Menormalisasi Cuti bagi Ayah

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
21 April 2022 10:18 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ayah menggendong bayi baru lahir. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ayah menggendong bayi baru lahir. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
(Catatan Hari Kartini 2022)
Cuti bagi ayah, bukan hanya jarang dibahas bersama, tetapi bahkan jarang digunakan oleh yang berhak mendapatkannya. Karenanya, saya mulai tulisan ini dengan menyatakan bagian terpenting yang perlu kita kampanyekan bersama: cuti bagi ayah, PENTING BAGI AYAH!
ADVERTISEMENT
Kelahiran anak membutuhkan waktu untuk beradaptasi, mengelola emosi dalam menghadapi bayi dan memulai peran mengasuh bagi semua laki-laki. Persalinan (dan kehamilan), berpengaruh besar bukan hanya pada ibu yang secara biologis melaluinya. Persalinan (dan kehamilan) juga berdampak di berbagai aspek kehidupan ayah (baru maupun lama), kita melihat dan mendengarnya di sekitar kita.
Sayangnya, masih banyak laki-laki yang menyembunyikan kebutuhannya karena khawatir terhadap stigma. Terlebih lagi, kalau kebutuhan ini sampai membuat ayah “perlu cuti” bekerja. Buat banyak laki-laki, kalau tidak terpaksa, tak mungkin ia mengambil waktu untuk berkonsentrasi di rumah dalam peran sebagai ayah. Fakta menunjukkan secara total hanya 1% ayah di berbagai profesi mengambil cuti setelah kelahiran bayi. Data dari kantor yang menganjurkannya pun, hanya 30-50% ayah yang menjalankannya.
ADVERTISEMENT
Akarnya adalah diskriminasi profesional yang jarang diungkapkan. Siapa yang mengambil cuti dengan alasan keluarga, bukan hanya diejek atau dianggap beda sendiri, tetapi kehilangan kesempatan naik gaji dan promosi. Tak heran, penghambat utama normalisasi cuti bagi ayah, adalah sang ayah. Laki-laki yang khawatir bahwa kehadirannya bagi anak dan ibu di rumah, menghambat pelaksanaan kewajibannya yang “lebih besar” sebagai pencari nafkah.
Karenanya, kita butuh lebih banyak lagi laki-laki yang mendobrak bias ini. Laki-laki yang memberikan teladan bahwa peran ganda dan kesuksesan di karier maupun rumah tangga adalah tujuan semua suami dan ayah yang bekerja. Yang juga terbukti berhasil mengubah budaya? Teladan dari pemimpin-pemimpin laki-laki di korporasi dan organisasi. Kelompok papan atas yang diidolakan dan menjadi “standard” ini, sering justru jadi penghambat (kadang tanpa disadari). Mereka mencontohkan sikap kerja tanpa jeda, bahkan saat keluarga dan perannya bagi putra-putrinya, membutuhkan kehadiran penuh darinya.
ADVERTISEMENT
Di Hari Kartini ini, kalau Anda adalah pengambil keputusan dan berada di lapisan tertinggi di organisasi, mari berefleksi. Apakah pilihan kita sudah menjadi contoh yang membawa dampak positif bagi ayah dan putra-putrinya sehari-hari?
Sebagian organisasi atau korporasi, masih merasa “rugi” memberikan cuti. Di sisi lain, segudang penelitian menunjukkan meningkatnya kepuasan tentang pilihan pekerjaan, bahkan memperpanjang rencana terus mengembangkan karier di perusahaan yang bersangkutan, dari ayah maupun keluarga yang memanfaatkan cutinya. Dampak positif serupa bahkan juga didapatkan dari pekerja lain (perempuan maupun laki-laki) yang belum berkeluarga dan mengamati fenomenanya.
Yang kita juga perlu percaya, penerima manfaat lain dari cuti ayah, tentu adalah anaknya. Bahkan tanpa angka, sekadar membayangkan ayah baru yang terlibat penuh dalam pengasuhan di 1 bulan pertama (atau durasi berapa pun ketentuannya), mudah untuk sepakat bahwa kualitas hubungannya akan meningkat dengan bayinya.
ADVERTISEMENT
Jadwal mengganti popok, dalam sekejap mata menjadi jadwal antar-jemput sekolah dan memfasilitasi belajar di rumah. Manfaat jangka panjang kelekatan dengan anak di periode pertama, menjadi dasar rasa percaya serta kematangan pribadi anak-anak kita. Ayah hadir, mulai dari mendampingi pemberian ASI dan respons sensitif karena lebih mengenali tangisan bayi sampai ritme interaksi saat remaja mulai jatuh cinta dan melalui roller coaster emosi.
Ilustrasi ayah menggendong bayi baru lahir. Foto: Shutter Stock
Ayah yang mengambil cuti, juga membawa efek positif jangka panjang pada anak lainnya, bukan hanya si bayi. Sang kakak mendapatkan pendampingan dalam periode yang juga sulit bagi mereka. Pembagian tugas makin terasa keperluannya, apabila kelahiran dilalui dalam situasi krisis, misalnya saat bayi perlu perawatan intensif.
Tanpa komplikasi pun, ibu baru mengalami kondisi medis dan psikologis yang butuh perhatian dan tanggungjawab lebih dari pasangannya. Dukungan emosional untuk ibu, mengurangi depresi yang banyak dialami, menghilangkan rasa iri yang kadang muncul karena suami seolah “terbebas dari konsekuensi” hadirnya bayi, bahkan secara signifikan mengurangi risiko perceraian dan konflik suami-istri.
ADVERTISEMENT
Keuntungan-keuntungan di atas, tidak serta merta membuat ibu bisa “mendorong” ayah agar mengambil cuti.
Di Hari Kartini ini, mari berkomunikasi dengan (calon) ayah berlandaskan pemahaman dan empati. Kesulitan bagi ayah nyata, demikian pula risiko yang dipersepsikannya, karenanya sekadar menuntut tanpa memahami apa yang (akan dialami) tidak pernah menjadi solusi.
Agar bisa efektif, kita perlu menyadari bahwa cuti bagi ayah bukan hanya sekadar kemewahan personal yang dimiliki seorang pekerja laki-laki, tetapi perubahan masyarakat yang dibutuhkan untuk menjadi lebih ramah pada pendidikan dan pengasuhan yang optimal pada seluruh generasi.
Efek dominonya sudah terbukti terjadi. Salah satu yang paling berharga, meningkatnya kesempatan bagi perempuan yang sudah berkeluarga untuk direkrut oleh perusahaan ternama, karena berkurangnya bias “harus memberikan cuti” bagi perempuan yang dianggap merugikan perusahaan, di saat laki-laki pun berhak mendapatkannya. Makin sedikit bedanya, menerima perempuan atau lelaki untuk bekerja bersama.
ADVERTISEMENT
Penelitian longitudinal juga membuktikan, perempuan berstatus istri empat kali lebih mungkin bertahan di pekerjaan, dan mendapatkan remunerasi yang lebih sepadan, saat suaminya mengambil cuti dan bahkan saat berada di organisasi yang teman kerjanya mengambil cuti sebagai ayah.
Aneh? Tidak juga. Perubahan norma, selalu berjasa pada lingkaran yang lebih besar dari penerimanya. Berlawanan dengan yang sering disuarakan sebelumnya, kebijakan yang berpihak pada anak dan keluarga, bukan hanya “menguntungkan” yang berumah tangga, tetapi juga yang lajang di dunia kerja. Pengalaman positif lintas generasi, yang muncul dari laki-laki yang mengambil peran lebih, adalah dividen jangka panjang yang akan kita semua nikmati-sampai puluhan tahun nanti.
Di Hari Kartini ini, mari mengirimkan pesan yang berarti: menjadi ayah (dan ibu!) tidak seharusnya menjadi ajang kompetisi antara pentingnya komitmen keluarga atau performa bagi klien dan usaha. Cinta orang tua pada anak bukan tanda kelemahan, ayah yang menemani keluarga pasca melahirkan bukan ciri suami yang takut istri.
ADVERTISEMENT
Mari berjanji untuk ikut menggerakkan perubahan ini! Bukan untuk balas budi bagi para laki-laki, tetapi karena dunia di mana cuti melahirkan dianggap fakta dan cuti bagi ayah masih perdebatan wacana, jelas tidak ideal dalam perjuangan mendobrak prasangka bagi perempuan juga.
Pengasuhan bukan masalah perempuan dan bukan isu sampingan, tapi prioritas sosial-ekonomi yang memengaruhi semua kalangan. Sumber daya untuk pengasuhan, adalah salah satu strategi menjaga kesejahteraan mental serta penumbuhan potensi yang memengaruhi kesuksesan kita sebagai masyarakat secara keseluruhan.