Mau Jadi Apa dan Mau Bikin Apa?

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
2 Agustus 2021 17:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi pixabay.com
ADVERTISEMENT
Dua pertanyaan dalam judul ini sangat berbeda, walau keduanya berbicara tentang cita-cita. Yang pertama berkait dengan identitas dan profesi, yang kedua berkait dengan tujuan dan bentuk kontribusi. Untuk anak-anak kecil kita, pertanyaan pertama bisa dijawab dengan lucu (Nishrin, putri saya, saat batita sempat ingin jadi kupu-kupu 😂) tapi bahkan untuk remaja dan pemuda, jawabannya pun sering kali hanya hasil meniru tanpa pemahaman yang utuh.
ADVERTISEMENT
Jadi youtuber atau jadi dokter atau enterpreneur-semestinya bukan sekadar soal kekerenan label, apalagi di generasi terkini dan dunia saat ini, seseorang bisa menjalankan berbagai pekerjaan di saat bersamaan atau berganti profesi di masa produktif yang makin panjang. Sebagai perbandingan, rata-rata umur dunia di mana seseorang mulai bekerja (paruh waktu, sambil sekolah, dan status lainnya) adalah 15 tahun, sedangkan rata-rata waktu pensiun saat ini ada di antara 65-67 tahun. Bayangkan melalui 50 tahun hidup Anda-dengan terpaksa, tanpa merasa punya suara-karena pilihan karier yang salah, nyaris sama dengan memilih (calon) pasangan yang salah dan jadi pendek jodohnya.
Pilihan karier adalah kombinasi dari bidang yang ingin kita dalami sampai menjadi ahli walau prosesnya perlu mentoleransi frustasi, dari kegiatan yang kita sukai dan akan dengan sukarela dilakukan sendiri walau tanpa gaji tinggi, dari sektor yang kita yakini nilai-nilainya penting walaupun mayoritas penduduk dunia belum percaya bahkan menentang.
ADVERTISEMENT
Kata kuncinya bukan ahli, sukai dan nilai-tetapi frustrasi, tanpa gaji tinggi dan tantangan. Tiga hal ini adalah bagian tak menyenangkan yang seringkali dihindari, tetapi hampir selalu jadi latar belakang terkuat dalam menentukan karier yang paling cocok untuk diri. Bayangkan, apabila kita tetap memutuskan bahwa menjalaninya dalam kondisi tidak ideal seperti ini, artinya kita bukan hanya akan punya motivasi tapi juga dedikasi. Kita bukan hanya memulai dengan tujuan sukses untuk diri sendiri tetapi siap terus mengasah kompetensi yang dibutuhkan hidup bermakna tercapai.
Sepanjang perjalanan-sebagian kita mantap dengan pilihan, sebagian kebingungan karena kebanyakan atau sebaliknya tak punya preferensi dan belum tahu apa yang diinginkan. Argumen yang paling sering diutarakan-minat terlalu luas, ada halangan biaya ke perguruan tinggi atau pendidikan vokasi, orang tua punya ambisi berbeda yang harus ditaati ataupun keraguan umum karena tak percaya bahwa diri punya modal yang dibutuhkan untuk membuat keputusan.
ADVERTISEMENT
Seberagam apa pun alasannya-kalau dirunut akarnya, hampir semua kembali pada kurangnya waktu yang dihabiskan untuk memahami alternatif karier yang bisa dipilih, kurangnya pengalaman mencoba sekaligus menguji diri dalam konteks bekerja di bidang yang berbeda. Dengan kata lain kurang meneliti dan kurang introspeksi-tetapi tentu ini bukan hanya soal diri sendiri, karena kesempatan berkait juga dengan dukungan lingkungan, maka yang sering kali juga minim dalam interaksi adalah kurang negosiasi.
Yang masih sering mengherankan untuk saya hingga saat ini-harapan tidak realistis dari begitu banyak kita bahwa kemampuan meneliti, introspeksi dan negosiasi bisa muncul secara instan di ujung masa pendidikan sebelum wisuda SMA atau sarjana, tanpa pengembangan dimensi cerdas yang melatih penalaran, refleksi yang membiasakan proses metakognisi serta komunikasi yang membantu mengekspresikan gagasan.
ADVERTISEMENT
Mata pelajaran atau mata kuliah yang jadi kesempatan persiapan? Tentu bukan hanya bimbingan karier atau konseling dengan jadwal terbatas. Inspirasi karier kita dapatkan dari pendidik yang berkarya dengan sungguh-sungguh dalam menjalankan profesinya. Saya berhutang banyak sekali pada guru musik saya di SD yang terus berkreasi, guru tata negara saya di SMA yang rutin menulis opini, dosen Psikologi Eksperimen saya di UI yang melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat ke penjuru negeri. Temuan peneliti di pelajaran fisika atau biologi bukan hanya berguna untuk rumus menyelesaikan soal yang akan dipakai tetapi jadi teladan imajinasi dan kreativitas tinggi menemukan pola yang jadi solusi. Saat kita menganalisa sajak berima atau lini masa sejarah, sekaligus jadi pemantik pemahaman tentang kearifan budaya dan menemukan pekerjaan yang perannya dibutuhkan dalam konteks lokal daerah.
ADVERTISEMENT
Pemilihan karier bukan prioritas kesekian setelah lulus ujian, tapi pengembangan berkelanjutan yang mesti menjadi tujuan-lewat bimbingan, pengenalan, praktik lintas disiplin ilmu sepanjang tahapan pendidikan. Seleksi masuk jurusan, pemilihan tempat magang atau pelatihan, kecocokan renumerasi dengan pola hidup yang diinginkan, tentu bagian dari proses ini dilalui, tetapi jangan sampai menjadi distraksi. Kenyataannya? Percakapan tentang karier dijejalkan di sela-sela persiapan tes terstandard, periode magang dipersulit atau dipersingkat dengan alasan banyak materi yang lebih penting dituntaskan, pertanyaan tersering dari murid dan mahasiswa soal pekerjaan adalah standard gaji yang ditawarkan perusahaan.
Pengalaman di dunia usaha sejak dini bukan sekadar untuk mengikuti trend revolusi 4.0 di industri, apalagi mensukseskan agenda kapitalisasi. Karier adalah konteks penting dalam tumbuh kembang, bukti nyata kompetensi yang dipraktikkan.
ADVERTISEMENT
Belajar untuk bekerja, harus berjalan beriring dengan bekerja untuk belajar. Secara paradigma, ini bukan tentang “siapa cepat dia dapat” - tetapi tentang “siapa tepat dia akan melompat”. Pemenang sesungguhnya, generasi yang akan menjadi pembaharu bangsa, menemukan kecocokan karier dan kepuasan makna kehidupan sekaligus jadi bagian tak ternilai bukan hanya untuk pergerakan perekonomian tapi kemajuan kemanusiaan.
Tentu saja ada kondisi profesi yang sedikit berbeda, seperti atlet yang proses pembibitan dan puncak kariernya mengikuti pola yang tak umum di pekerjaan lainnya, atau situasi rentan di pekerjaan keterampilan rendah yang persiapannya juga jenjang pengembangannya lebih terbatas dibanding kebanyakan kita. Saya akan urai mengenai dua topik ini di tulisan ketiga dan keempat esok dan lusa ya!
ADVERTISEMENT
Untuk yang ketinggalan tulisan pertama rangkaian 17-an di seri #merdekaberkarier #merdekaberkarya bisa cek di sini https://bit.ly/PekerjaanPertamaTakPernahBerhentiDampaknya