GIRL POWER (Bisa Jadi) Solusi Resesi

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
7 November 2022 8:06 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi wanita karier. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wanita karier. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Resesi kali ini, yang dipengaruhi pandemi, berbeda dengan banyak peristiwa serupa dalam sejarah. Wabah memengaruhi perempuan bekerja, terutama ibu bekerja, jauh lebih besar dari kelompok lainnya. Beberapa ahli menyebut resesi sebagai she-cession atau mom-cession karena beban domestik berlipat ganda (termasuk karena penutupan sekolah yang tak berkesudahan periodenya), kepuasan kerja yang terus menurun dan persentase perempuan mengalami PHK yang terus meningkat (karena pelemahan sektor retail yang banyak mempekerjakan perempuan misalnya), juga jumlah perempuan yang memilih berhenti bekerja naik drastis dibanding sebelumnya. Tentu saja perempuan dalam kondisi ekonomi lemah dan yang lebih minim dukungan, misalnya ibu tunggal yang tak memiliki lingkaran keluarga besar dan ibu dengan tingkat stress tinggi tanpa keterlibatan pasangan, secara tak proporsional jauh lebih tidak diuntungkan.
ADVERTISEMENT
Sejak dari buaian hingga usia pensiun dan kematian, data menunjukkan bahwa perempuan hidup dalam berbagai keterbatasan pilihan yang menyebabkan kita sangat rentan pada kemiskinan. Dana cadangan yang dimiliki perempuan, lama harapan pendidikan, secara signifikan lebih rendah dibanding laki-laki. Jelas, di saat krisis berlanjut hingga saat ini dan beberapa tahun ke depan nanti, pemulihan setengah hati yang mengabaikan afirmasi pada perempuan tidak akan menjadi solusi. Peran perempuan selama ini, seringkali menjadi asuransi bagi kehidupan keluarga dan masyarakatnya dalam memitigasi berbagai kesulitan yang dialami. Tidak sedikit contohnya, misalnya: saat suami kehilangan pekerjaan formalnya, istri dengan segera masuk ke sektor informal, ibu juga lebih mudah mendapatkan pinjaman mikro karena konsistensi pembayaran cicilan, perawat (yang sebagian besar perempuan) bekerja lembur tanpa istirahat dalam penanganan kasus covid-19 di berbagai pusat kesehatan. Di saat resesi, pemangku kebijakan yang menolak memastikan keterlibatan perempuan dalam pemenuhan ekonomi, jelas sedang berkhianat pada mereka yang selama ini menyelamatkan bangsa.
ADVERTISEMENT
Salah satu intervensi jangka pendek yang sudah mulai banyak diberlakukan di organisasi adalah skema yang lebih fleksibel untuk bekerja dari mana saja, atau dengan pengaturan waktu yang lebih sesuai bagi perempuan dengan multiperannya. Tetapi, sekadar memberi pilihan ini saja, tak cukup untuk menghalangi perempuan di sekitar kita “leaning out” dari pengembangan kariernya. Fleksibilitas dalam bekerja perlu dicontohkan oleh pemimpin tertinggi, termasuk oleh laki-laki yang perlu berperan melawan persepsi yang menguat selama wabah yaitu perempuan lah yang perlu “berkorban” dalam berbagai tugas rumah tangga.
Sektor jasa pelayanan dan pengasuhan, bidang di mana banyak perempuan memilih profesi, akan terus punya prospek yang sangat cerah di berbagai situasi. Dunia kesehatan, pariwisata atau pendidikan anak usia dini, yang selama ini didominasi perempuan di berbagai posisi, terbukti menjanjikan lapangan kerja lebih besar dibanding sektor industri yang didominasi laki-laki. Periode ini adalah periode yang luar biasa penting untuk terus mendukung peningkatan kompetensi berkelanjutan untuk semua perempuan yang akan atau telah memasuki bidang-bidang strategis ini!
ADVERTISEMENT
Investasi Infrastruktur yang mendorong pertumbuhan kemajuan harus didefinisikan ulang bukan hanya tentang pembangunan di akses transportasi/perhubungan atau perbankan. Tetapi juga di bidang pendidikan dan pengasuhan, yang selama ini digeluti perempuan, yang bukan saja berdampak langsung ke pertumbuhan pendapatan, tetapi secara tidak langsung menghasilkan dividen sosial pada kesejahteraan (mental) seluruh komponen masyarakat. Bayangkan apa yang kan terjadi misalnya bila kualitas pengasuhan balita atau manula tidak mumpuni? Perkembangan sumber daya manusia dan produktivitas keseluruhan warga pasti akan terpengaruhi! Sudah waktunya pekerjaan yang tak berbayar (misalnya: memasak, membersihkan rumah atau logistik domestik lainnya) atau dibayar sangat rendah (misalnya: penitipan anak atau reproductive labour yang sejenisnya), mulai diberi kompensasi lebih tinggi dan diakui sebagai kontribusi pada daerah bahkan bangsa, yang sangat berarti!
ADVERTISEMENT
Peran para pengambil keputusan, menjadi sangat sentral dalam segala upaya ini, karena data menunjukkan bahwa perempuan yang berhenti bekerja akan masuk kembali ke sektor formal di jabatan yang lebih rendah. Yang memilih bekerja paruh waktu, selama atau sesudah pandemi, juga akan kehilangan banyak kesempatan promosi. Penyediaan ekosistem dukungan misalnya, perlu memastikan krisis di pengasuhan anak tidak berkepanjangan dengan memberikan insentif lebih pada berbagai bentuk kolaborasi antar pemangku kepentingan. Transparansi di cara kerja korporasi contohnya, perlu juga menjamin bahwa kesenjangan gaji antar perempuan dan laki-laki tidak makin lebar dan justru bisa dieliminasi di masa resesi.
Saya, dan semoga juga Anda, punya kemarahan besar atas berbagai ketidakadilan yang dihadapi perempuan. Tapi jangan-jangan, kita semua juga punya porsi kesalahan atas ketidaksanggupan berbagai upaya untuk mengejar capaian perempuan yang bahkan sebelum wabah pun, tidak pernah setara. Memiliki “girl power”, kepercayaan diri sendiri tak pernah cukup mumpuni. Kita perlu seiring selangkah dalam cara untuk mencapai emansipasi bagi semua. Indikator keberhasilan dan upaya individual tidak akan pernah bisa mengatasi kesenjangan. Yang paling dibutuhkan adalah kesuksesan kolektif yang dimulai dari narasi yang tidak diskriminatif.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang amat penting digarisbawahi, kondisi mental perempuan, banyak yang gagal pulih setelah pandemi. Kekhawatiran meningkat dalam ketidakpastian, kasus gangguan makan, dan burn out dalam pekerjaan terjadi di berbagai kalangan. Teman-teman psikolog melihatnya sebagai tsunami, yang tentunya tak datang tiba-tiba, karena bahkan sebelum wabah, lelah berkepanjangan lebih sering dialami perempuan, gangguan kecemasan terjadi 4x lebih banyak, dan kasus depresi 2x lebih sering dibanding laki-laki. Yang paling banyak merasa kehilangan kendali akan hidupnya? Ibu dengan anak balita dan juga remaja perempuan dalam transisi menuju dewasa.
Berbagai upaya dari perempuan-perempuan ini yang mengandalkan kekuatan personal untuk membangun koneksi, gagal mengatasi isu kesehatan jiwa ini. Menyelesaikan masalah ini, lagi-lagi, bukan hanya terapi orang per orang atau upaya merawat diri, walau hal ini juga tetap penting dijalani. Kita perlu program-program berkelanjutan yang mengubah budaya di organisasi bahkan legislasi yang akan mengubah penderitaan kolektif menjadi pemberdayaan kolektif lintas generasi. Kita perlu meninjau kembali dinamika kuasa bukan hanya antar perempuan dan laki-laki, tetapi juga antarperempuan, yang berasal dari kelompok berbeda di masyarakat Indonesia yang heterogen ini.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan jelas bukan hanya persoalan sebatas pekerjaan, karier dan ekonomi. Siapa yang mendapat otonomi atas tubuhnya, mengapa ada sebagian yang punya risiko lebih menjadi korban kekerasan di rumah, hal ini juga bukan hanya soal kapasitas perempuan untuk membuat pilihan-pilihan yang lebih menguntungkan! Kita perlu menghentikan kemunafikan yang melupakan bahwa ombak perbaikan hanya membawa sebagian kita ke papan atas, sementara ombak penurunan kualitas kehidupan, selalu menyeret yang selama ini paling terpinggirkan.
Pandemi, sebagaimana semua krisis, menjadi kesempatan perubahan. Kegawatdaruratan beberapa tahun belakangan, jelas merugikan banyak sekali perempuan dengan berbagai latar belakang. Kesigapan dan komitmen kita ke depan, akan kembali menghadapi ujian. Kalau sebelumnya kita gagal membuat ibu dan nenek kita keluar dari lingkaran masalah, sekarang saatnya membuat anak dan cucu kita bangga. Katanya, “You can’t be what you can’t see”, tapi ini tentu saja bukan ajakan menyerah! Mari menunjukkan pada semua, bahwa disrupsi pada cara kerja dunia setelah wabah, membawa gelombang perubahan yang juga akan mendorong pemenuhan cita-cita perempuan semua usia.
ADVERTISEMENT