Lebih Muda x Lebih Tua

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
24 Oktober 2022 8:17 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Remaja Perempuan Foto: Plan International
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Remaja Perempuan Foto: Plan International
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Susah sekali memahami anak muda saat ini, keluhan yang tak berhenti saya terima dari yang lebih tua, di dalam keluarga maupun tempat kerja, bahkan di pertemanan generasi yang berbeda. Berapa pun usianya. Pimpinan berumur 51 yang menjadi atasan seseorang berumur 25, atau Ibu berusia 42 dengan anak di 16 tahun usianya. Tak peduli kalau ada aturan formal dalam berpakaian, atau terlalu kayak tante-tante saat berdandan, kurang menunjukkan kinerja dalam pekerjaan atau malas-malasan saat harus ujian.
ADVERTISEMENT
Mustahil rasanya punya hubungan yang mulus dengan orang tua dan semua kerabat rumah, kesimpulan sang remaja atau pekerja muda yang disampaikan pada saya. Banyak yang merasa, semua yang dilakukannya dianggap salah serta yang dilakukan para orang tua lebih banyak aneh dan tak biasa. Susah sekali mengelola emosi bahkan di lingkungan kerja yang multigenerasi, karena banyak alat komunikasi dan teknologi yang tak pernah bisa digunakan mumpuni oleh yang lebih tua walau sok ingin trendi. Begitu banyak bias yang tak disadari, tapi lantang dinyatakan dalam interaksi sehari-hari. Prasangka antar kelompok yang lebih muda dan lebih tua, bahkan sudah nyata dalam pikiran masing-masing sebelum saling mengenali, dan pada akhirnya konflik demi konflik terjadi. Hubungan jadi pengalaman memalukan bagi yang lebih muda atau penuh kekurangajaran menurut yang lebih tua.
ADVERTISEMENT
Praktik komunikasi, bukan intensi yang tak terlihat dan tak berbunyi, memang selalu jadi kunci sukses atau gagalnya interaksi. Coba berhenti sejenak di sini dan buat daftar apa saja bias yang kita miliki tentang yang lebih tua (misalnya pasti gagap teknologi atau sering menyebarkan hoaks sebagai hobi) atau prasangka atasan, orang tua dan guru akan remaja dan dewasa muda (moody, kalau bisa mager terus saja di rumah tanpa mengerjakan tugas kecuali dipaksa). Kita bahkan menormalisasi, perundungan dengan nama kekerasan “kecil” di antara keduanya (sarkasme anak yang mulai dewasa pada saat melihat inkonsistensi orang tua dan balasan dari yang lebih tua dengan berbagai ancaman “mencabut” dukungan finansial misalnya)
Yang sering jadi permasalahan antar generasi adalah topik gender dan seksualitas, juga religiusitas. Akarnya adalah ketegangan yang muncul karena nilai yang bergeser dari sebelumnya, perilaku atau identitas yang berbeda antar kita yang tumbuh di era berbeda. Wajarkah? Tentu sangat wajar dengan pengalaman hidup yang juga berbeda. Pun tak ada perselisihan di topik-topik “besar” tadi, riset menunjukkan perbedaan signifikan di tahun kelahiran setidaknya pasti muncul dalam tiga hal berikut ini.
Ilustrasi orang ngomong nggak didengerin. Foto: theshots.co/Shutterstock
Pertama, pemahaman tentang kerja keras dan usaha. Motivasi, apa yang dipercaya tentang karier, kesuksesan dan polanya sangat berbeda antar generasi. Di saat yang lebih tua merasa bahwa mereka bekerja jauh lebih keras dan mau berusah-susah, generasi yang lebih muda sering dianggap mau dapat enaknya saja. Di sisi yang berbeda, generasi yang lebih muda merasa mereka work smarter not harder, dan menganggapnya sebagai pilihan yang lebih baik dibanding ayah-ibunya yang berinvestasi berlebihan pada jam kerja. Semua kita pernah mengalaminya, walau dari sisi yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Sumber pertentangan yang kedua, sebagaimana mungkin Anda duga, berkait dengan teknologi. Label soal generasi muda yang lebih high tech, dibanding generasi tua yang lebih low tech, jelas muncul karena memang perbedaan ini nyata sehari-hari, walaupun tidak selalu bisa digeneralisasi. Banyak contoh kakek-nenek yang menggunakan gawai terkini, perbedaan antar generasi dalam hal ini sesungguhnya adalah perbedaan preferensi. Untuk generasi yang langsung terlahir di dunia digital, teknologi adalah alat. Untuk digital natives, teknologi adalah bagian dari kehidupan. Teknologi lebih dari sekadar didayagunakan untuk sebuah keperluan, berada di dunia maya adalah bagian dari permainan, hiburan, pergaulan. Tak heran debat tentang mana yang berlebihan, apakah waktu di semesta tersebut bermanfaat dan sebagainya, sangat sulit dimitigasi apalagi saling dipahami. Jangankan generasi yang puluhan tahun beda usianya, yang saya amati, bahkan antara murid yang duduk di bangku kelas 1 SMA dengan yang di SD kelas 5 misalnya, ada pola penggunaan media sosial dan cara “bergaul” yang sangat berbeda.
ADVERTISEMENT
Seperti yang sering kita lalui juga, preferensi berkait teknologi ini sebenarnya juga memengaruhi beberapa ketegangan yang berkait cara komunikasi. Beberapa perilaku yang umum ditemui pada yang lebih muda, misalnya, saat di kantor lebih jarang memilih rapat tatap muka, atau remaja yang saat bicara tidak melakukan kontak mata, menguatkan asumsi bahwa yang lebih muda cenderung menghindar dari interaksi yang bermakna atau punya defisiensi dalam sosialisasi yang menurunkan kualitas interaksi antarsesama.
Sebelum Anda mengangguk setuju dengan semua uraian komparasi tadi, mari segera melihat apakah ada karakteristik yang sebenarnya sama-sama dimiliki lintas generasi.
Riset menunjukkan kolektivitas masih sama tingginya antara generasi, bagaimana mereka peduli, ingin terasosiasi dengan kelompok yang diminati dan menjadi aspirasi, keinginan saling menolong dan seterusnya tetap menjadi bagian yang penting bagi yang lebih tua maupun lebih muda. Dalam konteks bekerja misalnya, kedua generasi menghargai dan sangat ingin terlibat dalam hubungan mentorship yang akrab.
ADVERTISEMENT
Kemampuan untuk bisa menemukan resolusi dari konflik yang terjadi, plus bukan hanya komunikasi yang korektif, tetapi juga preventif mencegah adanya konflik antargenerasi, jelas wajib kita latih. Kalau sebelumnya ada di antara kita yang enggan mendengar atau belajar dari generasi yang berbeda, maka sekarang waktunya berubah. Kalau ada yang sebelumnya juga lebih banyak diam dan melihat ketegangan ini sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, merasa ini sebagai hal kecil, tak mau merusak hubungan atau memperkeruh suasana dengan berbicara, maka sekarang juga waktunya percaya bahwa komunikasi dengan intensi tulus memperbaiki, tak pernah memperburuk masalah.
Persepsi yang berbeda, wajar adanya. Tetapi membiarkan persepsi lintas generasi menjadi bias yang tak dibahas, prasangka yang dipercaya tanpa dipertanyakan oleh kita bahkan sampai perundungan dari yang lebih tua ke lebih muda atau sebaliknya, tentu amat sangat berisiko bagi kita semua.
ADVERTISEMENT
Anda mungkin juga terkejut, kalau saya mengatakan bahwa perbaikan komunikasi ini bukan saja perlu dilakukan di dunia nyata, tetapi perlu diinisiasi justru dari media sosial sebagai jembatannya.
Walaupun kita seringkali langsung emosi pada saat mendengar bias yang dinyatakan dalam percakapan sehari-hari, penting untuk mengingat bahwa bias seringkali tidak disadari. Jadi, menggunakan “It-Statement”, kalimat “saya” menyatakan apa yang dirasa dan apa yang diharapkan dari lawan bicara, jadi sesuatu yang penting dilatihkan secara konsisten di ruang rapat maupun keluarga. “You-statement”, pernyataan “kamu” yang bernada menuduh dan kontraproduktif, memberi label pada lawan bicara, hanya akan meningkatkan eskalasi emosi dan konflik yang terjadi.
Jauh lebih baik menyatakan bahwa ibu merasa tidak didengar kalau sambil makan tetap ada HP, dan berharap semua bisa saling bercerita dengan hangat tentang hari yang dilaluinya, sambil mengingatkan satu momen seru saat terakhir kali ngobrol bersama. Bandingkan reaksi yang berbeda yang akan muncul jika ibu yang sama, langsung menuduh sang remaja tak peduli pada keluarga dan mementingkan teman saja, kecanduan pada gadget dan tak menghormati orang tua yang sudah bersusah payah mengasuhnya. Pemerasan emosional, bukan resolusi konflik ini namanya.
Ilustrasi komunikasi terjaga dengan rekan kerja. Foto: Shutterstock
Prasangka, yang disadari bahkan kadang dinyatakan dengan lantang dengan niat menyakiti, agak lebih kompleks diatasi. Seorang senior di tempat kerja misalnya, tanpa ragu seringkali menggurui bahwa junior baru di organisasi belum punya reputasi untuk bekerja sejajar sebagai sejawat atau berpendapat dalam diskusi. Boro-boro dipercaya melakukan presentasi, bahkan kadang diledek di depan anggota tim sendiri.
ADVERTISEMENT
Cara mengatasi yang terbukti efektif mendorong budaya berbeda? Sekali lagi bukan dengan saling menyerang antar kita, tetapi dengan menunjukkan prasangka yang ada. Gunakan “It-Statement”, secara langsung dan tenang menyatakan bahwa menertawakan sesama kita “tidak sopan/tidak tepat/tidak lucu/tidak membantu” dan tidak membuat yang diragukan jadi individu yang merasa didukung untuk maju. Kemudian, buktikan bahwa dengan cara kerja yang berbeda pun, yang lebih muda bisa mencapai indikator kinerja. Reaksi lugas terhadap seseorang yang punya prasangka, memang tidak langsung mengubah pandangan mereka, seringkali juga tidak membuatnya menjadi lebih ramah kepada kita. Tetapi setidaknya, kita semua belajar bahwa tidak ada seorang pun yang berhak memaksakan apa yang dia percaya. Dalam banyak situasi konflik antar generasi, hasilnya memang tidak instan hari ini, yang selalu saya yakini: It is our job to push the rock, not to move the rock. Penghambat komunikasi, hanya akan berubah dengan lini masa prosesnya sendiri, tetapi setidaknya, kita bisa menjadi contoh bagi yang lain di kelompok kerja.
ADVERTISEMENT
Di interaksi keluarga, atau interaksi tempat kerja, banyak sekali teladan tentang generasi yang lebih tua dan lebih muda yang saling belajar dan melengkapi kelebihan serta kekurangan masing-masing kita. Bagaikan pohon-pohon yang tumbuh bersama, akar dari masa yang berbeda, saling menguatkan sepanjang masa. Kehangatan interaksi, mitigasi dan resolusi konflik akan terjadi sebelum tereskalasi menjadi frustasi yang tak terkendali.
Kesadaran dari yang lebih tua bahwa kita mungkin salah, inisiatif dari yang lebih muda untuk bertanya tentang cara yang paling pas dalam interaksi keduanya, kesediaan untuk hadir (existing) di waktu-waktu penting seperti makan bersama, terbukti jadi strategi yang mencegah konflik terjadi. Sementara yang diam saja, marah dan membiarkan bias serta prasangka ini menjadi kanker yang menggerogoti, akan mengalami kesulitan untuk mencapai tujuan interaksi.
ADVERTISEMENT
Variasi nilai atau preferensi komunikasi, memang butuh terus menerus dikalibrasi. Latihan, kesabaran, percobaan, akan mendatangkan keberhasilan. Rumus ini jadi sangat penting agar kita semua mampu menavigasi estafet antargenerasi di kehidupan.