyimpang dari rata-rata dan memilih berbagi peran dengan istri/ibu yang dicintai. Sebelum dituduh tidak menghayati kodrat sebagai perempuan atau memperjuangkan feminisme yang memusuhi laki-laki, saya garisbawahi juga bahwa kesetaraan yang hakiki, bukan soal porsi kerja di rumah yang sama rata terbagi. Kemampuan bernegosiasi dan saling berempati dalam memenuhi ekspektasi, kondisi khusus dalam hubungan dan preferensi yang dinyatakan oleh suami-istri dan ayah-ibu dalam menjalani kesepakatan sehari-hari, adalah indikator kunci.
ADVERTISEMENT
Sedihnya, penelitian tentang kesetaraan gender dan perubahannya di masa ini, menopang frustrasi yang saya miliki. Dari sudut jumlah jam yang dihabiskan, data dari pertengahan tahun 1990an menunjukkan bahwa waktu ayah dalam mengasuh anak meningkat 7 menit sejak 1980. Dan sampai kini, termasuk di masa pandemi, tidak ada peningkatan lagi yang berarti. Persepsi sosial akan tanggung jawab perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan yang tak berhubungan dengan hamil, menyusui dan melahirkan, jelas berat sebelah sampai 2022. Sebagian kita bahkan memutarbalikkan slogan “girl can do anything” yang kerap dianggap memberdayakan perempuan, menjadi “woman must do everything” yang jelas-jelas menimbulkan beban tambahan dan membuat perempuan tidak mendapatkan bantuan yang dibutuhkan.
Di antara berbagai propaganda yang kita kumandangkan selama ini tentang karier dan kepemimpinan perempuan di abad ke-21, kita lupa bahwa perjuangan asal dalam pengurangan kesenjangan ini dimulai dari upaya perubahan di rumah sejak ratusan tahun lalu. Peran di rumah seperti merawat balita, manula atau pemimpin rumah tangganya, jelas sudah ditanamkan sebagai peran terutama bagi banyak perempuan sejak berabad-abad lampau, “prestasi” apa pun yang kita akan sematkan pada identitas keperempuanan tidak akan pernah sebanding apabila dianggap bersaing dengan capaian sebagai anak, orang tua, dan pasangan. Pahlawan-pahlawan yang memulai langkah ini sejak dulu, dengan gigih menyatakan: Kesetaraan perempuan di dunia kerja, tidak akan mungkin terjadi tanpa kesetaraan peran di pekerjaan rumah.
ADVERTISEMENT
Harus juga diakui, bahwa laki-laki di masa kini, generasi milenial dan generasi Z, punya pandangan yang jauh lebih egaliter terhadap kesetaraan gender antarpasangan, sikap yang lebih positif tentang keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Survey menunjukkan, mereka punya aspirasi yang jauh lebih tinggi untuk juga sukses dalam karier dan dalam peran sebagai ayah dan suami. Survey juga menunjukkan ini, tidak termanifestasi dalam perubahan perilaku sehari-hari, terutama setelah pernikahan dikaruniai buah hati.
Fakta ini tentu bukan berarti semua perempuan naif saat mempercayai janji (calon) suami, atau semua laki-laki melanggar komitmennya sendiri, tetapi tanda bahwa gerakan perubahan apa pun tidak bisa hanya tergantung pada intensi individual dari satu orang perempuan dan laki-laki, tanpa adanya perubahan praktik di tempat kerja, percakapan terbuka di ruang keluarga dan media massa serta penegakan peraturan dari pemerintah. Laki-laki pun menghadapi berbagai hambatan struktural, di norma masyarakat atau di budaya institusi, yang menyulitkan bahkan menghalanginya untuk memilih lebih banyak memberikan waktu dan sumber daya bagi keluarga di luar “tugas” gender tradisional yang dinisbahkan kepadanya sebagai kepala rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Mari saya bawa Anda ke komplikasi lainnya soal demokrasi domestik ini. Bahkan untuk perempuan-perempuan yang punya kemewahan dan bisa mendapatkan bantuan untuk berhasil di rumah maupun dalam bekerja, selalu ada perempuan-perempuan lain yang menjadi lingkaran pendukungnya. Sebelum kita beramai-ramai melabel ini sebagai bentuk solidaritas antarperempuan, pastikan bahwa sesama perempuan yang bekerja di sektor informal ini bukan hanya mendapatkan haknya atas pekerjaan yang layak tetapi juga diperlakukan sebagai manusia dengan beragam peran termasuk perlu menyeimbangkan kehidupannya sebagai istri dan ibu bagi keluarganya sambil menjadi pekerja rumah tangga. Teriris selalu hati saya, membayangkan remaja perempuan di bawah umur yang putus sekolah demi bekerja sebagai pembersih rumah untuk menjadi sumber penghasilan bagi orang tua dan adik-adiknya, atau ibu muda dengan bayi yang baru beberapa minggu disusuinya dan harus datang ke Jakarta karena terbelit utang rentenir atas kegagalan panen suami dan keluarga besarnya.
ADVERTISEMENT
Semua ketidaksetaraan gender yang menodai kehidupan domestik dan kita ratapi, sejatinya tidak pernah menjadi kemenangan perempuan itu sendiri dan tidak juga bermanfaat jangka panjang anak yang perlu mendapat contoh tentang keadilan dan keberpihakan dalam kehidupan sehari-sehari. Yang jelas diuntungkan? Kapitalisme yang membayar murah berbagai ongkos “pengorbanan” perempuan di pekerjaan rumah tanpa bayaran, bahkan masih mempertahankan upah lebih rendah untuk perempuan yang bertahan dengan jam kerja tak manusiawi di kantor atau pabrik yang mewajibkan.
Menulis tentang ini melelahkan, tetapi tak ada apa-apanya dibanding sahabat-sahabat perempuan dalam keterbatasan yang mendaki segala kesulitan ini sepanjang hidupnya.
Apa yang perlu kita lakukan bersama?
Kalau sebelum wabah global saya percaya bahwa pengalaman berhadapan dengan ketidaknyamanan dan kesenjangan akan melipatgandakan motivasi kita, maka di titik ini saya percaya bahwa sekadar meminta, tanpa menuntut perubahan radikal, akan memakan waktu terlalu lama dan mengundang krisis-krisis berikutnya. Yang saya paparkan bukan nirvana, banyak sekali pelajaran dari negara-negara dalam konteks yang mirip dengan Indonesia yang sudah mengekskalasi perkembangannya di isu gender dan kesetaraan. Subsidi untuk pendidikan anak usia dini misalnya, jelas bukan mimpi yang ambisius untuk negara yang sudah lebih dari 72 tahun berdiri, melainkan investasi yang esensial untuk menjadi fondasi peradaban negeri. Kita WAJIB melakukan imajinasi ulang, mengumandangkan manifesto penting untuk kenormalan yang baru yang mendorong revolusi dalam demokrasi domestik ini. Tanpa demokrasi di unit terkecil bangsa yaitu keluarga, yang relasi di antara anggotanya adalah interaksi yang akan menentukan masa depan kita semua, jangan harap Indonesia bisa mewujudkan cita-cita kemerdekaannya.
ADVERTISEMENT